Kematian dan Keabadian Hidup: Kontradiksi Keyakinan Homo Sapiens dan Homodeus

Oleh: Muhammad Afifuddin*

Sebelumnya.  saya akan mengajak pembaca untuk flashback pada Homo Sapiens. Homo Sapiens menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya. Antara manusia dan hewan tidak ada bedanya. Mereka saling mangsa-memangsa demi keberlangsungan hidupnya. Mereka mempunyai urutan rantai makanan mulai dari organisme yang terkecil hingga berakhir pada raja hutan yaitu Singa. Tidak heran jika Singa dijuluki si raja Hutan, sebab dia yang paling kuat dan tangguh dalam Hutan Rimba. Seperti selogan hukum rimba “siapa yang paling kuat, dialah yang berkuasa”.

Homo Sapiens mempunyai ketergantungan kepada Tuhan. Mereka percaya bahwa Kehidupan dan kematiannya adalah kehendak Tuhan. Kelaparan, wabah penyakit, dan peperangan, semuanya merupakan skenario dari Tuhan. Manusia tidak berhak campur tangan di atas kuasa tuhan.

Kematian adalah musuh terberat bagi Homo Sapiens. Maka tak heran jika dalam upaya pencarian makanan mereka berebutan satu sama lain. Bukan hanya itu, karena mereka sering berebut makanan sehingga banyak diantara mereka yang mati karena tidak mendapatkan bagian, bahkan sampai-sampai meraka tak segan-segan memakan temannya sendiri. Ketakutan mereka akan kematian menjadikan mereka lupa daratan. Keserakahan mereka ketika melihat makanan, seolah-olah yang penting perutku kenyang, tanpa memperdulikan yang lainnya. Tidak salah, jika perpektif mereka begitu, mungkin itu bisa dibilang sebuah refleksi dari ketakutan mereka akan kematian. Meraka takut besok tidak bisa makan, kelaparan lalu mati, maka istilahnya “Aji Mumpung” kata orang Jawa, selama ada kesempatan kenyang, kenapa tidak dikenyangkan, begitulah kiranya. Meraka tak membutuhkan sebuah materi yang berbentuk fisik seperti: uang, pakaian, dan lain sebagainya, karena semua itu adalah imajinasi belaka. Hal yang terpenting dalam hidupnya hanyalah makan sebagai penunda kematian.

Lalu mari kita beranjak ke Homodeus, berbeda dengan sebelumnya (Homo Sapiens) yang meletakkan semua hidupnya ditangan Tuhan, mereka tidak bisa ikut campur di dalamnya. Namun, pada Homodeus ini meraka meniadakan hukum rimba, mereka tidak lagi meributkan soal makanan tapi mereka mulai berfikir, hal-hal yang ada pada Homo Sapiens disebut imajinasi, mereka berlomba-lomba untuk membuktikan adanya. Mereka mempunyai cara pandang meletakkan manusia sebagai makhluk superior di atas makhluk yang lainnya. Mereka mendewakan dirinya sendiri. Tugas-tugas yang dulu menjadi fomula kuasa tuhan, sekarang dikuasai oleh manusia. Seolah-olah anatara manusia dan Tuhan itu saling berkompetisi.

Homodeus memandang kehidupan itu abadi, mereka tidak lagi memikirkan akan mati kelaparan. Anggapan mereka akan kematian hanyalah kesalahan teknis yang manusia bisa memecahkan sendiri dengan teknis. Keyakinan meraka akan ketidak ikut sertaan Tuhan mendorong mereka untuk berpikir bagaimana dia bisa menemukan obat yang bisa menolak kematian. Maka terjadilah revolusi besar-besaran pada ilmu sains atau medis untuk menemukan obat apa yang bisa menunda kematian. Para ahli mempunyai keyakinan dengan perkembangan dari bidang-bidang rekayasa genetika, pengobatan regenerative, dan teknologi nano akan bisa meraih impiannya pada tahun 2100 untuk hidup selamanya dengan obat yang ditemukannya. Bahkan Kurzweil dan De Grey sangat optimis bahwa ditahun 2050 akan menghasilkan pencapaian yang serius terhadap imotalitas dengan menyiasati kematian satu dekade dalam satu waktu. Menurutnya setiap 10 tahun atau lebih kita harus menuju klinik untuk menerima pengobatan dan perombakan, tidak hanya sekedar mengobati penyakit, tetapi juga meregenerasi sel-sel, mata dan otak. Sampai-sampai dokter sudah mempunyai tumpukan obat-obat baru sebelum ditemukannya sebuah penyakit.

Manusia homodeus tidak lagi meributkan soal kematian karena kematian terjadi akibat kesalahan kita sendiri. Kelaparan yang dulu menjadikan kematian seseorang, kini berubah kekenyangan yang menjadikan seseorang mati. Jadi musuh terberat manusia sekarang bukan lagi kelaparan, penyakit, perang tapi dirinya sendiri. Bencana alam, kecelakaan dan sakit tidak ada kaitannya dengan tuhan, semua itu terjadi karena kesalahan teknis yang terjadi pada diri seseorang. Bencana alam terjadi karena penggundulan gunung, lalu batunya diambil dan di buang ke laut untuk sebuah misi. Kecelakan terjadi karena mungkin pengemudi ngantuk, tidak fokus mungkin juga sakit. Apalagi perang, di jaman ini tidak ada lagi perang dengan kontak fisik, mungkin yang ada hanyalah menyerang ideologi manusia dengan kemajuan teknologi.

Setelah mereka bisa keluar dari belenggu kematian yang menjadi musuh terberatnya atau musuh terberat di jaman Homo Sapiens. Pada Homodeus ini, mereka mulai masuk kedalam parlemen-parlemen, kantor-kantor dan jalan-jalan. Masalah mereka terhadap kematian sudah terselesaikan. Dengan obat mujarab, layaknya gawai yang kehabisan baterai, hanya tinggal ambil charger lalu hidup lagi. Begitu mudahnya menunda kematian. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan hartanya, demi keabadian hidupnya. Sekian. (*)

*Penulis adalah Mahasiswa Semester 6 Program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah STAI Al Anwar Sarang-Rembang

 

 

           

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com