Nilai Fotografi Garrett Hansen: Masyarakat Indonesia Peka Terhadap Orang Asing

YOGYAKARTA – Hubungan antara kolonialisme, gambar, dan arsip itu sifatnya kompleks. Di satu sisi, gambar yang muncul selama masa kolonial sering mewakili catatan fotografi yang ada pada banyak budaya non-Eropa.

Di sisi lain, gambar tersebut sering digunakan untuk menunjukkan eksotisme belaka dan sering merendahkan individu-individu yang digambarkan.

“Karena itu, saat ini yang penting bukan semata dengan arsip fisik gambar tetapi juga dengan pertanyaan serius: Bagaimana kita sekarang memotret di beberapa bagian dunia di mana gambar telah digunakan sebagai ‘alat’?” kata Garrett Hansen dalam Bincang Sore Fotografi Men You Might Know yang diselenggarakan oleh AIFIS (American Institute for Indonesian Studies) bekerjasama dengan IVAA (Indonesian Visual Art Archive) dan Kelas Pagi Yogyakarta, Senin (07/07/ 2014) di Kantor IVAA, Yogyakarta.

Garrett Hansen adalah asisten profesor di Universitas Kentucky, Amerika, yang pernah tinggal di Salatiga selama 10 bulan pada medio 2012-2013.

Dalam kesempatan tersebut, Garret menyampaikan hasil kerja fotografinya di Salatiga.

Awalnya, ia tertarik untuk memotret landscape Salatiga, namun kemudian Garrett lebih tertarik dengan orang-orang yang ia temui di jalan, seperti tukang tambal ban, mahasiswa, sopir minibus, pemilik usaha kecil, serta individu-individu lain yang berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dalam melakukan kerja fotografi, individu-individu yang ia temui seringkali bertanya dari mana ia berasal, di mana ia akan pergi, dan di mana ia tinggal di Salatiga. Setelah mengobrol dengan mereka, Garrett kemudian melanjutkan perjalanan lagi untuk kerja fotografinya.

Pengalaman berinteraksi dengan individu-individu tersebut memberikan pelajaran kepada Garrett bagaimana rasanya hidup dalam budaya yang menghargai interaksi pribadi tanpa ada kecurigaan dan jarak antar sesama.

“Pelajaran yang lain adalah bahwa orang Indonesia ingin mengetahui orang-orang asing yang mengunjungi negeri tersebut. Dari perasaan ingin tahu itu lah kemudian menjadi awal munculnya hubungan interaksi antar individu yang akrab. Interkasi yang intim ini pula yang menjadikan masyarakat Indonesia dapat membangun percakapan yang luas dengan tamu asingnya,” ungkapnya.

Dalam Obrolan Sore tersebut, pembica yang lain adalah Budi Dharmawan dari Kelas Pagi Yogyakarta yang menjadi penanggap presentasi Garrett.

“Karya-karya foto Garrett masuk dalam kategori “tipologi” di mana tidak ada berbedaan struktur kelas antar individu yang dipotret. Foto-foto ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan apa latar belakang dari pemotretan individu-individu yang acak tanpa perbedaan struktur kelas tersebut,” kata Budi. (yud)

Redaktur: Rudi F

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com