AKU merenungi pertanyaannya yang singkat namun rumit. Masalah hidupku kini sungguh bertambah. Sebenarnya seharusnya aku tak ambil pusing. Toh, hidupku selalu bersanding dengan kerumitan. Tapi aku sudah terlanjur memberi jawaban bisu.
Ya, masalah hidupku memang barangkali biasa bagi kebanyakan manusia yang tinggal di bumi ini. Sebab tak ada kehidupan tanpa masalah. Itu rumus pasti tak terbantahkan. Tapi tak bisa juga disangkal, sesama manusiapun tak ada yang benar-benar sama, pun kadar kekuatannya dalam menghadapi masalah hidup.
Mungkin aku memang manusia yang tak tangguh. Aku selalu merasa masalah hidupku begitu rumit. Bisa jadi juga, aku setitik dari bodohnya makhluk ciptaan Tuhan. Bahkan pertanyaannya yang begitu singkatpun sangat berat untuk ku jawab.
Terkadang aku berusaha mengurai peliknya persoalan hidupku dengan datang kepada orang-orang bijak. Aku sebut mereka bijak, karena ketika menasihati penuh dengan kata-kata bijak.
“Hidup jangan dibuat rumit, jangan lupa bahagia,” kata mereka, entah ke berapa sekian kalinya ku dengar.
Tapi kadang tanpa ku datangi, ada saja orang-orang jujur yang dengan lugasnya mengatakan kerumitan hidupku karena aku adalah orang yang egois. Menurutnya aku hanya menuruti kata hatiku. Aku menyebut mereka jujur, karena aku memang tak gampang dinasihati.
Tapi orang-orang jujur itu tak pernah tahu, bahwa sebenarnya Aku sendiri tak tahu apakah yang ku lakukan itu benar-benar kata hatiku atau bukan. Apakah yang ku lakukan adalah karena bisikan setan ataukah malaikat.
Aku selalu mencoba mencerna segala kata-kata yang ditujukan kepadaku itu. Pada akhirnya Aku paham. Tapi, kenyataannya aku selalu gagal mempercayai bahwa segala yang ideal bisa selalu terjadi.
Dengan cara-cara idealnya manusia beradab, aku justru menjadi tak mendapatkan jalan untuk meraih impianku. Meski sudah berusaha sekuat tenaga, hanya berakhir dengan menghadapi kegagalan. Aku selalu melawan arus karena mengikuti pakem yang Bernama idealisme.
Aku berusaha membuat sesuatu yang berbeda, setidaknya dengan lingkungan terdekat. Meski mungkin sebenarnya apa yang ku lakukan sudah dilakukan orang lain, entah di belahan dunia mana.
Barangkali tak banyak yang bisa ku bantah Ketika mereka mengatakan aku egois, karena aku tak mau mengikuti kemauan mereka yang meyakini kesenangan lebih penting ketimbang kebaikan.
Andai memang aku buruk, namun selayaknya manusia ciptaan Tuhan, aku pasti punya kebaikan. Tapi aku tak akan menyangkal bahwa sebenarnya aku sendiri juga tak mengetahui apa kebaikanku, pun dengan apa keburukanku.
Seringkali yang katanya aku berbuat baik, ternyata keburukan yang aku terima. Aku sering disebut pahlawan kesiangan atau sok hero. Lainnya mengatakan, aku Cuma dimanfaatkan untuk keuntungan orang lain. Sementara itu, mereka yang meyakini kesenangan lebih utama ketimbang kebaikan nampak lebih mulia dan bisa diterima semua orang.
Aku tak pernah mau berpikir bahwa kecerdasan intelektual itu tak penting untuk mendapatkan kesenangan, cukup mengasah kelicikan dan mengesampingkan hati Nurani. Aku juga tak mau mengamini keberuntungan itu akan datang kepada orang yang meskipun otaknya pas-pasan tapi selalu memikirkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
Aku juga tak mau mencoba seperti mereka yang tega memakan bangkai saudara dan teman sendiri demi kesenangan.
Aku tak tahu apa kebaikan dan keburukanku, bukan karena tak ada. Aku yakin pasi ada. Ya sebab aku punya iman kepada sang Pencipta.
Para pendakwah kerap menukil firman Tuhan, bahwa setiap kebaikan pasti akan dibalas kebaikan. Kalau tidak di dunia, di akhirat akan dapat ganjaran. Itulah yang membuatku tak berani mengatakan perbuatanku yang kata orang baik, itu benar-benar baik, pun perbutanku yang orang sangka buruk apakah senyatanya buruk.
Tentu saja, karena aku merasa masih hidup di dunia dan belum bertemu Tuhan yang Maha Tahu.
Aku juga tidak mengatakan bahwa aku ikhlas Ketika berbuat yang banyak orang sebut itu adalah baik. Aku juga jelas bukan hamba Tuhan yang taat. Tak terhitung larangan-Nya yang pernah aku langar.
Bahkan, untuk bersujud kepada Sang Penentu Takdir, aku kadang enggan. Aku berpikir, kalau toh hidupku penuh kerumitan atau bahkan menjadi hamba yang tidak taat, itu adalah takdir yang Dia gariskan. Meski di sisi lain para pendkwah itu juga menyampaikan janji Tuhan yang akan merubah nasib manusia selama mau berusaha.
Aku merasa telah berusaha merubah nasib dengan bekerja keras. Tapi barangkali takdirku adalah untuk menjadi contoh si pekerja keras yang selalu gagal. Barangkali, contoh pekerja keras yang akhirnya sukses mungkin sudah terlalu banyak.
“Apakah kamu sudah putus asa?” katanya bertanya padaku.
Aku hanya menjawab dengan kebisuan.
Aku seharusnya tak memikirkan jawaban atas pertanyaannya itu. Sebab, bagiku putus asa dan pasrah itu beda tipis. Aku masih berusaha, setidaknya untuk bertahan hidup hingga entah kapan maut menjemputku.
Putus asa dan pasrah buatku adalah istilah yang mengibaratkan ujung kehidupan.
“Apakah kamu sudah putus asa?” tanya dia kembali terngiang.
Aku yang selama ini merasa bergerak, berusaha, dan berjuang, kini benar-benar terdiam. Ya, seperti orang yang pasrah dan putus asa. Jiwaku benar-benar lumpuh sehingga tak mampu menjawab pertanyaan sesingkat itu.
“Kalau kamu tahu yang menentukan takdir itu Tuhan, kenapa kamu merasa sudah tahu Takdirmu sekarang? Apakah kamu sudah putus asa?”
Aku memang tak menjawab dengan kata-kata, tapi jiwaku tak lagi diam dan menuntunku untuk kembali melangkah meraih impian. (*)
*Penulis adalah pembelajar di Kata Mata Pena Jogja, Komunitas penulis binaan jogjakartanews.com