Konflik Iran, Israel, dan Amerika Serikat telah mengalami transformasi tajam dalam beberapa dekade terakhir. Ia tidak lagi hanya dipahami sebagai pertikaian geopolitik konvensional atau perebutan supremasi regional semata. Dalam kenyataannya, konflik ini telah melahirkan medan simbolik baru di mana bahasa berperan bukan sekadar sebagai media penyampaian pesan, tetapi sebagai alat utama dalam perumusan identitas, penciptaan narasi, dan pembentukan legitimasi.
Di tengah pusaran globalisasi komunikasi, aktor-aktor negara tidak hanya mengerahkan kekuatan militer atau diplomatik, tetapi juga memperhalus, memanipulasi, dan menginstrumentalisasi bahasa sebagai bagian dari strategi politik yang kompleks.
Iran, dalam hal ini, memainkan retorika yang padat dengan simbol-simbol keagamaan, historis, dan perlawanan. Pidato-pidato pemimpinnya dipenuhi dengan rujukan kepada kesyahidan, revolusi Islam, dan perjuangan melawan ketidakadilan global.
Israel, bagi Iran, bukanlah negara dalam pengertian politik modern, tetapi sebuah “entitas zionis” yang dianggap tidak sah sejak awal kemunculannya.
Dalam narasi Iran, perlawanan terhadap Israel dan Amerika Serikat dilukiskan bukan sebagai konflik strategis biasa, melainkan sebagai bagian dari perjuangan suci melawan penindasan global yang dikaitkan dengan masa lalu kolonialisme, dominasi Barat, dan eksploitasi dunia Islam.
Bahasa ini bekerja bukan hanya di tingkat elite, tetapi juga di akar rumput, menciptakan identifikasi emosional yang kuat di antara masyarakat.
Iran memosisikan dirinya bukan sekadar negara, melainkan imam perlawanan global yang membawa misi moral.
Sebaliknya, Israel mengartikulasikan konflik ini dalam kerangka ancaman eksistensial. Dalam retorikanya, keberadaan Iran sebagai negara yang secara eksplisit menolak eksistensi Israel merupakan ancaman langsung terhadap keselamatan bangsa Yahudi.
Oleh sebab itu, setiap tindakan agresif Israel selalu dibingkai sebagai bentuk pertahanan diri yang sah. Israel menggunakan istilah-istilah seperti “hak untuk membela diri”, “keamanan nasional”, dan “pencegahan ancaman nuklir” sebagai justifikasi bagi tindakan militer maupun diplomatiknya.
Lebih dari itu, Israel menghubungkan ancaman dari Iran dengan trauma historis seperti Holocaust, yang menjadikan narasinya tak hanya rasional secara politis, tetapi juga emosional dan etis.
Retorika Israel memperkuat rasa takut kolektif, memobilisasi solidaritas domestik, dan mengukuhkan legitimasi atas kebijakan luar negerinya.
Amerika Serikat memosisikan dirinya sebagai kekuatan penengah yang membawa nilai-nilai liberal internasional, tetapi kenyataannya, ia turut memainkan peran penting dalam memperpanjang dinamika konflik melalui retorika hegemoniknya.
Dalam wacana resmi AS, Iran sering disebut sebagai “rezim otoriter”, “pendukung terorisme”, atau “pengacau stabilitas kawasan”. Sementara Israel dikonstruksi sebagai “sekutu demokratis utama di Timur Tengah”.
Frasa-frasa ini bukan sekadar retorika, tetapi representasi ideologis yang mereduksi kompleksitas aktor menjadi kutub-kutub moral: yang satu simbol keterbelakangan dan kekacauan, yang lain simbol peradaban dan stabilitas.
AS menggunakan bahasa sebagai instrumen hegemonik, membentuk persepsi dunia atas siapa yang beradab dan siapa yang liar, siapa yang pantas dihukum dan siapa yang layak dibela.
Bahasa dalam konflik ini juga mengalami apa yang disebut sebagai fungsi performatif. Ucapan-ucapan pemimpin tidak hanya mencerminkan sikap politik, tetapi secara aktif menciptakan realitas politik itu sendiri.
