JAKARTA – Kehadiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menjadi semangat dan harapan baru Aceh, yang pada saat itu baru saja keluar dari zona konflik vertikal dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta. UUPA menjadi resolusi pasca damai yang menjadi amanah langsung dari Momerandum Of Understanding (MoU) Heslinki yang lahir pada tahun 2005 silam.
Harapan baru Aceh tersebut dimaknai dengan berbagai kewenangan yang terangkum dalam UUPA. Pasal 7 UUPA menyebutkan, bahwa Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moniter dan fiskal nasional dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Tetapi, setelah sembilan tahun ditandatanganinya MoU Heslinki serta delapan tahun disahkannya UUPA, kewenangan Pemerintah Aceh belum juga terealisasi sepenuhnya.
“Misalnya, masih adanya PP dan Kepres yang belum selesai diantaranya; PP Pengelolaan bersama minyak dan gas bumi Aceh, PP Nama dan gelar Aceh, PP kewenangan pusat yang bersifat nasional di Aceh, perpres kantor wilayah BPN Aceh dan kabupaten/kota menjadi perangkat Aceh dan kabupaten/kota,” kata koordinator nasional Aliansi Rakyat Aceh-Jakarta (ARA) untuk UUPA, Muhammad Nasrullah dalam keterangan pers yang diterima jogjakartanews.com, Sabtu (08/11/2014).
Dijelaskan Nasrullah, hal yang tidak kalah penting menyangkut Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh wajib segara dituntaskan. Sebab, Kata dia, ini menyangkut keadilan bagi korban juga keluarga korban sebagai salah satu instrumen penegakan HAM di Aceh.
“Aceh juga membutuhkan pembagian hasil sumber daya alam (SDA) yang jelas, baik terkait migas atau lainnya, pemerintah Pusat jangan lupa akan segala bentuk pengorbanan Aceh dimasa lalu. Namun, saatnya masyarakat Aceh merasakan otonomi khusus yang nyata dalam koridor desentralisasi yang baik pula,” ujarnya.
Masih menurut Nasrullah, Qanun (peraturan, red) Nomor 3 tahun 2013 tentang bendera dan lambang yang sudah disahkan oleh DPRA, hingga saat ini juga masih menjadi kendala dalam implementasinya.
“Kami berharap pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk segera mencari titik terang agar tidak menghambat proses dalam pelaksanaan Qanun ini,” tandasnya.
Untuk menjawab semua hal tersebut, maka ARA untuk UUPA membuat pernyataan sikap bersama untuk meminta:
- Kepada Presiden Republik Indonesia untuk mempunyai komitmen nyata, guna pembentukan peraturan pelaksana baik PP maupun kepres, guna implementasi UUPA sebagai wujud komitmen jelas pemerintahan Pusat
- Kepada DPR-RI untuk segera merumuskan segala ketentuan terkait implementasi UUPA, khususnya DPR-RI dan DPD asal Aceh perlu membentuk sebuah tim lobi ditingkat Nasional untuk mengawal segala peraturan pelaksana terkait UUPA.
- Kepada Gubernur Aceh serta DPRA Aceh untuk terus melakukan langkah konsultasi, agar semua peraturan pelaksana seperti PP atau kepres segera ada di Aceh. Diperlukan memperkuat tim lobi agar proses turunan UUPA segera tercapai dengan pertimbangan subtansi sesuai dengan MoU Heslinki. Disamping itu agar terus menyelesaikan berbagai qanun yang menjadi perintah langsung UUPA (qanun provinsi).
- Kepada semua pihak baik masyarakat, mahasiswa, CSO yang berada di Aceh maupun di Nasional agar terus mengawal proses turunan dari UUPA, perhatian penting kedepan menjadikan implementasi UUPA sebagai kewajiban bersama bagi seluruh masyarakat Aceh.
Dikatakan Nasrullah, ARA juga akan mengirimkan surat langsung kepada Presiden RI, Joko Widodo untuk segera merealisasikan UUPA Sepenuhnya.
“Kami berharap presiden segera merealisasikan turunan UUPA, yaitu kewenangan dan hak yang seharusnya diterima Pemerintah Aceh,” pungkasnya. (pr/ded)
Redaktur: Aristianto