Sketsa Wajah di Langit Mendung

Cerpen: El Aulia Syah

DERU laju kereta kembali melintas, suara kontaknya di ponsel.

Saat itu aku benar-benar kesal, marah dan tersinggung. Percikan api dendam semakin membara ketika dia tak hanya menghinaku, tapi menghina seluruh keluargaku. Mulanya hanya karena sepele, soal beda pendapat di group whatsapp. Dia menyebutku sebagai pecundang, karena tak berani menerima kenyataan. Aku merantau dan berusaha berdikari, meninggalkan kenyamanan fasilitas warisan orang tua katanya demi gengsi.

“Hei, berhentilah jadi pahlawan kesiangan tapi jangan berhenti jadi orang baik, bro” tulisnya ditingkahi emoticon tertawa terbahak-bahak.

“Kamu itu dah jelas gagal. Kasian aja sama anak bini lo,” sambungnya dengan di ujung tulisan menyematkan emoticon muka sedih.

Saya lupa awal mula obrolan itu. Yang jelas, pada suatu sore, ketika melepas jenuh karena seharian hanya membuka youtube sesekali baca buku, selebihnya merokok dan minum kopi.

Ya, waktu itu benar-benar suntuk. Pandemi Covid-19 membuat keadaan benar-benar abnormal. Itu juga yang mungkin membuat otak dan hatiku mudah tersulut emosi. Sesusah-susahnya sebelum pandemi, tak sesumpek ini. Rasanya memang ingin berontak saja, tak peduli dengan ancaman, sanksi, atau “bully”. Tapi apa gunanya, kalau semua yang biasa ku temui juga menutup diri dengan work from home?

Rupanya perjalanan hidup benar-benar menyisakan puzzle yang berserakan dalam memori masa laluku. Banyak bentuk dan warna telah kulalui. Betapa usia tak bisa dibohongi ketika ku menengok ke belakang ingatan.

Memang dulu, ketika masih muda dengan segala idealismenya, aku tak peduli dengan banyak pertimbangan. Ketika ada yang tidak cocok dan menurutku merugikan banyak orang, langsung saja saya kritisi, bila perlu saya lawan. Tak peduli siapa dia, apapun jabatan dan sekuat apapun powernya. Pertimbanganku hanya satu; jika karena melawan akan mendapatkan celaka, itu sudah resiko dan aku siap.

Puzzle-puzzle masa lalu semakin jelas membangkitkan ingatanku. Betapa dulu, aku bersama orang yang sekarang ku tunggu kedatangannya di stasiun ini selalu bersama. Dia menjadi saksi hidup ketika aku menjadi yang kini disebutnya sebagai pahlawan kesiangan. Aku rela menjadi orang yang dibully bahkan dikatakan halu ketika melakukan perlawanan-perlawanan terhadap sesuatu yang aku anggap menindas. Padahal yang aku anggap tertindas bahkan tak peduli dan menikmati ketertindasannya.

Aku juga tak peduli dengan apa yang seharusnya bisa kumiliki dan kunikmati diambil orang lain dengan maksud membantu dan menunjukkan komitmenku sebagai penolong dan orang yang peduli.

Bahkan, aku cuek ketika dibodohi kalau soal materi. Bukan tidak tahu dibodohi, tapi lagi-lagi karena aku punya imajinasi dan keyakinan bahwa aku suatu saat pasti akan jadi orang hebat. Kisah dibodohi orang-orang yang dulu susah ku bantu, akan menjadi bagian dari cerita di balik suksesku di masa mendatang.

Impianku nyaris terwujud. Sayangnya pandemi merenggut segala rencanaku. Satu persatu usahaku tutup diiringi hengkangnya teman-teman terbaikku.

Ya, kadang segala kesusahan yang begitu sesak dalam pikiran menyembul ke ubun-ubun menjelma amarah. Marah kepada apa saja: terutama kepada keadaan. Ya, memang marah dan emosi tak jauh dari kebodohan. Pun seperti yang aku lakukan kepada sahabat yang kini ku sambut kedatangannya di stasiun ini.

Aku baru menyadari, ia memang sejak dulu kocak, suka bercanda dan sangat blak-blakan. Aku dulu tak pernah tersinggung dengan kata-katanya. Justru kerap terhibur dan terinspirasi.

Aku juga baru sadar betapa dia adalah teman sesungguhnya. Di saat sulit, dia menjadi solusi yang tak dinyana-nyana.

“Hallo ini Aji kan? Apa kabar? Maaf ya atas ucapanku di group. Sungguh aku tak bermaksud menghinamu di depan teman-teman”

Suatu sore ia menelepon dengan nomor kontak yang tak tersimpan dalam memori ponselku. Terang saja aku kaget. Tak ku sangka dia masih mau menghubungiku. Aku tak bisa banyak bicara. Karena saat itu pikiranku memang sedang kacau. Semua yang dulu pernah ku tolong saat susah, tak membalas chat dan menolak mengangkat teleponku.

Ya, dia datang dan menjadi solusi pada saat yang sangat genting. Bisnisku terselamatkan berkat dia yang memberikan proyek baru untukku. Bahkan, hingga setengah pekerjaan telah ku selesaikan tak ada masalah meski hanya komunikasi melalui video call.

“Bro lusa aku silaturahmi ya. Aku pake kereta biar lo jemputnya deket. Aku sendirian aja, pengen nostalgia naik kereta kayak dulu waktu kita masih gembel ha ha ha,” katanya.

Ya, dulu aku dan dia memang sering naik kereta ketika mau ke Jakarta mengikuti kegiatan organisasi mahasiswa atau aksi demonstrasi.

Jam di ponsel menunjukkan waktu kedatangan kereta yang ia naiki. Aku mulai mendekat ke pintu penjemputan penumpang. Namun, hingga 10 menit berlalu, belum tampak kereta datang dari Jakarta.

Justru nampak di seberang kereta ke arah Jakarta yang akan berangkat.

Nampak petugas kereta api berdiri, mengacungkan edblek berwarna hijau, kemudian membunyikan peluit. Semboyan 40 ini menjadi tanda pemberian izin kepada kondektur bahwa kereta siap diberangkatkan.

Kemudian, kondektur terlihat menjawabnya dengan semboyan 41, dengan membunyikan peluit, sejurus kemudian sang masinis mulai tancap gas.

Tak terasa 30 menit berlalu dari jadwal tiba kereta yang ia tumpangi. Aku mulai gelisah dan bertanya ke petugas informasi.

Tapi sebelum sempat bergegas, tampak banyak orang tiba-tiba menangis histeris sambil melihat layar televisi di dinding.

“….dikabarkan 33 penumpang meninggal dunia akibat kecelakaan kereta api…” kata presenter berita salah satu stasiun tv yang menyiarkan secara live kecelakaan kereta api yang ditumpangi sahabatku.

Buru-buru aku meneleponnya. Dalam hati aku berdoa semoga dia selamat. Tapi berkali-kali tak diangkat. Lalu akupun mencari informasi di Google.

“Korban meninggal salah satunya adalah pengusaha muda…” jantungku sesaat berhenti berdenyut. Dadaku terasa sesak. Airmataku pun tumpah. Ku coba menahannya dengan menatap langit yang mendung. Tapi ternyata ku lihat sketsa wajahnya yang tersenyum sembari mengucap kata-kata yang sering ku dengar,

“Come on bro, kita bukan orang lemah dan air mata laki-laki itu mahal.” (*)

Cerpen,cerpen pilihan,cerpen sedih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com