Oleh: Misbahul Ulum*
PERSOALAN korupsi di Indonesia memang telah menjadi penyakit akut yang sangat sulit untuk disembuhkan. Dari hari ke hari, secara bergiliran, banyak pejabat negara yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi baru. Angka pejabat yang korup itu semakin hari bukan semakin berkurang, justru kian bertambah. Bahkan, pelaku korupsi saat ini tidak hanya berasal dari kalangan elit politik semata, melainkan tengah melebar ke kalangan akademisi yang selama ini dianggap sebagai “manusia suci”.
Jika melihat kemelut persoalan korupsi di Indonesia hingga saat ini, rasanya terlalu sulit bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu dan jerat korupsi. Meskipun sudah ada Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), tetap saja korupsi kian menggurita, variatif, dan juga melibatkan tidak hanya satu struktur kekuasaan negara semata. Korupsi juga telah mengakar di setiap poros kekuasaan negara yang sangat sistemik dan sistematik. Sehingga untuk menuntaskan satu kasus korupsi membutuhkan waktu lama dan cukup rumit. Bahkan tidak jarang kasus korupsi berakhir dengan status hukum yang tidak jelas.
Persoalan lain yang turut menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia adalah terjadinya tarik menarik kepentingan antara penegak hukum dan tersangka korupsi. Tarik menarik itu akhirnya menjadikan para penegak hukum dan tersangka korupsi saling sandra. Di satu sisi, penegak hukum harus melakukan pemberantasan korupsi yang kian menggila. Namun di sisi yang lain, sebagian besar penegak hukum hari ini adalah pejabat masa lalu yang sangat mungkin terlibat korupsi di masa lalu.
Jeratan indikasi korupsi di masa lalu inilah yang kemudian digunakan oleh para koruptor hari ini untuk memotong langkah para penegak hukum dengan cara menakut-nakuti dan melakukan intimidasi. Akhirnya perbagai persoalan korupsi semakin lama tidak semakin terselesaikan melaikan semakin massif dan semakin tidak beraturan. Oleh sebab itulah, perlu langkah serius dan nyata untuk mengakhiri hubungan saling sandra antara penegak hukum dan koruptor.
Peran Negara
Diakui atau tidak, para penegak hukum hari ini adalah orang-orang warisan masa lalu yang sangat mungkin terlibat kasus korupsi di masa lalu juga. Hal ini cukup wajar mengingat korupsi pada masa lalu bersifat sistemik dan sistematik, yang kadang-kadang hal itu tidak pernah disadari oleh pelakunya. Karena dilakukan secara sistemik dan sistematik, hampir tidak ada pejabat dari masa lalu yang tidak terlibat korupsi.
Jika tindakan korupsi sistemik dan sistematik pada masa lalu itu kemudian dijadikan alat untuk menyandera para penegak hukum hari ini, tentu ini menjadi persoalan tersendiri. Sebab, jika tidak segera dicarikan solusi, berbagai persoalan korupsi tidak akan menemukan titik akhir. Upaya pemberantasan korupsi hanya sebatas tarik ulur kasus yang berakhir dengan tanpa hasil yang memuaskan.
Oleh karena itu, dalam hal persoalan tarik menarik dan saling sandra ini, jalan terbaik yang bisa ditempuh adalah melakukan pemutusan hubungan dengan korupsi pada masa lalu. Caranya adalah dengan menganggap selesai “luar biasa” kasus korupsi pada masa lalu itu. Dari situlah kemudian dimulai lagi awal untuk melakukan pemberantas korupsi dengan lebih baik dan konsisten. Akan tetapi untuk melaksanakan pemutusan korupsi masa lalu ini, diperlukan peran negara melalui sebuah kebijakan.
Mengaca dari pengalaman di beberapa negara di dunia. Ada dua cara untuk memutus mata rantai korupsi di masa lalu. Pertama, yaitu dengan cara “amputasi” dan “ampuni” (Mahfud MD, Kompas/08/7/2013). Pemutusan hubungan korupsi dengan cara amputasi dilakukan dengan Kebijakan Lustrasi Nasional (National Lustracion Policy), yakni melakukan pemotongan kepada pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi pada masa lalu.
Seluruh pejabat dan politikus pada masa rezim korup harus diberhentikan dengan Undang-Undang dari seluruh jabatan publik tanpa pengadilan hukum. Dengan cara ini, para pejabat lama yang berasal dari rezim masa lalu harus diganti dengan pejabat-pejabat baru yang lebih energik dan memiliki rekam jejak yang baik. Pejabat-pejabat yang diamputasi itu nantinya diberikan kebijakan oleh negara perihal karir dan jabatnnya. Mislanya, mereka dilarang untuk aktif selamanya atau dilarang aktif dalam kurun waktu tertentu. Penyelesaian model ini pernah diterapkan di Negara Amerika Latin.
Kedua, dengan cara pengampunan. Cara ini merupakan penggabungan pengalaman yang terjadi di Negara Arfika Selatan dan China dalam menyelesaikan pelanggaran HAM pada masa lalu dan menghukum para koruptor dengan kebijakan “ampuni”, rekonsiliasi atau National Pardon. Para pejabat yang korupsi pada masa lalu diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya. Kemudian kesalahan para pejabat pada masa lalu itu diputihkan, dianggap selesai, diampuni, dan tidak dibawa ke pengadilan, serta berkewajiban mengembalikan kekayaan negara yang telah dikorup. Namun, sejak pemberikan kebijakan pemutihan itu, yang bersangkutan diancam dengan hukuman berat apabila kemudian melakukan korupsi kembali.
Generasi Baru
Dua cara di atas adalah jalan yang sangat dilematis yang memiliki sisi negatif maupun positif. Masing-masing memilki risiko besar. Akan tetapi tidak ada salahnya untuk dicoba salah satunya. Setidaknya agar proses penanganan persoalan korupsi hari ini dan masa mendatang tidak terjadi saling sandra antara koruptor dan penegak hukum.
Namun terlepas dari itu semua, ada hal yang sangat penting daripada “amputasi” dan “ampuni”, yaitu, untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya harus mempersiapkan generasi bangsa yang unggul, memiliki integritas, cerdas, dan yang terpenting adalah memiliki rekam jejak masa lalu yang tidak cacat hukum.
Generasi baru itulah yang nantinya diproyeksikan menempati pos-pos strategis negara, misalnya menjadi penegak hukum untuk memberantas korupsi. Dengan begitu ia bisa melakukan pemberantasan korupsi dengan mudah dan tanpa terbayang beban masa lalu. Generasi inilah yang perlu dipersiapkan sebanyak mungkin untuk memberantas korupsi di berbagai bidang. Jangan sampai negerasi mendatang justru telah terkotori oleh tindakan korupsinya hari ini. Karena jika itu yang terjadi maka, berarti telah membunuh masa depannya. Wallahu ‘alam.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta