YOGYAKARTA – Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito mengungkapkan, Indonesia merupakan “dapur gastronomi terbesar di dunia”, dan memiliki potensi besar akan ketahanan dan kedaulatan pangan.
Namun demikian, Murdijati mengaku prihatin karena makanan tradisional kini mulai terpinggirkan oleh maraknya makanan-makanan modern yang muncul dan berkembang di Indonesia melalui proses globalisasi. Ia menyayangkan kurangnya minat generasi muda terhadap makanan tradisional dan lebih memilih untuk mengonsumsi makanan modern yang memang biasanya dikemas secara lebih menarik dan komersial.
“Saya mengharapkan agar semua pihak menyadari bahwa melalui pelestarian makanan Indonesia, kita bisa membangun manusia Indonesia yang berkarakter dan unggul di dunia karena makanannya saja sudah unggul,” tuturnya dikutip dari keterangan pers Humas UGM.
Murdijati punya misi membawa masakan dan budaya Indonesia ke hadapan dunia. Ia telah menulis lebih dari 60 buku mengenai budaya kuliner Indonesia, dan pelestarian, manajemen, serta pemberdayaan produk lokal dan menjadi pembicara di berbagai event kuliner, khususnya setelah ia pensiun dari perannya sebagai pengajar di FTP.
Berkat perannya dalam melestarikan makanan tradisional Indonesia dan membawanya untuk dikenal di kancah dunia, Murdijati menerima Lifetime Achievement Award dalam Ubud Food Festival (UFF) yang berlangsung 26-28 April lalu. Ia menjadi orang kelima yang menerima penghargaan tersebut, setelah sebelumnya penghargaan serupa diserahkan kepada nama-nama besar dalam dunia kuliner Indonesia, seperti Siska Suwitomo dan Bondan Winarno.
“Saya mendapat penghargaan ini sebagai pejuang kuliner Indonesia untuk muncul di tingkat dunia,” ujarnya.
UFF sendiri merupakan salah satu festival makanan terkemuka di Indonesia yang menghadirkan lebih dari 100 pembicara mulai dari juru masak atau chef, penulis buku resep makanan, pakar kuliner, pegiat gastronomi, serta pelaku kuliner nasional dan internasional. Di dalam festival ini, pengunjung dimanjakan dengan berbagai makanan khas Indonesia yang mungkin jarang ditemukan di restoran pada umumnya.
Selain menerima penghargaan, dalam acara ini ia menyampaikan materi dalam seminar bertajuk “Food for Thought: Waste Not Want Not” yang mengulas persoalan terkait limbah makanan. Indonesia adalah penghasil limbah makanan terbesar kedua di dunia, menurut Economist Intellegence Unit. Meskipun demikian, 19.4 juta orang Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan makanan mereka sehari-hari.
Ia mengatakan banyak makanan tradisional yang dibuat dari bahan-bahan yang sering terbuang, meski memiliki nilai ekonomi yang rendah tapi justru memiliki manfaat yang besar dari segi pangan, misalnya bekatul atau blondo,
“Banyak potensi yang hilang dalam menyediakan makanan. Ini adalah salah satu permasalahan dalam perkembangan kuliner di Indonesia,” imbuhnya.
Ia berharap, agar generasi muda punya kreasi untuk mengembangkan makanan tradisional tapi dengan tetap berakar pada budaya bangsa Indonesia, dengan bahan-bahan yang diproduksi di negara sendiri.
Melalui acara tersebut, ia juga berharap lebih banyak orang menyadari pentingnya melestarikan makanan Indonesia, termasuk kearifan lokal di dalam praktik kuliner,
“Dan mengembangkan potensi lokal dengan ide-ide kreatif yang bisa menarik penikmat kuliner tidak hanya di Indonesia tapi hingga ke tingkat dunia,” harap Prof Murdijati. (kt1)
Redaktur: Faisal