Cerita Bersambung Oleh: Al Ghifari*
Rasa lelah bercampur gelisah memang tak menyurutkan langkah oleh dorongan rasa penasaran. Namun entah mengapa kali ini aku benar-benar tak bisa mengelak dari rasa takut. Gunung ini benar-benar penuh misteri.
Aku sungguh merinding ketika menapak diantara pohon beringin. Ternyata Nelson benar. Tak jauh dari pohon nampak sebuah rumah joglo dengan pendopo yang cukup luas.
Bangunan itu benar-benar mirip seperti kraton-kraton zaman dahulu. Tapi ada yang berbeda. Di tengah joglo ada sebuah kursi yang cukup besar. Tapi kursi itu tidak nampak kuno. Maksudnya tidak seperti singgasana. Ya, kursi yang biasa digunakan para pimpinan di kantor-kantor modern. Kursi itu tidak terbuat dari kayu dan bisa berputar.
Ternyata tak hanya aku yang terheran, Nelson juga sontak menghentikan langkah dan terbengong. Tak seperti yang ku bayangkan dan memang di luar kebiasaan Nelson yang sangat ekspresif.
Aku kira ketika sudah memasuki halaman rumah Mbah Kunto, dia bakal beraorak dan girang. Terlebih, dia sudah melihat dari bawah rumah yang salam pandangan mataku semula hanya tumpukan batu yang nampak mengeluarkan cahaya.
Kami saling bertatapan dengan tanpa bicara untuk beberapa lama. Aku melihat wajah Nelson nampak pucat. Sorot matanya jelas menampakkan ketakutan.
“Jay, kok aku merinding ya. Sepi sekali. Mbah Kuntonya ada enggak ya kira-kira?” Kata Nelson bertanya.
Lagi-lagi aku mencoba berpura-pura tenang. Aku tak langsung menjawab, tapi menarik nafas salam dalam untuk menekan degup jantung yang semakin mengencang di dadaku.
Pikiranku kembali terbang ke waktu yang sudah berlalu. Aku kembali menemukan serpihan memori ketika semasa kecil aku pernah diajak oleh ayah pergi ke rumah eyang di kampung. Rumah eyang juga berbentuk bangunan kuno khas Jawa. Ada pendoponya juga. Namun rumah itu tak seseram rumah berpendopo di hadapanku saat ini. Setidaknya tidak sesunyi ini.
Bahkan sangking sunyinya, suara dedauanan yang dihembus angin pengunungan juga tak terdengar. benar-benar sunyi.
Aku coba membandingkan bangunan milik eyang yang kini sudah berubah menjadi bangunan modern setelah beberapa kali dipugar oleh Pak Dhe yang menempati setelah eyang meninggal dunia. Kalau dilihat dari ukiran yang ada di empat bagian utama tiang di tengah, sangat mirip, bahkan persis. Pun dengan lampu minyak antik yang tergantung. pada bagian sisi depan, pada tiang utama sebelum teras rumah, terdapat tanduk kepala menjangan. itupun mirip.
yang mengherankan luas dan ukurannya juga mirip. Memang terakhir aku melihat rumah itu sebelum dipugar, usiaku masih 9 tahun. Tapi ingatanku cukup kuat untuk menyimpan memori rumah masa kecil ayah itu.
Aku ingat suatu ketika eyang sebelum meninggal dunia mengumpulkan anak-anaknya. Saat itu satu persatu eyang memberikan pesan terakhir. Kepada ayah, eyang berpesan agar bisa menjaga joglo rumah. Sedangkan kepada Pakdhe, berpesan agar bisa menjaga rumah.
Saat itu aku tidak banyak berpikir tentang pesan eyang. Namun saat sudah dewasa baru aku paham jika itu secara tidak langsung adalah pembagian warisan eyang kepada kedua anak laku-lakunya. Joglo untuk ayah, rumah untuk Pakdhe.
Namun entah kenapa sekarang joglo itu sudah dirubah oleh Pakdhe menjadi bangunan rumah modern yang ditempati kakak sepupu. Ayah sendiri tidak pernah cerita, kenapa bisa begitu? bukankah Joglo itu hak ayah?. Ya, selama ini ayah sejak selesai kuliah memang tidak pernah tinggal di tanah kelahirannya.
Ayah sudah menetap di kota sebelum mempersunting ibu. Ayah kerap mengatakan kepadaku, bahwa apa yang dihasilkannya sekarang adalah murni dari hasil kerja keras ayah dibantu Ibu. Semua bukan hasil warisan, dan ayah merasa bangga sekaligus tenang.
Saat itulah aku sadar, bahwa ayah memang sudah merelakan joglo warisan eyang diambil oleh Pakdhe dan anak-anaknya. Terakhir aku diajak ayah untuk ziarah ke makam eyangpun, ayah enggan untuk singgah di rumah Pakdhe. Kami hanya melewati dan melihat dari balik kaca mobil.
Saat itu ayah nampak sedih, namun ia berusaha menutupi kesedihannya. Ayah memang selalu bisa menutupi suasana batinnya yang tidak bagus, seperti takut, sedih marah. Barangkalisifat ayah itu yang menurun kepadaku.
Seperti saat ini, ketika aku benar-benar takut, aku berusaha berpura-pura berani di hadapan Nelson.
“Jay, gimana ini?!” ucap Nelson membuyarkan lamunanku.
“Entahlah. Yang penting nanti kita coba ketuk pintu dan mengucap salam dulu, jangan asal masuk rumah orang,” kataku.
Wajah Nelson yang pucat kian menampakkan rasa takut ketika mendengar jawabanku. Mulutnya nampak hendak menjawab, namun tak mengeluarkan suara. Sorot matanya juga nampak begitu khawatir menatapku.
“Kok suaramu gitu, kamu pucet dan kayak ketakutan gitu, Jay?” Sahut Nelson.
Kali ini aku benar-benar tak bisa berbohong lagi. Aku benar-benar takut. (Bersambung)
*Penulis adalah penggiat forum penulis Kata Mata Pena Jogja (Komunitas penulis binaan jogjakartanews.com)