Isbat Nikah dan Urgensi Pencatatan Perkawinan

Oleh : Afif Zakiyudin*

Perkawinan adalah sebuah ikatan atau akad yang kuat antara pria dan wanita. Kesadaran akan ikatan ini berdampak signifikan dalam upaya mewujudkan hubungan suami istri yang bahagia dan kekal berdasarkan syariat Islam. Karenanya dalam melangsungkan pernikahan kedua calon mempelai perlu mengetahui dengan baik prosedural akad nikah baik menurut hukum Islam maupun aturan hukum negara yang berlaku di Indonesia dalam wujud Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Pernikahan sebagai anugerah yang diterima manusia lazim disambut dengan sukacita hingga dikabarkan dan tak jarang sampai dirayakan, apalagi setelah adanya ponsel pintar (smartphone), peristiwa apapun akan dipajang (diuplod/dishare) apalagi peristiwa bahagia seperti pernikahan atau kelahiran anak, foto-foto mulai dari pre-wedding, prosesi akad nikah, hingga kelahiran anak diuplod dan dishare diberbagai media sosial seperti facebook, instagram, whatsapp atau sejenisnya dengan disertai kata-kata mutiara nan indah dan penuh kebahagiaan. Pemberitahuan kabar pernikahan logis dikabarkan, sebagai cara mencatatkan peristiwa ke dalam “memori publik”. itulah inti dari alasan logis dan sosiologis urgensi pencatatan pernikahan, akan jadi hal yang tidak lazim dan “janggal sosial” jika pernikahan disembunyikan atau tidak dicatatkan meski sekedar dalam ingatan publik.

Sejarah Pencatatan Perkawinan

Dalam hukum Islam, pencatatan perkawinan memang tidak diatur secara khusus. Anjuran pencatatan secara eksplisit hanya ada dalam persoalan muamalah saja. Persoalan tentang pencatatan perkawinan juga tidak disinggung oleh para imam madzhab. Ada beberapa faktor penyebab pencatatan perkawinan luput dari perhatian yakni pertama, adanya larangan untuk menulis sesuatu selain al Qur’an. Kedua, karena kultur menulis tidak berkembang maka sistem hafalan lebih diutamakan. Ketiga, anjuran tradisi walimah al urs dipandang sudah cukup sebagai catatan “memori publik” dan keempat, pada masa awal perkembangan Islam belum banyak terjadi perkawinan yang melibatkan penduduk antar wilayah. Keempat faktor diatas yang kemudian memunculkan kesan bahwa pencatatan perkawinan sebagai bukti otentik belum begitu diperlukan.

Meski demikian anggapan bahwa nikah sirri diperbolehkan dengan alasan bahwa pada zaman rasul pernikahan tidak dicatatkan adalah tidak benar. Pencatatan pernikahan pada zaman rasul memang tidak ditulis namun dengan memori kolektif, setiap pernikahan diberitahukan melalui walimah-an sehingga banyak orang datang mendoakan dan mengingat peristiwa tersebut, itulah cara pencatatan pernikahan di zaman rasul. Dimana pada masa itu, terdapat tradisi i’lan an nikah (pengumuman pernikahan ditengah masyarakat), bentuk i’lan an nikah yang dianjurkan oleh Rasulullah adalah walimah al urs atau resepsi pernikahan. Secara eksplisit, konsep pencatatan perkawinan dalam bentuk walimah memang tidak mengandung unsur perintah akad untuk dituliskan namun secara impilisit semangat dan inti yang ingin dicapai dari pencatatan perkawinan telah nampak meski dalam bentuk sederhana.

Ada beberapa hadits nabi yang berkaitan dengan i’lan an nikah, diantaranya menyebutkan bahwa perkawinan harus diumumkan dan dibunyikan rebana agar banyak orang yang menyaksikan. Hadits lain menganjurkan agar perkawinan dipestakan meski hanya dengan seekor kambing untuk makanan bagi yang hadir dalam pesta pernikahan. Ini bertujuan supaya perkawinan yang dilaksanakan bisa diketahui oleh orang lain

Di Indonesia, persoalan pencatatan perkawinan sudah lama muncul sejak lahirnya rancangan undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, ini ada keterkaitan dengan legal meaning pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut. Dalam pasal 2 ayat 1 dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Lanjutan ayat 2 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada dua pemaknaan mengenai aturan hukum diatas, pertama pendapat bahwa kedua ayat pada pasal 2, bila dikaitkan satu sama lain dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Kedua, pendapat bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sahnya perkawinan akan tetapi hanya sebagai kelengkapan syarat administratif saja. Perkawinan tetap sah bila dilaksanakan berdasar pada aturan agama dan keyakinan kedua pihak yang melakukan perkawinan. Ambiguitas prinsip pencatatan perkawinan bisa berdampak pada adanya ketidakpastian hukum namun bisa disepakati bahwa pada dasarnya setiap perkawinan harus dicatatkan supaya terjamin kepastian dan perlindungan hukum para pihak yang melangsungkan perkawinan beserta dengan akibat hukumnya.

