Oleh: Dian Marta Wijayanti, S.Pd*
DALAM Islam, pacaran sangat tidak dianjurkan karena mendekati zina. Penulis buku Stop Pacaran, Ayo Nikah secara tegas mengritik budaya pemuda Islam saat ini yang rata-rata melakukan pacaran. Penulis juga mendekonstruksi pacaran islami yang jelas tidak ada dasar dan rujukannya. Pacaran islami menurut Hamidulloh Ibda jelas tidak ada, jika ada pacaran islami, nanti juga ada zina islami, korupsi islami dan sebagainya. Semua disalahtafsirkan untuk mendasari aktivitas pacaran.
Terminologi pacaran memang tidak asing di telinga kita. Tidak hanya itu, pacaran juga sudah merambah di berbagai kalangan, baik siswa, mahasiswa, santri pondok pesantren hingga di kalangan orang dewasa. Dalam hal ini, yang perlu dikaji bukan cara menolak atau menghindari pacaran, tetapi bagaimana cara menghalalkan pacaran itu dengan menikah. Buat apa pacaran lama-lama, tapi tidak berani menikah? Tidak ada mawar yang tidak berduri. Artinya, hidup pasti butuh perjuangan, melewati duri, kerikil, gelombang untuk mencapai keindahan, kebahagiaan dan kemuliaan (Hlm. 6).
Dalam buku ini, penulis sengaja hanya mengambil materi tentang pacaran dan munakahat, meskipun tidak sempurna, karena bab munakahat sangat banyak sekali. Pada bab pertama, penulis menyinggung makna pacaran secara epistemologi, hukum pacaran dan manfaat serta kerugian pacaran. Bab kedua, penulis menegaskan tentang urgensi pernikahan, karena selama ini banyak orang memilih dan berani pacaran, tetapi takut menikah. Pada bab terakhir, penulis menyinggung tentang konsep ideal keluarga sakinah mawaddah wa rahmah (Samara) dengan niat menyempurnakan tujuan nikah (Hlm. 8).
Di zaman edan dan republik korslet seperti ini, sangat sulit membedakan mana putih dan hitam, antara biru dan ungu, antara halal dan haram, khususnya dalam dunia pacaran. Jika sudah berkumpul dua orang laki-laki dan perempuan di tempat sepi, sedikit banyak terjadi “tragedi” yang belum jelas halal-haramnya. Hal ini sebenarnya sudah dilarang tegas oleh Islam, akan tetapi dunia digital seperti ini sudah menjadi hal wajar.
Dalam Islam, terminologi pacaran memang belum ada atau belum tegas dihukumkan. Artinya, di dalam Islam hanya dikenal istilah “zina” yang secara tegas hukumnya haram. Jangankan melakukannya, mendekati saja tidak boleh dan dilarang tegas Alquran. Akan tetapi, kita harus berijtihad, membuat formula cerdas, merumuskan pacaran yang cerdas dan menganalogikan istilah pacaran ke dalam hukum agama. Banyak buku fikih, menyebutkan bahwa hukum zina secara tegas haram dan dilarang.
Menurut jumhur ulama, hukum pacaran secara tegas “haram”, meskipun banyak beberapa pendapat yang kontradiksi. Hal itu disanggah beberapa pemuda Islam yang hobi pacaran. Bagi mereka, selama pacaran tidak melakukan hal negatif, hanya sekadar SMS-an, makan bersama, perhatian, saling memotivasi, hukumnya adalah “halal”. Akan tetapi, bagi pemuda yang beraliran fundamental dan tekstualis, hukum pacaran adalah “haram” karena mendekati “zina”. Bagi mereka jelas, pacaran dan zina hampir sama, padahal mendekati zina saja diharamkan, apalagi melakukan zina yang didalihkan pacaran (Hlm. 13-14).
Hal ini didasarkan pada firman Allah surat Al-Isyra ayat 32 yang artinya; “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan buruk”. Didasarkan pada hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan Bukhori Muslim yang artinya; “Dari Ibnu Abbas Ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw berkhutbah, ia berkata: jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya.” Dasar ini jelas, bahwa pacaran hukumnya haram dan dilarang sesuai aturan agama.
