Cerita Bersambung Oleh: Al Ghifari
Seharusnya aku kaget, ketika Nelson menunjuk pohon beringin besar berlubang itu sebagai rumah. Tapi aku kali ini benar-benar biasa saja. Tidak heran apalagi kaget. Sebab, sejak langkah pertama mendaki gunung ini, sudah puluhan hal aneh ku alami, termasuk perbedaan penglihatanku dengan Nelson. Padahal, mata kami sama-sama normal. Kami tidak minus, buta warna, apalagi rabun.
“Akhirnya Jay, kita sampai juga. Itu rumahnya,” kata Nelson sekali lagi seolah hendak meyakinkanku, sembari menunjuk ke arah pohon beringin berlubang itu.
“Ya, coba kita lihat nanti, Mbah Kuntonya ada enggak,” jawabku datar.
Secara kasat mata, jarak pohon beringin itu lumayan jauh. Kalau dalam perkiraanku, normalnya sekira 500 meter. Sulur-sulur batang kokohnya memang sudah nampak. Artinya memang tak begitu jauh. Tapi entah sebesar apa pohon itu jika ternyata dalam waktu lebih dari 10 menit ke depan kami tidak sampai di sana.
Sebenarnya 10 menit awaktu yang cukup lama untuk menempuh perjalanan yang hanya berjarak sekitar 500 meter. Tapi kerena jalan menanjak dan cukup terjal, agak normal. Ketika biasanya kalau jalan normal 2 atau tiga langkah sudah 1 meter, Ketika menanjak di gunung ini, jarak 1 meter bisa 5 sampai 6 langkah. Itulah gambaran betapa sulitnya medan kali ini. Jauh berbeda sebelum sampai gapura.
Benar saja, belum sampai 30 langkah, Nelson yang berjalan di depanku sudah berhenti. Ia Kembali meminta difoto dengan Back Ground pohon beringin yang dalam penglihatannya seperti bangunan rumah.
“Bro, fotoin dong dari sini. Ambil yang bagus ya, anglenya rumah joglo itu sama pohon beringinnya, keren kayaknya,” katanya menyuruh.
Akupun menuruti permintaannya. Kembali kubidikkan kamera HP ke Nelson beberapa kali.
Kali ini aku ingin melihat hasilnya. Apa benar bahwa di bawah pohon beringin itu ada rumah joglo seperti yang dikatakan Nelson. Tapi ternyata tidak sama sekali. Memang ada semacam objek di bawah pohon beringin itu. Tapi bukan rumah. Itu lebih menyerupai gundukan batu Putih. Tapi memang ada yang aneh, karena gunsukan batu itu memancarkan seperti cahaya kekuning-kuningan.
Tapi tiba-tiba aku teringat dengan Bonsai Pohon beringin milik Ayahnya Nelson. Bonsai yang oleh teman ayahnya diminta dibuang karena dianggap sebagai tempat makhluk gaib yang membuat Nelson kesurupan setiap bulan purnama tiba. Ya, pohon beringin yang dianggap Nelson sebagai rumah itu juga mirip sekali dengan bentuk bonsai keayangan milik ayahnya.
Aku coba memastikan seberapa miripnya dengan membuka gallery foto di HPku. Kebetulan aku memang pernah memotret pohon bonsai beringin milik Ayah Nelson yang disebut-sebut sudah berusia 100 tahun lebih itu. Benar saja. Bentuknya mirip sekali, bahkan nyaris persis.
Aku juga pernah mendapat cerita langsung dari om David, ayahnya Nelson tentang asal-usul bonsai beringin koleksinya itu. Menurutnya, bonsai itu memang bukan bonsai biasa. Bukan karena nilai mistis, namun karena nilai historis dan estetis. Pohon beringin bonsainya juga bukan jenis pohon beringin biasa yang banyak tumbuh di sini. Ia jenis pohon beringin import dan banyak digemari kolektor bonsai di Jepang dan China.
Teringat cerita itu, maka rasa heranku bertambah. Kalau memang beringin itu langka dan biasanya hanya banyak di luar negeri, kenapa bisa tumbuh di gunung ini?
Mataku tiba-tiba tertuju ke objek aneh di bawah pohon dalam kamera HP ku. Gundukan batu itu tertata rapi, seperti bukan terbentuk oleh alam. Mungkin jika dilihat lebih dekat, mirip dengan tumpukan batu candi atau bahkan seperti kuburan zaman dulu. Tiba-tiba buluk kudukku benar-benar dibuat merinding.
Terus terang saja, selama ini aku memang selalu merinding Ketika melihat kuburan manusia yang dihiasi batu nisan. Entah mengapa. Itu aku rasakan sejak masih kecil. Dimana padu bulan-bulan tertentu aku Bersama Papa, Mama dan keluarga besar ziarah ke makam eyang di kompleks pemakaman keluarga. Aku ingat Makam eyangku dihias dengan batu nisan dan di dalam bangunan seperti Joglo.
Meski berusaha tidak heran dengan berbagai keganjilan di gunung ini, namun aku benar-benar tidak bisa menutupinya. Perasaanku tetap dibuat gelisah. Entahlah, banyak hal di luar nalar yang memang selalu membuatku gelisah. Benakku dipenuhi berbagai tanda tanya besar. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin semua ini terjadi?
“Ayo Jay, jalan. Jangan bengong aja. Ini dah mulai gelap, tinggal beberapa meter lagi palingan,” ujarnya sambil melanjutkan langkah.
Rasanya aku begitu Lelah. Tubuhku seperti membawa beban tambahan Ketika Kembali melangkah. Namun karena rasa penasaran dan ingin memastikan apa yang akan terjadi di depan sana, aku paksakan kakiku melangkah. (bersambung)
*Penulis adalah penggiat forum penulis Kata Mata Pena Jogja (Komunitas penulis binaan jogjakartanews.com)