Urgensi dan Tujuan Pencatatan Perkawinan

Perbuatan pencatatan perkawinan bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan namun lebih bersifat administratif yang menyatakan bahwa peristiwan perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan perkawinan yang dicatatkan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun pihak yang terkait lainnya. Suatu pernikahan yang tidak dicatat dalam akta nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum. (Mahbuddin, Pengertian, Azaz dan Tatacara Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan (Banjarmasin: Proyek Penerangan, Bimbingan, Dakwah Agama Islam Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Selatan, 1977) hal. 8)

Tujuan pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan sehingga memberikan kekuatan bukti otentik tentang telah terjadinya perkawinan sehingga memberikan kekuatan bukti otentik tentang telah terjadinya perkawinan, dan para pihak dapat mempertahankan perkawinannya itu kepada siapapun dihadapan hukum. Begitu juga sebaliknya, perkawinan yang tidak dicatatkan maka perkawinan yang dilangsungkan para pihak tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan bukti sebagai suatu perkawinan.

Ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah sebagai norma yang mengandung legalitas sebagai bentuk formal perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta nikah menjadi penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk setiap perkawinan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13 Februari 2012 disebutkan dua urgensi kewajiban administratif dalam pencatatan perkawinan yaitu pertama, dari perspektif negara pencatatan diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tanggungjawab negara. Kedua, pencatatan administratif oleh negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang bersangkutan hingga berimplikasi terjadinya akibat hukum.

Perkawinan yang tidak tercatat dapat menimbulkan permasalahan hukum, tidak hanya terkait dengan ketidaksahannya perkawinan, namun juga berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap istri, anak dan segala sesuatu akibat dari perkawinan. Konsekuensi dari tidak dicatatkannya perkawinan mengakibatkan status perkawinan tidak jelas termasuk anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak tercatat menjadi anak yang tidak sah pula, perceraian juga tidak mungkin dilakukan karena tidak adanya akta perkawinan. Perkawinan tidak tercatat menimbulkan kerugian tidak hanya bagi istri namun juga anak-anak yang dilahirkan karena hak-hak keperdataan mereka tidak terlindungi oleh hukum.

Seiring dengan kemajuan administrasi dalam bidang hukum perdata di Indonesia, pemberlakuan pencatatan perkawinan oleh pemerintah urgen dilakukan dengan pemahaman dan pertimbangan akan maqasid asy syariah. Upaya mewujudkan maqasid asy syariah dalam kaitannya dengan hakikat tujuan perkawinan dengan mencapai keluarga yang bahagia dan kekal. Pencatatan perkawinan masa kini adalah bentuk cara baru i’lan an nikah (pengumuman pernikahan). Lebih jauh pencatatan lebih mashlahat terutama bagi wanita dan anak-anak.

Perkawinan mempunyai makna sosial sebagai penguat memori kolektif masyarakat. Pencatatan perkawinan sebagai model i’lan an nikah masa kini dalam analisis maqasid asy syariah sangat relevan dan menentukan. Bila dihubungkan dengan pencapaian tujuan perkawinan yakni kehidupan anggota keluarga yang tentram, maka pemberitahuan perkawinan kepada masyarakat merupakan salah satu faktor pendukung untuk mencapai tujuan perkawinan. Salah satu faktor untuk dapat membangun keluarga yang harmonis dan tentram adalah ketentraman psikologis anggota keluarga yakni pengakuan masyarakat. Atau secara sederhana dengan kata lain, pengumuman perkawinan dapat memelihara dan melindungi jiwa (hifz an nafs) juga memelihara keturunan (hifz an nasl).

Isbat Nikah : Solusi administrasi hukum terhadap pernikahan yang tidak dicatatkan

Mengingat begitu pentingnya pencatatan perkawinan, lantas bagaimana dengan perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah ? Dalam kasus ini digunakanlah peluang terbatas pada ketentuan KHI Pasal 7 ayat 3e “Isbat Nikah dapat dimintakan pada perkawinan yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Perkawinan”, pada pasal yang sama pada ayat 4 kemudian disebutkan bahwa yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah adalah suami isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepntingan dengan itu”.

Pada tahun 2011, Kementerian Agama mencatat sebanyak 2.207.364 pernikahan di Indonesia dan kurang dari 50% pasangan di Indonesia memiliki akta/buku nikah, maka diperkirakan bahwa tiap tahun ada lebih dari 2 juta pasangan di Indonesia yang tidak mencatatkan pernikahan mereka. Dampak tersembunyi dari pernikahan yang tidak dicatatkan ialah bahwa anak-anak dari pernikahan tersebut tidak dapat memiliki akta kelahiran yang mencantumkan nama ayah dan ibu mereka.

Solusi terhadap pernikahan yang tidak dicatatkan ada dengan adanya isbat nikah, meski demikian fakta dilapangan masih banyak masyarakat yang melangsungkan pernikahan namun tidak dicatatkan, beberapa diantaranya disebabkan karena 1) Mahalnya biaya untuk memperoleh dokumen, 2) Jauhnya jarak ke kantor layanan 3) Kurangnya pemahaman prosedur, dan 4) Rumitnya proses yang harus dijalani. Ini tentu menjadi problem, karena jumlahnya yang tidak sedikit, padahal dalam setiap peraturan perundang-undangan dalam pertimbangan hukumnya selalu menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pengakuan hukum tanpa diskriminasi termasuk hak membentuk keluarga dan keturunan melalui perkawinan yang sah dan hak anak atas identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran.