Menurut penulis buku ini, semua bergantung sudut pandang dan paradigma yang digunakan untuk menghukumkan pacaran. Terminologi dalam Alquran tidak ada yang menyebutkan secara jelas bahwa pacaran adalah haram. Di dalam Alquran hanya disebutkan terminologi nikah, khitbah dan zina. Maka dari itu, sudah saatnya kita berijtihad dan menganalogikan hukum nikah dengan arif dan mempertimbangkan batasan syariat (hukum Islam).
Di dalam Islam juga sudah ada kaidah Ushul Fikih yang menyebutkan “Al-Hukmu yadurru ma’a illatihi wujudan au adaman” yang artinya “Sebuah hukum itu tergantung ada atau tidaknya illath (sebab)”. Misalnya, hukum bunga bank bisa menjadi halal, haram, subhat dan mubah, atau hukum pernikahan bisa menjadi halal, haram, sunnah dan sebagainya. Begitu pula dengan hukum pacaran, semua tergantung illath (sebab) terjadinya pacaran atau sesuatu yang melingkupi pacaran tersebut.
Jadi, bisa dianalogikan bahwa hukum pacaran juga fleksibel, bisa menjadi halal, haram, subhat, sunnah dan sebagainya. Atas dasar di atas, sudah jelas bahwa hukum pacaran adalah fleksibel, bisa menjadi halal, haram, subhat dan sebagainya. Jika pacaran dijadikan motivasi dan tidak melakukan hal negatif, maka sah-sah saja, begitu pula sebaliknya. Semua hukum tergantung konteks, ruang, waktu, tempat dan sebab terjadinya pacaran. Hitam dan putihnya tergantung pelaku pacaran.
Dekonstruksi Hukum
Pacaran itu bermacam-macam hukumnya. Semua bergantung point of view, sudut pandang dan angle yang digunakan untuk menghukumkan pacaran. Kita jangan terlalu “pekok” dalam menghukumi pacaran. Secara dasar Ushul Fikih di atas, dapat dikiyaskan bahwa hukum pacaran terbagi menjadi tiga, yaitu halal, haram dan subhat.
Pertama, hukum pacaran halal. Mengapa? Jika pacaran dijadikan alat untuk berbuat baik lebih banyak lagi, hemat penulis hal itu boleh dan sah-sah saja. Pasalnya, terbukti saat ini banyak anak kiai, banyak santri dan intelektual muslim berpacaran. Bahkan, banyak para penghafal Alquran/hafiz dan hafizah juga berpacaran. Jiak sekadar berkomunikasi, bertemu dan diskusi, bagi penulis jelas halal hukumnya. Jika dengan berpacaran timbul motivasi, semangat hidup, belajar dan berkarya, maka sah-sah saja pacaran dilakukan. Karena hakikat pacaran adalah memotivasi, menyuntik dan meludahkan spirit hidup dan berkarya, bukan menjamah dan menghancurkan masa depan pasangan dengan perilaku seks bebas (Hlm. 17).
Selama ini, banyak pacaran produktif. Artinya, dengan pacaran terjadi motivasi hidup, motivasi berkarya dan melakukan kebaikan lebih banyak lagi. Dengan memiliki pacar, seseorang akan lebih semangat dalam melakukan kebaikan, belajar, bahkan bekerja dan beribadah. Dari landasan ini, pacaran secara eksplisit hukumnya halal. Karena pacaran hanya alat, bukan tujuan. Namun, jika pacaran dijadikan tujuan, penulis yakin akan terjadi hal negatif, mulai dari ciuman hingga pergaulan bebas.
Selain pacaran sekadar iseng dan mengisi waktu dan membuang umur, ada juga pacaran yang dilakukan untuk menuju pernikahan. Banyak orang awam beranggapan bahwa pacaran merupakan wasilah (sarana) untuk ber-ta’aruf (berkenalan) dengan seorang manusia. Kata mereka, dengan berpacaran akan diketahui jati diri kedua calon mempelai supaya nanti jika sudah menikah tidak kaget dengan sikap keduanya dan bisa saling memahami karakter masing-masing. Maka, pacaran halal dilakukan jika hanya sekadar untuk mengenal, bukan sampai melakukan hal kotor.
