Izinkan Aku Menjadi Anakmu, Ayah

Oleh: Lainy Ahsin Ningsih

Setiap orang tentu memiliki berbagai macam kenangan yang terekam dalam memori pikiran. Tidak peduli itu berupa kenangan manis atau pahit, menjengkelkan atau menggembirakan, mengharukan atau membahagiakan. Semua kenangan yang manis, pasti ingin diulang kembali. Berbeda dengan kenangan pahit yang ingin secepat mungkin dilupakan dan tidak ingin terulang kembali, meskipun itu termasuk dari bagian hidup.

Salah satu kenagan manis yang selalu diperbincangkan adalah kenagan manis dimasa  kanak-kanak. Berbicara mengenai dunia kanak-kanak, yang pertama kali terpikirkan dalam benak kebanyakan orang adalah sosok ibu. Bisa dikatakan bahwa, seluruh peristiwa yang terjadi pada seorang anak, ibulah orang pertama yang akan mengetahui dan memberi solusi. Ketika anak jatuh dan menangis, ibu akan dengan sigap menenangkan dan mengobati luka disiku atau kaki. Ketika nilai ulangan jelek, ibu akan dengan bijaknya menguatkan dan memberikan dorongan. Ketika anak pulang larut tidak seperti biasanya, ibulah orang pertama yang akan cemas dan menunggu kedatangan anaknya dengan penuh gelisah.

Tanpa disadari, kondisi tersebut ternyata membuat seseorang yang tidak kalah pentingnya dari ibu merasakan kecemburuan yang mendalam. Namun ia tidak mampu mengekspresikan perasannya sebaik ibu. Ia hanya bisa berkutat dalam diam. Ialah sosok Ayah yang dimata kebanyakan anak, kehadirannya hanya dibutuhkan ketika sosok Ibu tidak ada. Mereka tidak pernah tahu, bagaimana hancurnya perasaan seorang ayah ketika kehadirannya tidak pernah benar-benar dibutuhkan.

Ketika ayah tidak mendengar semua peristiwa yang menimpa anaknya, ia bertanya pada istrinya. Mendiskusikan apa yang harus mereka lakukan dan berikan. Ketika ayah tidak menunjukkan perhatian pada anaknya, ia meminta istrinya yang mewakilkan rasa perhatiannya karena ia sadar, sosok yang dinanti oleh ankanya adalah ibu, bukan dirinya. Ketika anaknya menuntut banyak hal namun ia belum bisa memenuhinya, ia mengorbankan apapun untuk bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Meskipun anaknya tidak tahu, bagaimana sulitnya ia berjuang dan bagaimana sakit perasaanya ketika ia tidak bisa menjadi yang bisa diandalkan oleh anaknya.

Bisa dibayangkan sebenarnya, bagaimana pedih dan sakitnya perasaan seorang ayah. Keinginannya hanyalah bisa menyaksikan anknya tumbuh dan berkecukupan. Namun sosoknya tidak pernah diharapkan. Meskipun kebahagiaan anaknya, sudah mewakilkan kebahagian dirinya. Prestasi terbesar seorang ayah adalah ketika anknya berhasil membuat prestasinya tidak ada apa-apanya.

Lalu, apa yang sudah dilakukan untuk membalas semua kasih seorang ayah yang tidak pernah ia ungkapkan?Ketahuilah! sesungguhnya, disetiap malam ayah menangisi kegagalan apabila tidak mampu menjadi Ayah yang dapat diandalkan oleh anaknya. Ia pun menangisi setiap peristiwa yang tidak ia tahu mengenai anak-anaknya. bahkan, ia mengisi sikap kasarnya karena terlalu menghawatirkan anknya tidak akan berhasil menjadi “orang”.