Ketika Ayatollah Khamenei menyatakan bahwa Israel “tidak akan ada dua puluh tahun lagi”, pernyataan itu bukanlah prediksi, tetapi deklarasi sikap dan komitmen yang memiliki dampak psikologis dan diplomatik.
Demikian pula ketika Perdana Menteri Israel mengatakan bahwa “Israel tidak akan membiarkan Iran memperoleh senjata nuklir, apa pun yang terjadi”, pernyataan itu mengandung ancaman langsung dan memberi sinyal kepada dunia bahwa Israel bersedia bertindak sepihak.
Retorika ini juga dibangun di atas ambiguitas yang disengaja. Iran menyebut program nuklirnya sebagai “proyek damai nasional”, meskipun banyak negara lain meragukan klaim tersebut.
Israel, dalam banyak kesempatan, tidak secara resmi mengakui keterlibatannya dalam serangan terhadap ilmuwan nuklir Iran, namun para pejabatnya kerap menyampaikan pesan-pesan tersirat yang memperkuat dugaan keterlibatan itu.
Amerika Serikat pun memainkan ambiguitas sebagai strategi komunikasi. Dalam setiap krisis, pejabat AS menyatakan bahwa “semua opsi tetap terbuka” dalam menghadapi Iran. Kalimat ini terdengar moderat, tetapi mengandung kemungkinan ancaman militer penuh di baliknya.
Yang lebih menarik adalah bagaimana bahasa digunakan tidak hanya untuk menyampaikan makna, tetapi juga untuk menyembunyikan makna.
Dalam bahasa politik, penyembunyian bukan berarti kebohongan eksplisit, tetapi manipulasi konteks, pemilihan istilah, dan pengaturan kerangka narasi.
Ketika serangan terhadap fasilitas militer Iran disebut sebagai “tindakan defensif” oleh Israel, atau ketika sanksi ekonomi AS terhadap Iran dibungkus dengan istilah “tekanan maksimum untuk mendorong reformasi”, maka yang terjadi adalah pembungkaman realitas melalui estetika bahasa. Bahasa dipakai untuk mengaburkan kekerasan, mensterilkan agresi, dan mengelabui opini publik internasional.
Contoh kontemporer dari retorika yang menyembunyikan makna juga terlihat dalam pernyataan Donald Trump baru-baru ini yang menyerukan gencatan senjata antara Israel dan Iran.
Dengan gaya khas yang tampak lugas, ia menyebut bahwa “sudah saatnya menghentikan pertumpahan darah yang tidak perlu” dan menyerukan agar “Israel menahan diri dan Iran mengakhiri provokasinya.” Meskipun secara eksplisit bernada damai, pernyataan ini menyamakan posisi pelaku dan korban secara implisit, serta melanggengkan narasi bahwa Iran adalah pihak yang memicu ketegangan.
Dalam kerangka retorika hegemonik, seruan ini berfungsi lebih sebagai alat pemutihan tanggung jawab pihak dominan, sekaligus melanggengkan struktur simbolik yang menempatkan Iran sebagai sumber kekacauan dan Israel sebagai aktor rasional yang “harus” bersabar.
Bahasa, dalam konteks ini, menjadi infrastruktur kognitif yang memungkinkan masing-masing pihak menciptakan dunia mereka sendiri. Di sinilah pentingnya kerangka interpretatif (framing)—suatu teknik diskursif di mana fakta diseleksi, dikemas, dan disajikan dalam cara tertentu agar membentuk persepsi yang dikehendaki.
Serangan bisa dibingkai sebagai teror atau pertahanan, tergantung siapa yang bicara dan bagaimana media merepresentasikannya. Ini membawa kita pada medan pertempuran yang lebih sunyi namun sangat menentukan: perebutan makna.
Dalam lanskap global yang dikendalikan oleh media dan algoritma, pertarungan wacana menjadi semakin krusial. Siapa yang menguasai narasi akan menguasai persepsi dunia.
