Menjadi Konsumtif dan Meraih Kemenangan Semu

Hari raya idul fitri biasa disebut sebagai hari kemenangan, setelah melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan selama sebulan penuh.

Puasa yang wajib dilaksanakan karena menjadi rukun Islam ke 3 ini, tidak sekadar menahan lapar dan haus, melainkan juga melawan hawa nafsu.

Karena keberhasilan melaksanakan puasa selama sebulan penuh itulah, maka Idul Fitri adalah reward yang layak diperoleh.

Ramadhan sendiri disebut bulan Suci. Sedangkan Idul Fitri berasal dari kata ‘id yang berarti kembali dan fitri berarti suci, bersih karena telah terbebas dari segala kesalahan dan dosa.

Bagi yang melaksanakan puasa ramadhan secara paripurna, maka kembali suci dan bersih seperti bayi yang baru dilahirkan, tidak memiliki kesalahan dan dosa.

Idul Fitri diartikan sebagai hari kemenangan umat Islam, karena kesucian sesungguhnya puncak kemanusiaan.

Proses kembalinya manusia pada dimensi kesucian dilakukan melalui proses ibadah yang dinamakan puasa Ramadhan yaitu puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan.

Jika merujuk pada makna Idul Fitri yang sebenarnya, seharusnya setelah Idul Fitri, sebagai ummat Islam kita menjadi manusia yang lebih baik. Bukan sebaliknya, menjadi lebih buruk. Misalnya, menjadi pribadi yang lebih pemaaf, menjadi manusia yang lebih bisa menahan hawa nafsu, termasuk menjadi manusia yang lebih produktif.

Tentu makna produktif berarti tidak menjadi konsumtif. Kenapa produktif ini menjadi penting untuk diingatkan? Tentu karena dalam realitasnya masih banyak masyarakat yang merayakan lebaran dengan menunjukkan sikap konsumtif.

Seperti misalnya fenomena meningkatnya pembelian di pasar-pasar baik tradisional maupun pasar modern. Padahal kita juga tahu bahwa sudah lazim jika jelang lebaran (idul fitri) harga-harga melambung tinggi.

Di sisi lain, meningkatnya transaksi di pegadaian. Memang ada yang menebus, terutama perhiasan emas karena digunakan saat lebaran. Setelah lebaran ramai-ramai menggandaikannya kembali.

Bahwa benar merayakan idul fitri yang identik dengan baju baru, makanan enak dan berbagi hadiah dengan sanak saudara bukanlah hal yang diharamkan. Namun tentu islam juga mengajarkan jangan berlebihan dalam segala hal. Seperti dalam makan.

“Sesungguhnya termasuk sikap berlebih-lebihan bila kamu memakan segala sesuatu yang kamu inginkan” (HR. Ibnu Majah).⁣

Berlebihan dalam konteks mengada-adakan (memaksakan) di luar batas kemampuan yang sebenarnya menunjukkan gaya hidup yang lebih meningkat. Bukan kualitas hidup yang meningkat. Padahal merujuk pada makna sesungguhnya, Idul Fitri idelanya membawa ummat islam lebih meningkat kualitas hidupnya karena telah meraih kemenangan. (*)

*Penulis adalah penggiat di Forum Muda Lintas Iman Yogyakarta (Formuliyo).

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com