Oleh: Drs. Mustari, H.Hum*
(BAGIAN 1)**
Sebagai pengantar terhadap tulisan panjang berseri ini, saya kutip sebuah puisi satir, otokritik, dan jenaka tentang orang Melayu oleh sastrawan Usman Awang. Judulnya Melayu.
Melayu itu orang yang bijaksana// Nakalnya bersulam jenaka// Budi bahasanya tidak terkira// Kurang ajarnya tetap santun// Jika menipu pun masih bersopan// Bila mengampu bijak beralas tangan.//
Melayu itu berani bila bersalah// Kecut takut kerana benar,// Janji simpan diperut// Selalu pecah dimulut,// Biar mati adat// Jangan mati anak.//
Melayu di tanah semenanjung luas maknanya:// Jawa itu Melayu, Bugis itu Melayu// Banjar juga disebut Melayu// Minangkabau memang Melayu,// Keturunan Acheh adalah Melayu,// Jakun dan Sakai asli Melayu// Mamak dan Malbari serap ke Melayu// Malah mua’alaf bertakrif Melayu// (Setelah sunat anunya itu)//
Dalam sejarahnya// Melayu itu pengambara lautan// Melorongkan jalur sejarah zaman// Begitu luas daerah sempadan// Sayangnya kini segala kehilangan//
Melayu itu kaya falsafahnya// Kias kata bidal pusaka// Akar budi bersulamkan daya// Gedung akal laut bicara//
Malangnya melayu itu kuat bersorak// Terlalu gairah pesta temasya// Sedangkan kampung telah tergadai// Sawah sejalur tinggal sejengkal// Tanah sebidang mudah terjual// Meski telah memiliki telaga// Tangan masih memegang tali// Sedang orang mencapai timba.//
Berbuahlah pisang tiga kali// Melayu itu masih bermimpi// Walaupun sudah mengenal universiti// Masih berdagang di rumah sendiri.//
Berkelahi cara Melayu// Menikam dengan pantun// Menyanggah dengan senyum// Marahnya dengan diam// Merendah bukan menyembah// Meninggi bukan melonjak.//
Watak Melayu menolak permusuhan// Setia dan sabar tiada sempadan// Tapi jika marah tidak nampak telinga// Musuh dicari ke lubang cacing// Tak dapat tanduk telinga dijinjing.//
Maruah dan agama dihina jangan// Hebat amuknya tak kenal lawan// Berdamai cara Melayu indah sekali// Silaturrahim hati yang murni// Maaf diungkap senantiasa bersahut// Tangan diulur sentiasa bersambut// Luka pun tidak lagi berparut.//
Baiknya hati Melayu itu tak terbandingkan// Selagi yang ada, sanggup diberikan// Sehingga tercipta sebuah kiasan:
“Dagang lalu nasi ditanakkan// Suami pulang lapar tak makan// Kera di hutan disusu-susukan// Anak di pangkuan mati kebuluran”.//
Bagaimanakah Melayu abad dua puluh satu// Masihkan tunduk tersipu-sipu?//
Jangan takut melanggar pantang// Jika pantang menghalang kemajuan;//
Jangan segan menentang larangan// Jika yakin kepada kebenaran;//
Jangan malu mengucapkan keyakinan// Jika percaya kepada keadilan.//
Jadilah bangsa yang bijaksana// Memegang tali memegang timba// Memiliki ekonomi mencipta budaya// Menjadi tuan di negara Merdeka.//
Meski ada beberapa bait yang tampaknya ditambahkan oleh penulis lain, artikel ini tidak akan membahas-habis puisi tersebut. Cukuplah puisi itu memberikan gambaran padat dan kritis terhahdap suku-bangsa Melayu. Selebihnya silahkan bongkar-bongkar sendiri file sejarah Melayu yang sudah banyak bertebaran.
Apa yang ingin diangkat di sini adalah tunjuk ajar dari suku-bangsa ini yang terhimpun dalam buku Tunjuk Ajar Melayu yang dikumpulkan dan disusun-semula oleh Tenas Affendy, seorang budayawan Melayu terbilang, penjaga adat Melayu pilih-tanding di Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Karya ini penting, karena menyimpan kearifan lokal berupa ajaran leluhur dari suku-bangsa Melayu, suku penyumbang bahasa Indonesia, yang disampaikan secara puitis. Kearifan lokal tersebut bernilai universal. Artinya, nilai-nilai tersebut bisa mewakili suku-bangsa mana pun, khususnya bangsa Indonesia. Namun sayang, tidak semua orang berkesempatan memilikinya, sehingga kandungannya hanya terpendam dalam lembaran-lembaran buku tersebut.
Oleh karenanya, penulis akan membahas dan memasarkan ide-idenya secara berseri dengan tema utama: Dari Yogya untuk Dunia. Mengapa dari Yogya? Karena buku ini dicetak dan diterbitkan di Yogyakarta oleh sebuah lembaga swasta yang bernama Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) yang beralamat di Gambiran 85 A Yogyakarta 55161, bekerja sama dengan Penerbit Adicita Karya Nusa yang beralamat di Jln. Sisingamangaraja 27 Yogyakarta 55153. Kedua lembaga ini diterajui oleh Datuk Cendikia Hikmatullah Mahyuddin Al Mudra, S.H., M.M., M.A.
Supaya Melayu tetap terbilang// Tunjuk dan ajarnya wajib disandang// Petuah amanah wajib dipegang// Adat lembaga wajib dikenang.
Supaya Melayu tetap terpuji// Tunjuk dan ajar pemayung diri// Bila Melayu tak mau terkeji// Tunjuk ajar hendaklah kaji. (TAM: v).
Melayu terbilang, Melayu terpuji, Melayu yang tak keji, itu di antara identitas Melayu yang harus tetap dijaga di bawah naungan adat lembaga dan tunjuk ajarnya.
Penting kiranya mengutip kesaksian Mahyudin Al Mudra (akrab disapa dengan Bang MAM) ketika menerbitkan buku ini, bahwa di antara kekayaan budaya Melayu adalah ungkapan puitisnya yang menonjol. Hampir semua suku-bangsa di Nusantara memiliki seni, namun tidak semuanya memiliki seni-ungkap sekental suku-bangsa Melayu yang tercermin dalam syair, pantun, bidal, gurindam, talibun, dan pepatah-petitih.
Semakin didalami ungkapan-ungkapan tersebut, semakin terhanyut dalam keindahan dan maknanya. Keindahan ungkapannya bukan hanya terletak pada pilihan kata dan susunannya yang rancak, tetapi lebih pada makna filosofisnya. Sangat disayangkan, perubahan zaman telah menggerus ungkapan-ungkakan nan indah itu. Semakin ke mari, sebagian masyarakat semakin individualistis yang disibukkan dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang kompleks sehingga tidak punya kesempatan untuk kumpul-kumpul budaya—wahana yang efektif untuk menghidupkan tradisi berbalas pantun. Apatah lagi di zaman medsos yang tidak mempertemukan manusia secara fisik ini, maka ungkapan-ungkapan indah dalam pepatah-petitih sudah tidak diakrabi lagi. Yang banyak adalah bahasa-bahasa sarkartis, sinis, dan satir yang tidak indah.
Kalau hendak mengekalkan Melayu,// tunjuk dan ajar hendaklah tahu.//
Supaya Melayu tetap terbilang,// petuah amanah jadikan pancang.// (*)
*Penulis adalah Dosen mata kuliah Filologi, Metodologi Penelitian Sastra, Bahasa Indonesia, dan Jurnalisitik di Jurusan BSA Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
** BERSAMBUNG