Cerpen: Hasnah Dwi Saputri*
Februari menjadi semacam bulan penuh kenangan bagi Rani. Istimewanya bulan ini tak ada kaitannya dengan astronomi atau kepercayaan tentang zodiak. Ya, tentu saja, karena ia lahir di Bulan Desember awal 37 tahun silam. Suami dan anak-anaknya juga tidak ada yang berulang tahun di bulan kedua ini.
Februari menjadi berarti setelah ia mengalami sebuah peristiwa yang sebenarnya tak enak untuk diingat. Tepatnya 11 tahun silam, ia divonis menderita kanker stadium 4 dan diperkirakan usianya tak akan lama. Karena memang sudah tak sanggup menanggung biaya dan merasa kasihan kepada suami san anak-anaknya, ia kemudian memutuskan untuk menanti ajal di rumah.
Ketika sudah sampai pada titik kepasrahan terdalam, ia justru merasakan seluruh tubuhnya kembali berdaya. Entah kebaikan apa yang pernah ia lakukan sebelumnya sehingga menerim keajaiban dari Tuhan.
Pertengahan Februari ia terkaget di suatu pagi. Ketika bercermin ia melihat rambut mulai tumbuh di kepalanya yang semula plontos. Warna hitam di cekungan matanyapun mulai memudar. Iapun enggan selalu rebahan. Pekerjaan ringan seperti menyapu lantai atau sekadar menyetrika baju tetap ia lakukan.
Bulan-bulanpun berganti, dan ia masih hidup. Februari kedua setelah keluar dari rumah sakit ia kembali mendapat kebahagiaan. Suatu malam ketika turun hujan, tak sengaja ia terbangun. Perutnya terasa lapar. Karena tidak ingin merepotkan suami dan anak-anaknya iapun ke dapur untuk memasak. Tanpa ia sadari, ia memasak dengan perasaan seperti biasa ketika dulu masih gadis. Hasilnyapun sempurna tanpa lelah apalagi pusing berlebihan ketika melakukan aktifitas berdiri terlalu lama. Hasil masakanpun sempurna. Setelah mengisi perut ia kembali tidur di samping suaminya yang terlihat lelah meski dalam lelap.
Keesokan paginya ia kembali terbangun. Aneh namun membahagiakan ia rasakan. Pagi itu ia bangun paling awal dari suami dan anak-anaknya. Badannyapun terasa lebih segar. Ia bergegas mencuci muka lalu ke dapur memasak, tak lupa menyediakan kopi untuk suaminya. Ya, seperti kondisi normal sebelum ia jatuh sakit.
Ketika terbangun suami dan anak-anaknya juga tak terlihat heran. Semuanya benar-benar normal. Rani sempat berpikir kalau sebenarnya ia sedang berhalusinasi.
“Ayah tidak merasa aneh dengan ibu?” Tanya rani kepada suaminya.
“Apanya yang aneh? Ibu baik baik saja dan tetap cantik,” jawab sang suami.
“Kakak, adik liat ibu ada yang tak biasa?” Tanya Rani kepada kedua anaknya yang kini sudah beranjak remaja.
“Apanya yang aneh bu? Biasa biasa saja” jawab anak sulungnya.
“Kalau Ibu lupa matikan keran kamar mandi itu biasa . Enggak aneh” sambung anak bungsunya yang sudah lebih feminim.
Setelah rumah sepi setelah suaminya berangkat bekerja dan anak-anaknya pergi ke sekolah, Rani tertegun di teras rumahnya. Rintik hujan tiba tiba nampak turun dari langit, namun matahari tetap cerah. Tempas hujan menyerpih di udara. Tak lama kdmudian nampaklah lengkung pelangi yang seolah menghiasi cakrawala akhir Februari.
Saat menikmati keindahan alam itu, tiba-tiba ia dikagetkan dengan gelegar petir yang tiba-tiba menghentak. Ia kemudian tersadar, cucian baju di halaman samping rumahnya belum diangkat. Sejurus kemudian ia bergegas mengambil baju-baju di tempat penjemuran. Namun tiba-tiba ia terjatuh dan kepalanya terbentur dinding.
Saat siuman ia merasakan tangannya terasa pegal lantaran jarum infus yang menempel. Kepalanyapun terasa berat. Bahkan untuk sekadar menengokpun terasa berat. Pandangan matanyapun menjadi samar-samar. Namun ia sempat mengenali suami dan kedua anaknya yang berada di sampingnya.
Rani tak tahu apakah saat itu masih Bulan Februari? Ia juga tak lagi berdaya untuk beranjak ke dekat jendela untuk memastikan apakah masih ada pelangi di tengah hujan.
Namun lamat-lamat ia mendengar suara suami dan anak lelakinya melantunkan doa-doa, sementara anak perempuannya terisak sembari memegangi tangannya.
Rani tak lagi bisa berpikir apakah saat itu ia sedang berhalusinasi atau memang tengah menghadapi kenyataan. Ia hahya berusaha tersenyum untuk menciptakan sugesti kalau dia sedang baik-baik saja (*)
*Penulis adalah Ibu rumah tangga, pembelajar di Forum penulis Kata Mata Pena Yogyakarta.