Ketika ayah sudah dengan baiknya memenuhi semua kebutuhan anaknya, termasuk memenuhi semua kebutuhan pendidikannya. Benarkan anak-anaknya bersungguh-sungguh dalam belajarnya? Ketika lelah seharian bekerja dan ingin melepas penatnya bersama anak. benarkah anaknya mau menemaninya? Atau justru malah menyuguhkan cemburu lantaran lebih memilih ibu? Ketika anak bercerita tentang kegembiraanya disekolah hari ini. Benarkah ayah akan mendengar cerita itu? Ketika telfon rumah berdering, pernahkan seorang anak menyakan dimana ayahnya, atau bagaimana kabarnya? Atau justru memalingkan pembicaraan dengan menanyakan ibu? Bahkan ketika ayah sudah mulai keriput tangannya, pernahkan seorang anak menyediakan waktunya, berdua bersama ayahnya? Meskipun untuk sekedar duduk berdua diteras rumah menyaksikan lalung lalang orang bepergian.

Keadaan anak-anak zaman sekarang sungguh memprihatinkan. Mereka tidak pernah mengerti bagaimana sulitnya seorang ayah mencari nafkah memenuhi kebutuhan mereka. Yang mereka tahu hanyalah “kawanku Hpnya baru, kawanku mau pergi berlibur, Hpku sudah saatnya ganti, malam minggu mau ke café, ada promo di toko itu, bajuku sudah ketinggalan zaman, hijabku sudah pudar warnanya” tetapi mereka tidak pernah bertanya “ sudah berapa banyak yang dapat aku berikan guna membalas pengornan ayah?” atau paling tidak “berapa lama waktu yang dapat aku habiskan bersama ayah?”

Tidak banyak anak yang menyadari peran penting seorang ayah dalam perkembangan dan kemajuannya. Kebanyakan mereka terlena oleh arus perkembangan zaman sehingga tidak pernah terbesit dalam benaknya untuk memikirkan perjuangan dan pengorbanan ayahnya. Percaya ataupun tidak. Kedekatan anak kepada ayahnya baik melalui, perhatian, perkataan lembut, bahkan meski sekedar wajah cerah atau senyuman di hadapan ayah bagaikan sinar mentari yang dapat menghangatkan perasaan mereka.

Namun sayangnuya, kebanyakn anak justru melalaikan hal tersebut. Mereka justru sibuk dengan tuntutan merekasebab selama ini ayahnyalah yang selalu memenuhi keinginan mereka. Seolah-olah hanya ayah yang wajib berbuat baik kepadanya, sedang ia tidak wajib membalas perbuatan baik mereka.. Padahal, sebagai anak seharusnya mereka lebih banyak mememperlakukan ayah dengan baik.

Kebanyakan anak-anak lebih sibuk dengan dunia mereka sendiri. Padahal, dari lubuk hati terdalamnya ayah juga butuh sedikit perhatian dari kita. Anak zaman sekarang dengan mudahnya tersulut emosinya apabila mengimkan pesan namun tidak dibalas. Lalu mengapa mereka begitu pelit untuk sekedar mengirim pesan “apa kabar?” kepada ayahnya. Padahal berjuta kata ia ketikkan untuk teman-temannya meskipun sekedar untuk becanda. Masih pantaskah anak tersebut menyandang gelar sebagai “anak?”. Janganlah remehkan memberi hadiah. Meskiseplastik roti bakar kesukaan ayah atau sebungkus bakso favoritnya. Harganya memang tak seberapa, tapi hadiah-hadiah kecil yang menunjukkan bahwa anak tahu apa kesukaan mereka, jauh lebih berharga karena lebih menunjukkan besarnya perhatian. Setidaknya itu bisa membuat anak untuk ‘diizinkan kembali menjadi anaknya’.

Hakikat kecintaan kepada seseorang ialah menginginkan adanya kebaikan bagi oarang yang kita cintai, sepertihalnya kita selalu menginginkan kebaikan untuk diri kita sendiri. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak akan sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sehingga dia mencintai bagi saudaranya sebagaimana dia mencintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, wujud kecintaan kita kepada orangtua kita adalah mengusahakan kebaikan bagi mereka. (Ummu Rumman).

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com