KOPI: Ecstasy Menggapai Cinta Ilahi

Oleh: Dr. Zamzam Afandi Abdillah*

 

Ya Qahwatan, tuzhibu hamma al-Fata

Anta li Hawi al-Ilmi Khoiru muradi

Syarabu Ahlillahi Fiha al-Syifa

Li Thalib al-Hikmati baina al-‘Ibadi.

                        

Duahi kopi, kau menghilangkan kegundahan remaja.

Bagi pencari ilmu, kau terbaik harapan         

 

Ia minuman para pencari Tuhan                                

Bagi pencari hikmah, padanya ada kesembuhan

(Zainal Abidin al-Shidiqi al-Qahiri)

 

Bila mendengar kata kopi, pasti yang terbayang adalah minuman dari biji kopi yang telah disangrai lalu ditumbuk halus (bubuk) sebelumnya,  berwarna hitam dan memiliki aroma khas. Hari ini kopi telah menjadi minuman global. Tak ada negara di dunia ini yang masyarakatnya tidak kenal kopi. Kopi bahkan telah menjadi identitas sosial tersendiri. Entah berapa ribu kafe berdiri saat ini di seantero dunia. Bahkan sekarang  telah berkembang sedemikian banyak ragam olahan kopi. Di samping kopi hitam,  ada varian kopi putih (white coffee) dan lain sebagainya. Nama-nama kopi yang keren dan menunjukkan  status kelas peminumnya di antaranya ialah: Espresso (Itali), Flat White (Australia dan New Zealand), Liqueur Coffee dengan berbagai macamnya, Frapucino, Macchiato, Cappuccino, Latte, Americano, Cafe Mocha, Freddo, dan lain-lainnya. Dari namanya, jelas berbau Eropa atau Barat.  Indonesia sendiri memiliki banyak jenis kopi yang umumnya merujuk daerah asal kopi ditanam seperti kopi Lampung, kopi Aceh, kopi Bali, kopi Toraja, dan masih banyak lagi. Namun untuk minuman kopi, belakangan ini, khususnya di jawa tengah dan Yogyakarta, yang sedang ngetrend adalah kopi Klotok dan kopi Bumbung ditandai dengan munculnya kafe-kafe kopi klotok dan kopi Bumbung di berbagai wilayah di wilayah tersebut.   

Namun satu hal yang belum diketahui banyak orang ialah sejarah atau tepatnya cerita  seputar kopi, dari mana asalnya, siapa penemunya, siapa yang memperkenalkanya, dan siapa para konsumen awalnya. Sahdan, sungguh sangat menarik cerita kopi yang dinarasikan dalam beberapa literatur Arab yang baru saya baca ini. Menarik karena ceritanya tidak saja melibatkan manusia biasa, tapi nabi, wali, malikat, jin dan binatang ternak ikut terlibat dalam penemuan kopi. Sebuah simbol hubungan dan kejasama yang harmonis antara empat entitas di jagat raya ini. Juga simbol cinta ilahi yang hakiki.

Pada suatu ketika, Raja (Nabi) Sulaiman mengujungi suatu negeri (daerah) tertentu. Rombongan Nabi Sulaiman yang berkendara angin dan dikawal pasukan jin pun tiba, namun tak ada satupun orang yang menyambutnya. Lalu beliau dapat laporan bahwa masyarakat setempat tidak ada yang berani keluar (mengisolasi diri) karena sedang ada pandemi yang melanda mereka. Malaikat Jibril kemudian turun, memberi tahu Sulaiman agar dia memerintahkan salah satu jin untuk mengambil biji kopi di Yaman sekaligus menyangrai dan menumbuknya hingga halus. Setelah jadi, semua masyarakat disuruhnya meminum kopi, lalu sembuhlah mereka dari penyakit yang menimpa mereka.  

Dalam  riwayat aneh lainnya diceritakan bahwa ketika Jibril menyaksikan Nabi Muhamad tengah bersedih hati karena penolakan kaumnya terhadap dakwahnya, ia turun mendatangi Nabi sambil membawa biji kopi.  Setelah Nabi meminumnya, maka hilang rasa sedihannya.

