Sistem Baku Negara Tikus: Menyemai RADIKALISME Tumbuhkan BEBALISME

Fabel Oleh: Dul Waras

Syahdan, seekor Tikus Rumah, sebut saja Tirum, Berdebat dengan Tikus Sawah, sebut saja Tiwah. Keduanya memperdebatkan bentuk dan sistem tempat tinggal atawa sistem negara.

Tirum berpendapat, Tikus seharusnya membuat tempat tinggal di rumah- rumah manusia, karena dekat dengan sumber makanan. Sistemnya musti rumahan, bukan sawahan.

Sementara Tiwah berpendapat beda.Tikus seharusnya di sawah karena dekat dengan sumber makanan. Bentuknya kudu Sawahan.

Suatu ketika, sawah petani dijual dan dibangun rumah. Tiwahpun terpaksa jadi warga tikus rumah. Sayangnya rumah rapi dan bersih, sehingga sedikit sekali makanan dibanding ketika masih sawah. Meski sekarang hidup sebagi tikus rumahan, Tiwah tetap menganggap bentuk negara sawahanlah yang paling benar untuk bangsa tikus.

Tiwah dan gerombolan yang membentuk ParTAI Pembebasan Tirum (TAIrum) terus saja mengkampanyekan sistem tempat tinggal Sawahan kepada para Tirum. Jelas sebagian besar warga Tirum menolak ajaran Tiwah. Sebagian kecilnya masa bodoh, sebagian lebih kecilnya lagi menjadikannya perdebatan. 

Ya, sebagian besar warga Tirum sudah membuktikan eksis dengan dasar sistem rumahan. Sementara Tiwah masih bernostalgia, atau bahkan berhalusinasi dengan konsep pembaharuan tempat tinggal sawahan yang nyata-nyata sudah lenyap.

Tapi, perdebatan itu sebenarnya hanya terjadi diantara segelintir pimpinan Tirum, dan sebagian in-TELEK-tualnya. Kebanyakan Tirum yang sudah nyaman dengan konsep tempat tinggal rumahan tak peduli. Secara alamiah sudah paham tak mungkin rumah akan dibongkar dan dijadikan sawah lagi. Kalau toh itu terjadi, bukan tikus yang melakukan dan kemungkinan sangat kecil.

Warga Tirum mengerti betul tidak ada bentuk dan sistem yang mutlak atau baku untuk negara Tikus. Yang mutlak adalah bahwa tikus harus punya tempat tinggal. Mau Rumahan, mau Sawahan, tergantung konsensus bersama warganya. Dan terang, segala suku Tirum selama puluhan tahun menyepakati sistem negara Rumahan.

Sementara segelintir eks Tiwah tetap ngeyel, terus berkampanye dengan berdalih ajaran murni leluhur bangsa tikus, bahwa namanya tempat tinggal ya harus sistem Tiwah.

Jutaan kali dijelasin,sampai didebat dengan argument yang tak terbantahkan, bahwa ajaran mutlak bahwa Tikus harus punya Tempat tinggal, Tiwah tetep ngotot dan ngeyel. Pokoknya yang murni Sawahan. Tempat Tinggal bagi Tiwah tetep sama dengan Sawah tak ada lain. Otaknya memang sempit mau apa lagi? 

Elit-elit Tirum sebenarnya paham, warganya tak bodoh-bodoh amat terpengaruh kampanye Tiwah. Tapi demi menjaga status quo sebagai elit, ia melayani ocehan Tiwah yang pengaruhnya  sebenarnya tak seberapa itu. Elit Tirum sengaja membesar-besarkan bahkan menuding Tiwah adalah Radikal membahayakan sistem negara Tirum. Elit Tirum dan Elit Tiwah terus berdebat dengan materi yang menunjukkan kebebalan masing-masing. 

Kenapa elit Tirum melakukan itu? Tentu saja. Karena tak bisa bikin warganya bodoh agar tak mengganggu kekuasaannya, maka ia bikin strategi ‘Ngeceh-eceh utek’ alias bikin emosi biar nggak tambah pintar. Biar nggak sadar ada persoalan yang jauh lebih besar di Negeri Tirum. Perdebatan RADIKALISME  itu bisa memancing warganya jadi emosi. Siapapun yang terbawa isu sentral ‘RADIKALISME’ tiap hari dibikin mikirnya dukung dan caci, tak sempat mikir perbaikan hidup bangsanya. Menjadi tidak produktif  blas ! (*)

Pinggir Pasar Prambanan, 08 Desember 2019.

Catatan:

Penulis sengaja menggunakan anonym karena berpegang pada perinsip; menulis bukan untuk tujuan agar terkenal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com