Harga Bensin Kita Lebih Mahal Dibanding AS, Pemerintah Dinilai Anti Subsidi Rakyat

YOGYAKARTA – Penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis premium dan solar sebesar Rp 900,- per 1 Januari 2015 disambut gembira sebagian masyarakat Indonesia. Namun, tak sedikit masyarakat, terutama kalangan pengamat kebijakan public yang mengkritisi kebijakan tersebut.

Menurut Direktur Pusat Studi Pengembangan Wirausaha Muda ‘Karya Bagi Negeri’ Aristianto Zamzami, kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di awal tahun tersebut, justru tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia, sehinga eforia penurunan harga BBM tersebut perlu dihentikan.

“Apanya yang bisa disambut gembira? Penurunan harga BBM tidak seberapa, sementara pencabutan subsidi di banyak sektor rakyat. Kebijakan pemerintah yang anti subsidi Ini justeru semakin memberatkan rakyat,” tandas Aristianto Zamzami saat dihubungi wartawan, Senin (05/01/2015).

Dijelaskan aktivis yang akrab disapa Zami ini, subsidi untuk rakyat yang terus dipangkas di awal 2015 diantaranya tarif listrik yang naik untuk 12 golongan pelanggan, kenaikan harga Lpg 12 Kg yang berimbas masyarakat beralih ke gas melon (Lpg 3 Kg) dan bisa menyebabkan kelangkaan gas melon. Selain itu, kata dia, pencabutan subsidi di sektor transportasi dimana per 1 Januari tidak ada lagi subsidi untuk tiket KA Ekonomi, sehingga harganya melonjak 2 kali lipat.

“Bahkan kalau ingin tahu, harga premium di AS (Amerika Serikat) sebenarnya jauh lebih murah ketimbang di Indonesia saat harga minyak dunia turun saat ini. Jadi apanya yang harus disambut gembira dengan penurunan harga Rp 900,-?” tandas Zami yang fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) Departemen Kewirausahaan ini.

Dijelaskan Zami, menurut data di laman resmi Oklahoma city gas prices harga bensin di Oklahoma AS sejak 2 Januari lalu cuma US$ 1,55/galon (Rp 5.130/liter). Volume 1 galon = 3.78 liter. Sementara harga minyak dunia sudah US$ 52,33/barel.

“Artinya harga bensin Indonesia yang Rp 7600/liter ini Rp 2.470/liter lebih mahal daripada di AS. Padahal UMR AS sekitar Rp 16 juta/bulan sementara Indonesia cuma Rp 2,4 juta/bulan. Ini sunguh ironis,” tekan Zami.

Sebelumnya, Direktur Indonesia Resources Studies(IRESS), Marwan Batuara mengatakan pemerintahan Jokowi sudah memasang jebakan,  karena kebijakan tersebut diiringi dengan penghapusan subsidi premium.

“Rakyat harus siap-siap sengsara karena harga minyak rendah tidak pernah bertahan lama. Saat ini pada harga dunia $60/barel dan $/Rp 12.300, harga premium Rp 7600. Jika hrga minyak dunia kembali ke $90-100/barel, maka premium naik menjadi Rp 11.5000-12.900/liter,” katanya kepada wartawan di Jakarta, belum lama ini.

Sedangkan program perlindungan sosial, energi alternatif, konversi ke BBG, dan sebagainya, saat ini masih belum siap, sehingga rakyat yang akan merasakan akibatnya.

“Seharusnya sebelum mengeluarkan kebijakan penghapusan subsidi, pemerintah menyiapkan terlebih dahulu program-program perlindungan sosial, sarana konversi ke BBG, energi alternatif, transportasi massal, dan sebagainya, dengan sistem dan perencanaan yang lebih baik,” pungkasnya. (ian/ded)

Redaktur: Rudi F

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com