Gapura Tua: Misteri Bangku Mbah Kunto Bagian-2

Cerita Bersambung Oleh: Al Ghifari*

Ku lihat Nelson masih Nampak mengatur nafas, sebelum akhirnya menjawabku dengan suara seraknya.

“Masih, ayo lanjut. Sudah sore juga,” katanya.

Angin gunung yang bertiup kencang untuk kesekian kalinya menerpa tubuh kami. Namun itu tak cukup rasanya untuk menghempaskan kelelahan kami. Sejenak aku berhenti, karena Nelson sudah cukup jauh tertinggal di belakang. Aku tenggak minuman energi yang sempat ku beli di toko berjejaring saat berangkat kemarin.

Rasa asam bercampur manis membuat tenggorokanku sedikit lega. Ketika Kembali ku tengok ke belakang. Ternyata Nelson masih berdiri tak bergerak. Aku curiga, sehingga ku putuskan turun untuk menyambanginya. Memang tidak jauh jarak kami, hanya terpaut sekira lima meter saja. Aku benar-benar mulai khawatir Ketika wajahnya menunduk. Perlahan dia ambruk dengan posisi telungkup. Sontak kepanikanku bertambah. Segera ku ambil tas gunung yang di punggungnya dan membalikkan badannya agar lebih mudah bernafas.

“Sory Jay, aku benar-benar capek,” katanya. Aku sedikit lega, ternyata dia masih sadar. Ku berikan air mineral dan setelah diminum beberapa teguk kemudian, nelson Nampak aneh. Bukan hanya segar, melainkan matanya juga berbinar.

“Kita sampai Jay!. Lihat itu,” katanya sembari mengarahkan telunjuknya ke atas.

Ini benar-benar aneh, tiba-tiba terlihat  di ujung jalan  berdiri kokoh dua bangunan, bentuknya mirip seperti tumpukan batu bata merah yang membentuk seperti candi di kanan dan kiri tepi jalan.

“Itu Gapuranya!” seru Nelson.

Tentu saja aku heran. Sebab, beberapa menit yang lalu aku sudah sampai di atas dan tak melihat apapun selain jalan setapak dan pepohonan. Terlebih, jaraknya benar-benar Nampak tak begitu jauh dari sejak aku turun Kembali untuk menolong Nelson yang tersungkur barusan.

Tapi aku tak bisa menyangkal kalua itu bukan halusinasi. Sebab aku dan nelson sama-sama melihatnya.

Terus terang saja selama melangkah naik ke gunung ini, pikiranku kemana-mana. Setiap ku melangkah, ada saja yang kupikirkan. Ketika melihat pohon-pohon besar yang belum pernah ku lihat sebelumnya atau satwa seperti burung-burung berbulu aneh yang juga baru pertama kalinya ku lihat, aku merasa seperti bukan berada di negeri sendiri.

Ini bukan kali pertamanya aku naik gunung atau ke desa-desa terpencil, karena aku aktif menjadi anggota Mahasiswa Pencinta Alam. Namun suasana gunung tempat tinggal Mbah Kunto ini benar-benar beda. Bahkan sore hari ini, tak Nampak ada kabut tebal, meski udara terasa sangat dingin. Meski konon gunung dan Mbah Kunto penih misteri, tapi sepanjang perjalanan tidak sekalipun bulu kuduk ku merinding. Tidak ada hal-hal yang menyeramkan. 

Baru setelah hampir sampai ke gapura yang kata Parmo, sebagai penanda sudah dekat dengan kediman Mbah Kunto inilah, aku benar-benar mulai merasakan adanya sesuatu yang ganjil. Tapi aku berusaha tenang dan berpura-pura tak terkejut di hapadan Nelson. Aku sengaja berbohong di depannya bahwa aku sudah melihat gapura itu sejak sebelum dia terjatuh tadi.

“Iya, tadi aku juga udah lihat, makanya aku berhenti nungguin kamu sambal minum. Eh, malah kamu diam aja, lalu jatuh,” kataku.

Bukan tanpa alasan aku berbohong dengan Nelson. Aku tahu betul siapa sahabatku ini. Nelson sangat imajinatif dan masih sangat percaya dengan hal-hal yang berbau metafisika. Sedangkan aku sebaliknya. Aku percaya ada makhluk ghaib, namun tidak terlalu meyakini dunia mistis yang kerap dinarasikan oleh orang-orang yang menyebut diri sebagai paranormal. Aku tidak percaya adanya hantu dan sejenisnya yang bisa membunuh manusia. Tepatnya aku lebih meyakini hal-hal yang benar-benar logis, masuk akal dan ilmiah. 

Kebohongan saya kepada Nelson bukan kali ini saja. Ketika masih proses syuting di desa bawah bukit, Nelson mengaku pernah dengan tak sengaja memergoki Mbah Milah memetik pohon kelapa yang tinggi dengan cara seperti terbang. Tentu saja itu sangat aneh. Bagaimana mungkin perempuan renta berusia hamper 2 abad itu bisa melakukannya?. Tapi aku berusaha tak mengecewakan sahabatku ini, dengan tidak berusaha mendebatnya atau berkomentar nyinyir dengan mengatakan dia lagi Halu.

Suatu Ketika Mbah Milah memang membuatku tak habis pikir. Ketika aku berusaha menawarinya membonceng motor trailku menuju ke ladangnya. Kebetulan sejak tim kami dating untuk membuat film dokumenter, salah spot yang digunakan untuk syuting adalah ladang milik Mbah Milah. Sebab mbah Milah memang salah satu narasumber utama kami, selain Kepala desa  dan beberapa tokoh masyarakat setempat.

Kami meminta ijin ke pemerintah desa setempat untuk membuat jalan pintas sementara agar bisa dilalui sepeda motor ke menuju ladang milik Mbah Milah. Nah, Ketika menawari tumpangan ke ladangnya, Mbah Millah menolak dan meminta saya duluan saja pakai motor.

“Monggo anak mas duluan. Mbah takut naik Honda (maksudnya sepeda motor),  tidak pernah naik Honda. Takut pusing. Maaf ya Nak Mas,” kataya sopan. Akhirnya Nelson memutuskan tidak menggunakan sepeda motornya dan menemani mbah Millah jalan, sementara aku tetap menggunakan sepeda motor untuk menuju ladang Mbah Millah untuk prepare pengambilan gambar.

Tapi betapa terkejutnya aku Ketika ternyata setibanya di ladang, hanya berselang hitungan detik, Mbak Milah dan Nelson sudah Nampak di belakang.

“Sudah lama nunggu Jay?” tanya Nelson waktu itu dan akupun dibuat terperanjat.

Ia bertanya dengan nada serius. Tak terlihat ada raut bercanda sama sekali. Dan waktu itu aku juga dibuat bertanya-tanya dengan senyum misterius mbah Millah. (bersambung)

 *Penulis adalah penggiat forum penulis Kata Mata Pena Jogja (Komunitas penulis binaan jogjakartanews.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com