Mencari Jati Diri Indonesia di Tengah Pandemi

Oleh: Chaerudin Affan, SE, M.Kesos*

Sudah beberapa bulan terakhir dunia dilanda bencana yang serius, bumi seperti berhenti berputar, roda ekonomi macet total. Semua negara direpotkan dengan kedatangan mahluk halus yang menyerang sendi-sendi negara. Kepanikan bukan hanya milik masyarakat, tapi juga pengelola negara diseluruh dunia. Sudah teramat lama sejak 1918 – 1920 dunia mengalami serangan mahluk halus, yang melululantakkan dunia. Kini mahluk halus itu datang lagi dengan keganasan dan tidak dapat diselesaikan menggunakan teknologi yang berkembang pesat dalam dekade terakhir.

Negara di dunia kini sibuk mengurus diri masing-masing, adapun pengelola kawasan yang terserikat seperti Uni Eropa juga belum bisa menyelesaikan masalah dikawasannya. Semua negara sedang mencari selamat masing-masing, maka wajar hingga hari ini belum ada keputusan paten oleh Uni Eropa untuk mengatasi sendi-sendi yang rusak akibat mahluk halus tersebut. Walaupun gelombang kepanikan masyarakat dunia sudah mulai mereda, nyatanya kerusakan yang ditimbulkan masih juga berlanjut.

Indonesia sebagai kunci dari lalulintas dua benua besar otomatis terdampak dan bahkan ikut terkena serangan mahluk halus. Ribuan orang meninggal dalam kurun waktu 4 bulan, ratusan ribu warga negara telah menjadi inang dari mahluk yang tidak dikenal. Situasi di Indonesia tidak jauh dari negara-negara lain di seleruh dunia, sejak mulai pertengahan maret pemerintah menetapkan pandemi covid 19, setelah sebelumnya para pejabat negara menangkis keras adanya mahluk halus yang masuk ke negara ini. Namun setelah jumlah kasus semakin bertambah tinggi, untuk menanggulani pandemi berbagai protokol kesehatan dibuat oleh pemerintah pusat dan diikuti oleh pemerintah daerah.

Indonesia nampak begitu gagap menghadapi serangan mahluk halus yang dikenal dengan korona. Tidak hanya sendi ekonomi yang semakin rusak, tapi juga sendi-sendi bernegara ikut semakin rusak. Kita bisa lihat pada awal pandemi, bagaimana pemerintah daerah yang tidak bersinergi antara tingkat 1 dan tingkat 2 atau dengan pusat, bagaimana kebijakan daerah banyak sekali yang bertabrakan dengan tingkat diatasnya atau tingkat pusat pada awal penanggulangan, bahkan terdapat pemerintah daerah yang saling caci atau saling menyudutkan di media sosial.

Kerusakan sendi sosial bukan main dampaknya, beberapa bulan solat jumat dan ibadah gereja di tiadakan, perayaan hari besar keagamaan ditiadakan. Pemberlakuan social distancing secara langsung ikut merubah kultur budaya Indonesia yang ramah menjadi saling curiga. Pembatasan sosial juga mengharuskan masyarakat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari di rumah, sosial kontak semua didigitalisasi. Jabat tangan yang sebelumnya merupakan cirikhas sosial kultur masyarakat Indonesia juga menghilang, kalau diluar negeri jangan ditanya, mungkin jabat tangan hanya ada dalam acara resmi saja.

Kerusakan disendi ekonomi dirasakan semua lapisan, semua masyarakat merasakan dampaknya, tidak terkecuali masyarakat dengan strata ekonomi ada ditingkat atas. Bagaimana dengan masyarakat yang ekonomi lemah, tentu sudah mulai bernapas dengan mulut, karena hidungnya sudah semakin terjepit. Namun ditengah kerusakan yang dibuat oleh mahluk halus terhadap sendi-sendi Negara, masyarakat Indonesia mulai menemukan jati dirinya. Dalam sendi sosial budaya misalnya, jabatan tangan mulai difariasi, sikap saling curiga kemudian berubah kembali menjadi tolong menolong atau gotong royong. Kembalinya jati diri rakya Indonesia sebenarnya adalah penyelamat pemerintah dalam mengatasi kesulitasn ekonomi rakyat yang tidak dapat diatasinya.

Jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa nyatanya dipegang oleh rakyatnya. Disaat para pejabat masih saling tuding dan saling lempar tanggung jawab terhadap nasib rakyat, rakyat Indonesia justru sudah sibuk saling menolong sekitarnya. Saat para pejabat daerah saling berebut bansos, rakyat sudah bergerak untuk membuat cara membantu tetangganya yang diisolasi mandiri. Disaat para pemangku kebijakan masih ribut soal tumpang tindih kebijakan ataran Provinsi dengan Kabupaten/ Kota atau Pemerintah Pusat, masyarakat secara inisiatif membuat protokolnya sendiri yang diterapkan dilingkungannya. Bahkan saat bansos dibeberapa daerah tidak sesuai dengan ekspetasi rakyat, para pengusahan jauh lebih dulu menggelontorkan bantuan, baik berupa uang ataupun bahan pokok makanan.

Gotong royong tidak hilang, masih ada di masyarakat, gotong royong yang dikatakan Bung Hatta sebagai cikal bakal Koperasi di Indonesia, yang telah lama hilang dari permukaan. Bila semangat gotong royong yang muncul di permukaan dapat dipotret dengan baik oleh para pemangku kebijakan khususnya kepala Pemerintahan, tentu seharusnya mereka dapat mencontoh, mencontoh untuk mengurangi ego sektoral, mencontoh untuk saling mendukung, mencontoh untuk berbagi peran sesuai dengan fungsi masing-masing, mencontoh untuk tidak saling menuding. Lebih jauh dari itu semua, potret gotong royong dimasyarakat seharusnya dapat ditangkap dan kemudian dikristalkan dalam model ekonomi koperasi, bukan menjadikan koperasi sebatas objek skrup ekonomi yang menerima bantuan, namun sebagai core ekonomi nasional yang telah tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.

Saat ini seharusnya pemerintah mulai berbenah sebelum semuanya terlanjur musnah dan jati diri Bangsa Indonesia kembali terkubur dibawa oleh para penganut paham Neo-Merkantilisme yang sekaligus berprofesi sebagai pemburu rente. (*)

Tangerang, 22 Juli 2020

*Penulis adalah Founder United Nations World Citizen’s Initiative Indonesia (UNWCI Indonesia), Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) FISIP UI.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com