Rehabilitasi Pengguna Narkotika Dalam Praktek Hukum Kita

Oleh : Dasih Widayati

Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009 narkotika adalah sejenis zat kimia atau obat yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan medis dan ilmu pengetahuan. Pada awalnya narkotika banyak diperlukan untuk pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, dalam perkembangannya keberadaan narkotika banyak disalahgunakan di luar kepentingan medis dan ilmu pengetahuan, yang membawa kerusakan bagi pribadi maupun masyarakat dan merusak sendi-sendi kehidupan serta nilai-nilai budaya bangsa.

Penyalahgunaan narkotika telah meluas ke seluruh kalangan masyarakat dengan jumlah pengguna yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Mirisnya lagi kebanyakan dari mereka berada dalam rentang usia produktif dalam kisaran usia 17 s/d 45 tahun. Meski pemerintah telah memprioritaskan pemberantasan penyalahgunaan narkotika melalui berbagai upaya, namun jumlah narapidana kasus narkotika tetap menduduki peringkat teratas.

Pada akhir tahun 2018, jumlah  penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di seluruh Indonesia mencapai 255.000 orang dan hampir separuh dari total penghuni merupakan narapidana narkoba, yaitu sekitar 115.000 orang. Pada akhir tahun 2019, jumlah narapidana narkoba tetap mendominasi isi Lapas yaitu mencapai 45,8 % atau sekitar 122.768 orang. Dari data SDP Dirjend.Pemasyarakatan, jumlah narapidana dan tahanan kasus narkotika pada akhir tahun 2020 masih berada di kisaran 130.900 orang.

Keseluruhan narapidana narkotika tersebut hampir 50 persennya adalah sebagai pengguna yang sebetulnya mempunyai peluang untuk mendapatkan putusan rehabilitasi bukan menjalani pidana penjara di Lapas. Banyaknya pemakai narkotika berada di Lapas memungkinkan bagi mereka saling “belajar” dan memperluas jaringan dalam dunia narkotika. Bukan tidak mungkin yang tadinya hanya sebagai pengguna, setelah kembali ke masyarakat justru naik level menjadi kurir atau pengedar karena selain masih bisa memakai juga mendapatkan keuntungan ekonomi.

Amat disayangkan lagi ketika pengguna narkotika yang dimasukkan ke dalam Lapas ini adalah generasi muda yang notabene masih memiliki masa depan yang panjang, harus kehilangan waktu dan bahkan terputus cita-citanya. Dampak lain dari over capacity adalah buruknya kondisi kesehatan baik secara fisik maupun mental penghuni Lapas, yang memudahkan munculnya konflik yang berujung pada kerusuhan-kerusuhan dan tingkat kriminalitas di dalam Lapas.

Rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika menjadi salah satu upaya untuk mengurangi over capacity di dalam Lapas. Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk memulihkan dan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial pengguna narkotika itu sendiri. Oleh karena itu, pelaksanaan rehabilitasi dapat diprioritaskan sebagai upaya penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Pemidanaan terhadap korban penyalahguna narkotika dinilai kurang tepat dan tidak solutif, karena dapat dikatakan bahwa penyalahguna narkotika adalah korban atau orang yang sedang sakit. Dengan pidana penjara sangat dimungkinkan justru akan membuat pengguna narkoba semakin kecanduan.

Untuk itu, vonis rehabilitasi diharapkan bisa memutus mata rantai ketergantungan narkotika dan mengurangi jumlah pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Vonis rehabilitasi juga bisa menghemat uang negara dengan tidak menanggung biaya per makanan selama di Lapas. Pelaksanaan rehabilitasi memberikan tanggung jawab dan partisipasi aktif dari keluarga dan masyarakat untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi . 

Pasal 54 UU RI No. 35 Tahun 2009 mengamanatkan bahwa pecandu dan korban penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Ketentuan pidana bagi penyalahguna narkotika diatur dalam Pasal 127 ayat (1), (2) dan (3) UU RI No. 35 Tahun 2009. Pasal 127 (2) Dalam memutus perkara, hakim wajib memperhatikan  Pasal 54,55, dan 103 UU RI No. 35 Tahun 2009. Dalam Pasal 103 UU RI No. 35 Tahun 2009, hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus untuk pecandu narkotika  yang terbukti bersalah sebagai pelaku maupun yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika untuk menjalani rehabilitasi.  

Pemidanaan dengan dasar UU RI No. 35 Tahun 2009 tetang Narkotika juga didukung dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dengan adanya SEMA No. 04 Tahun 2010 memperjelas perbedaan antara korban penyalahguna dan pecandu narkotika, sehingga memudahkan hakim dalam memeriksa dan mengarahkan putusannya. Namun praktek hukumnya, sebagian besar vonis yang dijatuhkan hakim tetap vonis penjara, sehingga kedudukan pengguna/pecandu narkotika tetap didudukkan sebagai pelaku kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak pengguna/pecandu untuk mendapatkan layanan rehabilitasi belum terpenuhi. Padahal hak-hak sebagai pengguna/pecandu untuk mendapatkan rehabilitasi diatur dalam Pasal 54 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, karena pada prinsipnya pemakai narkotika/narkoba selain sebagai pelaku juga adalah korban.

Rehabilitasi terhadap pecandu dan korban pengguna narkotika merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pemakai narkotika ke dalam tertib sosial agar tidak lagi melakukan penyalahgunaan lagi. Untuk itu dibutuhkan kerja sama yang sinergis antara keluarga, masyarakat, dan aparat penegak hukum untuk memerangi dan memutus mata rantai tindak pidana narkotika.(*)

*Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Muda pada Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com