Oleh: Lailatul Qomariyah *
PUASA, sebagaimana kita tahu, tidak selalu tentang menahan diri dari sesuatu yang biasakitalakukan setiap hari, tidak selalu tentang lapar dan haus. Ada banyak rahasia yang terkandung di dalam Al-Qur’an mengenai perintah ibadah yang satu ini. Ibadah puasa diakui sebagai salah satu dari lima rukun Islam.
Dalam Al-Qur’an ayat 183 sudah sangat nampak tentang diwajibkannya berpuasa bagi orang muslim yang beriman. Jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya, praktik berpuasa ini merupakan ibadah yang paling sulit untuk dilaksanakan. Karena diharuskan untuk menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami istri, serta praktik-praktik biologis lainnya yang memang sudah menjadi kebutuhan badan. Saya fikir, untuk orang yang belum terbiasa sungguh hal ini sangat berat dan menyiksa. Lantas menagpa Allah memerintahkan manusia untuk berpuasa? Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan dari kewajiban tersebut? Serta bagaimana pula Al-Qur’an mempengaruhi masyarakat Arab terdahulu untuk melaksanakan ibadah tersebut dengan ikhlas dan senang hati? Padahal, keutamaan puasa dari aspek kesehatan baru terungkap beberapa dekade terahir ini.
Sebenarnya, puasa ini sudah dilaksanakan sejak dulu sebelum Islam datang. Pada saat Nabi Adam bertemu dengan istrinya, Hawa, beliau berpuasa selama sepuluh hari sebagai rasa syukur. Selain itu pemeluk agama Mesir kuno, sebagai paganis juga melakukan puasa untuk menghormati Dewa Matahari dan sungai Nil. Informasi-informasi tersebut selaras dengan QS al-baqarah ayat 183, bahwa mereka, para umat terdaulu sudah mengenal puasa. Meskipun bentuk dan caranya beragam di setiap generasi zaman (hlm 40).
Allah mewajibkan puasa bagi seluruh umat Islam yang beriman bukanlah suatu kesia-siaan. Dalam pandangan ahli Fiqih, puasa dianggap sebagai bagian terpenting dari ibadah tersebut karena laparnya orang yang berpuasa, mereka anggap sebagai senjata ampuh untuk menundukkan tabiat manusia, menahan keinginan manusia, dan mengendalikan hawa nafsu. Atas dasar inilah puasa menjadi ibadah yang begitu penting bagi kehidupan manusia.
Jika ahli Fiqih menjadikan lapar sebagai hikmah diwajibkannya berpuasa (hikmah al-Saum), sedangkan para ahli Tasawwuf menjadikan lapar sebagai inti berpuasa (mihwar al-Riyadhah), menurut ahli Tasawwuf banyak kemudharatan yang disebabkan oleh perut, yang menyebabkan seseorang berkeinginan kuat untuk mendapatkan kedudukan dan harta yang berlimpah hingga melahirkan persaingan, permusuhan, dan kedengkian. Bahkan nafsu perut jugalah yang mengeluarkan Nabi Adam dari Surga. Oleh sebab itu para kaum sufi lebih mementingkan berpuasa dari pada kenyang yang mengakibatkan kemudharatan (hlm. 45-54).
Dalam mewajibkan ibadah puasa, Al-Qur’an menggunakan kata ‘Kutiba’ dan tidak menggunakan kata ‘Furidha’. Karena, ‘Kutiba’ lebih cendrung digunakan untuk menunjukkan kepada sesuatu yang sudah melekat. Pada dasarnya manusia sudah memiliki naluri untuk menahan diri. Sehingga Al-Qur’an menggunakan redaksi kata tersebut.
Pada ayat 184 Al-Qur,an menggunakan kata ‘Ma’dudat’ untuk memberikan kesan kepada pembaca bahwa ibadah puasa hanya dilakukan beberapa hari saja. Hingga manusia merasa mudah untuk mengerjakannya. Hal inji merupakan suatu bentuk persuasi kepada pembaca untuk melaksanakan ibadah puasa tersebut (hlm. 108).
Jelas sekali bahwa Al-Qur’an memilih kata yang pas untuk melunakkan hati para pembaca. Utamanya bagi masyarakat arab dahulu yang terkenal dengan sifatnya yang keras. Oleh sebab itu, pada permulaan QS Al-Baqarah ayat 183 dibuka dengan suara lembut kepada orang-orang yang beriman. Pada ayat berikutnya, ayat 184, menyebutkan bahwa ibadah puasa hanya dilaksanakan beberapa waktu saja. Barulah pada ayat 185 Allah menjelaskan bahwa “beberapa hari tertentu” yang dimaksud adalah bulan Ramadhan. Satu bulan penuh (hlm. 137). Seandainya penyebutan bulan ini disebutkan di awal, yakni pada ayat 183, tentu akan menambah perasaan berat dalam hati pembaca untuk melaksanakannya.
Betapa Al-Qur’an sangat meperhatikan manusia yang mau mengikuti perintah dan tunduk terhadap segala yang temaktub didalamnya. Wali Ramadhani dengan menafsirkan ayat seputar puasa secara sastrawi, telah memberi pemahaman bahwa puasa bukan semata dipandang sebagai perintah yang harus diataati, tapi juga program pembelajaran spiritual dari Allah yang dapat diterima oleh akal pikiran manusia.[]
DATA BUKU:
Judul B : Tafsir Sastrawi Menelusuri Makna Puasa Dalam Al-Qur’an
Penulis : Wali Ramadhani
Tebal Halaman : 176 Halaman
Cetakan I : Mei 2014
Penerbit : MIZAN
ISBN : 978-602-1337-13-4
* Presensi adalah siswi kelas XII SMK Nurul Huda Ging-Ging, Bluto, Sumenep.