Madura, dari Carok, Bajing, hingga Sapi Sono

Oleh: Saiful Fawait*

MADURA merupakan pulau yang kaya akan lahan garamnya sehingga Madura di luar daerah juga dikenal dengan sebutan ‘pulau garam’. Madura juga terkenal dengan kerapan sapinya. Di mana hal tersebut jarang ditemukan di daerah-daerah lain. Meskipun Madura hanya terdiri dari empat kabupaten, namun hal itu tidak menghalangi kesohornya di “mata” bangsa Indonesia.

Kesohoran Madura juga tidak terlepas dari keadaan masyarakatnya yang terkenal pemberani, dan lebih mengedepankan harga diri walaupun nyawalah yang harus menjadi taruhannya. Keberanian masyarakat Madura sudah tak asing lagi di telinga orang-orang luar, ketika mereka mendengar atau melihat “Madura” pasti yang terbayang dalam benak-benak mereka adalah sebuah celurit yang siap menerkam siapa saja yang berani menantangnya. Sehingga tak ayal bila Madura itu disimbolkan dengan celurit. Karena celurit merupakan senjata warisan turun-temurun di kalangan masyarakat Madura, yang mana senjata ini sering dijadikan solusi dalam setiap masalah yang terjadi antarmasyarakat Madura. Terutama dalam masalah perempuan (istri) ketika diganggu oleh laki-laki lain. Yang manahal demikian  di kalangan masyarakat Madura sendiri lebih dikenal dengan istilah carok. Namun selain itu, sebenarnya masyarakat Madura memiliki kebiasaan atau tradisi yang sangat unik dan sulit ditemui di seantero dunia.

Mahwi Air Tawar, penulis asal Madura mencoba mengisahkan kehidupan dan keadaan masyarakat Madura lewat bukunya yang berjudul Karapan Laut. Di dalamnya memuat beberapa cerita yang singkat dan padat, namun sudah mewakili terhadap kehidupan sehari-sehari orang Madura.

Buku ini diawali dengan kisah tokoh seorang guru ngaji yang bernama Rabbuh yang terlibat konflik dengan Durakkap, seorang warga biasa yang keras kepala. Pada suatu malam yang hanya diterangi dengan cahaya rembulan yang sedikit ditutupi oleh awan hitam sehingga kelihatan agak redup, Durakkap pergi ke rumah Rabbuh dan mengajaknya menyelesaikan masalah di antara keduanya di tepi laut. Sebelum sampai ke tempat yang dituju, mereka bertemu dengan Mattasan yang merupakan ponaan Rabbuh. Tak lama kemudian, Mattasan mendengar suara benturan benda keras, suara sabetan, suara erangan dan jerit kesakitan. Setelah ia lihat, ternyata pamannya sudah duduk bersimpuh di atas pasir, bau anyir darah tercium jelas. Di samping pamannya bersimpuh, tampak Durakkap tengah terbaring tak berdaya dengan tubuh yang penuh luka (halaman 14).

Kebiasaan carok ini merupakan warisan sesepuh Madura, Pak Sakera. Yang terkenal dengan kekerasan dan keganasannya. Sikap dan perilaku Pak Sakera ini kemudian berpengaruh terhadap keturunannya. Sehingga ketika ada konflik atau masalah kerap diselesaikan dengan carok, terutama jika konflik itu ada sangkut-pautnya dengan masalah perempuan seperti yang dijelaskan di atas, apabila ada istri seseorang yang diganggu oleh laki-laki lain, maka celuritlah yang akan menjadi jalan keluarnya. karena orang Madura sangatmemprioritaskan harga diri, mereka tak ingin harga dirinya diinjak-injak orang lain. Mereka mempunyai prinsip “lebih baik putih tulang daripada putih mata”.

Carok ini bukan pekerjaan biasa yang semua orang bisa memperagakannya, dalam hal ini mayoritas para bajing (preman) yang lebih lihai dan lebih sering melakukannya. Karena para bajing ini terkenal lebih berani dan lebih ganas. Sehingga tak jarang para bajing juga sangat disegani di kalangan masyarakat Madura. Karena selain terkenal berani dan ganas, seorang bajing biasanya akan menjaga keamanan desanya. Berdasarkan inilah para bajing juga mendapat kedudukan yang ‘terhormat’ setelah kiai. Seorang bajing yang disegani biasanya mereka yang memiliki hubungan baik dengan para bajing lain dan pencuri, sehingga para bajing dan pencuri di luar desa tidak berbuat kerusuhan dan pencurian di tempat bajing yang disegani penduduk setempat tersebut.

Sudah menjadi kesepakatan dan perjanjian tak tertulis antara para bajing bahwa setiap bajing harus menjaga desa tempat tinggal masing-masing dari pencurian dan kerusuhan. Jika ada sebuah desa yang memiliki warga yang dikenal sebagai bajing namun tetap kecolongan, itu berarti aib bagi si bajing. Atau, jika ada seorang warga mengeluh karena kehilangan barang. Bagi seorang bajing, lebih baik mati berkalang tanah ketimbang malu lantaran tak bisa menjaga keamanan desanya, (halaman 44).