Isbat Nikah adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk dinyatakan sahnya pernikahan agar memiliki kekuatan hukum. Permohonan isbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama oleh para pihak dalam perkawinan yang tidak dapat membuktikan perkawinannya dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dengan mendasarkan penetapan isbat nikah oleh Pengadilan Agama, para pihak dapat ke Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama untuk meminta perkawinannya tersebut dictatatkan dan dikeluarkan Buku Kutipan Akta Nikahnya. Dari kutipan akta nikah tersebut kemudian digunakan dasar untuk membuat akta kelahiran dari anak-anak yang lahir dari hasil pernikahan tersebut.

Pasal 7 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menetukan adanya suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta perkawinan/akta nikah yang dicatat dalam register. Akta perkawinan/akta nikah merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan artinya tanpa adanya akta perkawinan yang tercatat dalam register perkawinan secara hukum dianggap tidak ada atau belum ada perkawinan atau dengan kata lain Perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama akan diterbitkan Akta Nikah, merupakan unsur konstitutif perkawinan.

Mengacu pada banyaknya permasalahan hukum yang terjadi di bidang perkawinan, sebenarnya urgensi pencatatan perkawinan “tidak sekedar” ketertiban administrasi tetapi berimplikasi juga terhadap “sah”-nya perkawinan, ahli waris dan identitas anak. Namun politik hukum nasional masih menempatkan pencatatan perkawinan sebagai ketertiban administrasi dan kepastian hukum bukan sebagai keabsahan perkawinan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 ayat 2 UU Perkawinan dan Pasal 5 ayat 1 KHI “agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.

Pengadilan Agama berdasar Perma Nomor 1 Tahun 2015, melaksanakan Isbat Nikah karena pertimbangan maslahat bagi umat Islam. Isbat Nikah memberikan manfaat pada masyarakat muslim untuk mengurus dan mendapatkan hak-haknya berupa surat-surat atau dokumen pribadi yang dibutuhkan dari instansi berwenang dalam memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum terhadap masing-masing pasangan suami isteri.

Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban suatu negara, kepastian hukum (rechtszekerheid) juga merupakan jaminan bagi masyarakat bahwa semuanya akan diperlakukan oleh negara berdasarkan peraturan hukum tidak dengan sewenang-sewenang. Hukum adalah kumpulan nilai dan norma masyarakat yang ditulis dan diberlakukan dengan seperangkat sanksi bagi yang tidak mematuhi. Sebagai produk politik, maka hukum berwajah kepentingan-kepentingan yang dominan dalam proses dan institusi. Proses dan Institusi dalam membuat wajah hukum selalu diwarnai atas hukum masa lalu (ius constituendum), hukum yang berlaku saat ini dan hukum bagi masa yang akan datang (ius constitutum). oleh karena itulah wajah hukum dapat dilihat dari bagaimana hukum dirumuskan, ditegakkan dan bagaimana hukum dirumuskan untuk masa depan. Hakim Peradilan Agama sebagai penegak hukum, patut menggunakan otoritasnya dalam perspektif hukum yang berkeadilan dengan menjalankan aktifitasnya selalu mempertimbangkan dan menentukan pilihan yang tepat berkaitan dengan tujuan hukum dan disesuaikan dengan realitas kehidupan bermasyarakat.

Ada 3 (tiga) alasan bagi Hakim Pengadilan Agama dalam mempertimbangkan permohonan isbat nikah setelah berlakunya UU Perkawinan ; Pertama, berkaitan dengan asas ius curia novit, yakni hakim dianggap mengetahui hukum isbat nikah; Kedua, berlakunya asas kebebasan hakim untuk menemukan hukumnya terhadap kasus yang belum terdapat hukumnya (rechtsvacuum). Ketiga, realitas hakim untuk menemukan dan menganalisis sebuah kebenaran baru atas suatu kasus dengan pendekatan sosiologi hukum.

Pendekatan tersebut memungkinkan hakim melakukan penafsiran sosiologis terhadap peraturan perundang-undangan terkait agar tidak terjadi kebuntuan hukum (rechtvinding). Dalam konteks Politik Hukum, hakim dengan kewenangannya dapat memerankan dirinya sebagai pembentuk, penentu, penerapan aturan perundang-undangan, hingga penegakan hukum dapat berjalan efektif. Degan perspektif politik hukum pula, hakim dapat aktif menggunakan bahan-bahan hasil penelitian, kajian dan analisis atas perubahan-perubahan yang terjadi terkait perlu atau tidaknya isbat nikah, sehingga hakim bersikap aktif dapat memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan utamanya keadilan bagi perempuan dan anak dalam perkawinan dan keluarga. (*)

 

*Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unissula Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com