Kedua, hukum haram. Saat ini banyak pemuda terbawa arus budaya Barat dan hatinya sudah terjangkiti bisikan setan. Jiwa dan pikiran mereka sudah konslet dan keluar dari norma agama. Apakah mereka tidak menyadari bahwa yang namanya pacaran tentu tidak terlepas dari khalwat atau berdua-duaan dengan lawan jenis dan ikhtilath atau laki-laki dan perempuan bercampur baur tanpa ada hijab/tabir penghalang? Padahal semua itu telah dilarang dalam Islam.
Perhatikanlah tentang larangan tersebut sebagaimana tertuang dalam sabda Rasulullah Saw;“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahromnya.” (HR. al-Bukhori: 1862, Muslim: 1338). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa larangan bercampur baur dengan wanita yang bukan mahrom adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Fathul Bari: 4/100).
Meskipun telah resmi melamar seorang perempuan, seorang laki-laki tetap harus menjaga jangan sampai terjadi fitnah. Dengan diterima pinangannya itu tidak berarti ia bisa bebas berbicara dan bercanda dengan wanita yang akan diperistrinya, bebas surat-menyurat, bebas bertelepon, bebas berkomunikasi atau bercakap-cakap apa saja. Wanita tersebut masih tetap ajnabiyyah baginya hingga berlangsungnya akad pernikahan. Sunnah nabi sangatlah positif dan sudah pasti menjaga pandangan mata dan nafsu. Maka, sudah sangat logis jika menikah menjadi keniscayaan daripada pacaran! Karena puncak dan cita-cita tertinggi orang berpacaran adalah menikah.
Ketiga, hukum subhat. Pacaran dalam hal ini masih berada pada kondisi yang tidak jelas halal dan haramnya. Artinya, meskipun berdalih untuk mengenal dan memotivasi diri, tetapi pacaran tersebut juga digunakan untuk melampiaskan nafsu. Inilah yang jelas merugikan pasangan itu, terutama pihak perempuan, karena dijarah dan dieksploitasi tubuhnya. Laki-laki itu tidak menjaga perempuan tersebut, tapi justru merusak dengan menjamah tubuh perempuan itu dengan tidak dihalalkan dengan akad nikah. Hukum subhat berarti remang-remang, ambigu dan sangat tidak baik jika pacaran dilakukan (Hlm. 19).
Dengan dinamika perbuatan yang tidak jelas, maka hukum pacaran tidak jelas halal dan haramnya dan selalu dikejar-kejar dosa dan belenggu nafsu. Lalu, apakah Anda akan tetap berpacaran? Tentu harus tegas dan cerdas. Jika Anda cerdas, penulis yakin akan memilih menikah daripada sekadar melakukan pacaran yang lebih cenderung menggiring pada lembah nafsu.
Setelah membaca buku ini, Anda harus mengambil keputusan. Menjadi manusia baru, atau tetap ikut kekonyolan modern. Berhenti pacaran dan menikah, atau tetap melampiaskan nafsu dengan pacaran. Anda punya pilihan. Setelah membaca buku ini, Anda tidak punya waktu lagi, karena ini adalah masalah waktu, this is about the time, hazal ajal, tidak ada waktu lagi untuk mencari alasan untuk tidak menikah, selamat memilih. Pacaran atau nikah? Anda punya pilihan (Hlm. 9). Semoga kita termasuk orang yang menemukan kebahagiaan dalam pernikahan.
DATA BUKU
Judul : Stop Pacaran, Ayo Nikah!
Penulis : Hamidulloh Ibda
Penerbit : Lintang Rasi Aksara Books dan Lentera Aksara
Cetakan : I, 2014
Tebal : xxiii+115 Halaman
Ukuran : 13 x 19 cm
ISBN : 978-602-7802-18-6
Harga : Rp 25.000
*Peresensi adalah Ibu rumah tangga, guru di UPTD Pendidikan Gajahmungkur Kota Semarang, Direktur Rumah Baca Smarta Library Semarang.