Retorika menjadi senjata yang tidak terlihat tetapi sangat efektif. Dalam konteks ini, media internasional—terutama yang berbasis di Barat—memainkan peran penting sebagai penguat narasi dominan. Ketika media menyebut roket dari Gaza sebagai “serangan teroris”, sementara serangan udara Israel disebut “operasi militer terbatas”, maka telah terjadi kolonisasi bahasa yang membentuk persepsi ketidaksetaraan moral yang dalam.
Konflik ini menunjukkan bahwa bahasa tidak lagi menjadi sekutu netral dari fakta. Ia telah menjelma menjadi kekuatan itu sendiri.
Dalam dunia yang dipenuhi ketidakpastian, bahasa digunakan untuk menciptakan stabilitas semu, untuk memobilisasi emosi, dan untuk menegaskan siapa yang berhak bicara dan siapa yang harus dibungkam.
Bahasa membentuk hukum, opini, bahkan sejarah. Ia adalah medan pertempuran yang lebih luas dan lebih dalam daripada sekadar arena militer.
Retorika juga bukan tanpa risiko. Dalam banyak kasus, bahasa yang terlalu keras justru mempersempit ruang negosiasi. Ketika narasi telah mengukuhkan pihak lawan sebagai “iblis”, “musuh Tuhan”, atau “ancaman eksistensial”, maka kompromi menjadi bentuk pengkhianatan terhadap nilai yang dijunjung. Retorika yang terlalu absolut menciptakan politik kebuntuan, di mana tidak ada jalan tengah karena masing-masing pihak terperangkap dalam logika simbolik yang mereka bangun sendiri.
Namun di sisi lain, retorika membuka peluang mobilisasi massa yang luar biasa. Di Iran, retorika anti-Zionisme menjadi unsur pemersatu lintas kelas dan etnis.
Di Israel, narasi negara kecil yang dikepung musuh besar menciptakan ketahanan domestik. Dan di Amerika, retorika keamanan nasional digunakan untuk membungkam kritik atas kebijakan luar negeri. Bahasa telah menjadi instrumen kekuasaan dan sekaligus cermin ideologi yang menggerakkan masyarakat.
Kita juga tidak bisa mengabaikan peran teknologi digital dalam transformasi retorika kontemporer. Twitter, YouTube, dan media sosial telah menjadi arena utama di mana retorika dieksekusi dan dipertarungkan.
Pernyataan pemimpin tidak lagi disampaikan hanya dalam forum formal, tetapi dalam 280 karakter yang bisa viral dalam hitungan menit. Ini menimbulkan akselerasi sekaligus simplifikasi pesan. Bahasa semakin ringkas, semakin emosional, dan semakin mudah dimobilisasi. Dalam ruang digital, bahasa tidak hanya menyampaikan konflik, tetapi mempercepat dan memperumitnya.
Oleh karena itu, memahami konflik Iran–Israel–Amerika tidak bisa hanya dilakukan dengan membaca laporan intelijen atau mengikuti berita diplomatik. Ia harus dibaca sebagai teks—sebagai narasi besar yang sedang diproduksi, direproduksi, dan dipertarungkan melalui kata-kata.
Dalam narasi itu, tidak semua kata memiliki berat yang sama, dan tidak semua suara mendapat tempat yang adil. Bahasa telah menjadi ruang ideologis yang membentuk siapa yang disebut teroris dan siapa yang disebut patriot, siapa yang menyerang dan siapa yang membela diri.
Di abad ke-21 ini, perang tidak lagi hanya terjadi di parit dan udara, tetapi juga di benak manusia. Dalam benak itulah bahasa beroperasi—menanamkan ketakutan, harapan, atau justifikasi.
Dan siapa yang menguasai bahasa, dialah yang menulis sejarah. Retorika bukan sekadar pelengkap diplomasi atau hiasan propaganda; ia adalah medan politik itu sendiri. Dalam konflik ini, retorika adalah senjata paling halus dan sekaligus paling mematikan.
*Staf Pengajar pada Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
*Presidium Majlis Wilayah KAHMI DIY.