Telah meenjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Madura, terutama di bagian timur, ketika ada warga yang kehilangan barang, biasanya ia mendatangi para bajing agarikut mencari dengan cara menghubungi bajing-bajing lain untuk menanyakannya. Dengan “jurus” inilah barang tersebut gampang ditemukan.

Selain kebiasan carok, orang Madura juga memiliki kebiasan ‘mendandani’ sapi (hewan peliharaan) yang bagus, agar bisa memikat para penonton dan menjadi juara pertama dalam kontes yang sering diadakan oleh masyarakat Madura, bahkan terkadang dijadikan sebagai arisan. Kontes ini di Madura sendiri lebih dikenal dengan istilah sapi sono’. Yang mana sapi-sapi tersebut diberi gelar atau panggilan sesuai selera si empunya. Pada halaman 75 dalam buku ini dikisahkan tentang seorang tokoh yang bernama Santap yang bertahun-tahun memelihara Rattin (julukan sapinya) dengan sepenuh hati dan jiwa-raganya. Sapinya selalu diberi jamu agar tetap kelihatan menarik dan indah. Beberapa butir telur ayam kampung, jahe, dan madu adalah santapan wajib Rattin. Setiap malam jumat Santap melulur Rattin dengan bedak kuning dan air kembang agar sapi sono’-nya tetap wangi bila tiba saat kontes. Di samping itu, ia juga tidak lupa membacakan mantra-mantra yang diperoleh dari seorang dukun kepercayaannya.

Mantra-mantra itu terkadang tidak hanya digunakan untuk memenangkan sapi sono’ saat pelaksanaan kontes. Namun, tak jarang pula para dukun memanfaatkan ilmunya untuk membuat seorang tergila-gila kepada orang lain. Atau sebaliknya, seseorang yang sudah cinta mati kepada kekasihnya itu bisa dibuat saling membenci dengan cara yang terbilang mudah. Ilmu-ilmu seperti itu dikenal dengan letre’, orang-orang yang tidak mempunyai ilmu seperti itu mereka akan menggunakan jasa seorang dukun dengan imbalan sejumlah uang.

Buku setebal 114 halaman ini diakhiri dengan cerita orang Madura yang sangat berani, yang mengisahkan kedua kelompok yang terlibat konflik. Yaitu antara orang Madura dengan orang Dayak yang terjadi beberapa tahun lalu, yang mana peristiwa itu membuat beberapa nyawa melayang. “Beberapa kepala berserakan di tanah, tubuh-tubuh terkapar, dan asap membubung tebal. Sejumlah orang mengamuk di antara kepungan Bala Tariu (ritual suku Dayak untuk menolak bala)”, (halaman 113).

Itulah sebagian kebiasaan masyarakat Madura yang dibahas di dalam buku terbitan Komodo Books ini. Seiring dengan berkembangnya zaman yang terus dibanjiri dengan alat-alat teknologi yang serba canggih, para remaja saat ini sudah mulai tidak mengenal terhadap kebiasaan nenek moyang mereka dan tidak memperdulikan terhadap budaya-budaya tanah kelahiran mereka sendiri. Melalui buku ini, Mahwi Air Tawar mengorek kembali hasil karya-karya nenek moyang kita. Buku ini sangat penting dibaca masyarakat Madura sendiri, terutama bagi para kaum muda. Agar mereka lebih jauh mengenal terhadap kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Madura. Buku ini juga cocok dibaca oleh orang-orang yang ada di luar Madura, agar mereka mengetahui terhadap apa yang ada di pulau garam ini.

Tokoh yang dihadirkan dalam setiap bahasan tidak lepas dari nama-nama asli orang Madura dahulu kala, seperti Tarebung, Mardiyah, Mattasan, Durakkap, Taroman dan lain sebagainya. Hal itu menggambarkan bahwa dari nama saja orang Madura memang sangatlah unik. Dalam buku ini memuat dua belas judul, yang semuanya tidak jauh menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan orang Madura. Yang mana dalam setiap bab ada beberapa bahasa Madura yang dicetak miring. Dan di akhir setiap bahasan, penulis memberi catatan yang menerangkan bahasa Madura itu sendiri.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh masyarakat Madura sendiri, terutama para pemuda. Ataupun orang-orang di luar pulau yang memiliki empat kabupaten ini. Agar mereka lebih jauh mengenal terhadap budaya-budaya Madura. []

DATA BUKU

Judul : Karapan Laut

Penulis : Mahwi Air Tawar

Penerbit : Komodo Books, Depok

Cetakan : 2014

ISBN : 978-602-9137-63-7

Tebal :114 hal.

 

Presensi adalah Pemred Majalah Infitah MA Tahfidh Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com