Riwayat lain menceritaan bahwa konon ketika seorang sufi terkenal, Abu Bakr bin Abdullah al-Shadzily, dalam satu pengembaraannya menjumpai banyak pohon kopi yang terbiarkan. Kemudian beliau memetiknya. Setelah mengkonsumsinya, sang sufi itu merasakan pikiranya jadi cerah, betah melek malam, tahan lama beribadah. Lalualu dia menjadikan kopi sebagai makanan dan minuman pokok serta menganjurkan para muridnya untuk mengikutinya. Setelah itu, kopi menjadi populer dan tersebar luas di Yaman, Syam (Suriah), Mesir dan negeri-negeri lain.

Masih terkait dengan khasiat kopi, diceritakan bahwa ketika syekh Imam Jamaluddin  Abi Abdillah bin Said al-Zabḥani, menjabat sebagai penyelaras fatwa di kota Eden (Yaman), beliau dihadapkan pada sebuah problem yang mengharuskannya meninggalkan kota tersebut. Beliau pindah ke daerah Bir Ajam (Eithopia). Beliau saksikan masyarakat kota tersebut mengkonsumsi kopi, namun beliau tidak tahu kegunaan atau manfaatnya. Ketika beliau kembali ke Eden, beliau mengalami sakit, lalu teringat pada kopi dan meminumnya. Setelah itu ia merasakan bugar kembali, rasa kantuk, malas hilang, tubuh terasa nyaman. Bersama komunitas tasawufnya,  mereka lalu meminum kopi agar tahan dalam menjalani proses ritual mereka. Selanjutnya, tradisi minum kopi menjadi populer di alangan para ahli fikih dan masyarakat lainnya sebagai minuman suplemen menggairahkan belajar dan lebih giat bekerja.

Diceritkan pula bahwa Khalid, seorang penggembala kambing di Eden, dia memperhatikan kambing-kambing gembalaannya yang tampak lebih aktif dan lincah setelah memakan biji-bijian salah satu pohon tertentu. Lalu ia memberitahu kepada salah seorang wali di daerahnya. Dia meyakinkan wali tersebut bahwa jika biji tersebut dikonsumsi oleh manusia, dampaknya akan lebih dahsyat daripada terhadap binatang. Ia akan akan sangat membantu para sufi lebih tahan melek (tidak tidur) malam untuk menjalankan ritualnya. Wali itu lalu mencoba memakannya mentah-mentah, dia tidak merasakan efek apapun. Kemudian menggorengnya, setelah minum, keringatnya bercucuran, pikirannya menjadi terang, lalu dia mengajak para muridnya meminum kopi.

Empat cerita di atas para tokohnya representasi Islam. Nah cerita yang kelima ini mewakili tokoh non Muslim. Konon pada permulaan abad masehi, seorang ketua seminari di Eithopia mengeluhkan para pendetanya yang tampak mengantuk ketika melakukan ritual tengah malam. Suatu ketika, dia didatangi seorang pengembala onta. Sang penggembala bercerita bahwa di atas sebuah bukit dia mendapati sejenis tetumbuhan manakala onta memakannya, membuatnya tak tidur semalaman. Tumbuhan tersebut berupa pohon yang tidak terlalu besar, daunya memanjang, buahnya berwarna kemerahan. Mendengar berita tersebut, seketika ketua seminari memintanya untuk dipetikkan. Lalu dia rebus dan meminta para pendeta untuk meminumnya. Ketua seminari sangat terkejut melihat para pendeta menjalani rutual malamnya demikian semangat yang belum pernah ia saksikan sebelumnya.

Cerita di atas menggambarkan betapa hebatnya biji yang bernama Qahwah (kopi). Abu al-Qasim al-Junyad bin Muhamad al-Khazaz al-Qawariry (835M–910 M) atau lebih dikenal dengan al-Junyad, salah seorang figur sufi paling terkenal, mengakatan bahwa “al-Hikayatu jundun min junudillah” (cerita adalah salah satu tentara Tuhan). Cerita dan tentara sama-sama memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan sosial. Dalam tradisi sufi, cerita berfungsi sebagai simbol, acapkali ia bersifat fiktif dan imajinatif yang dalam prespektif antropologi dikategorikan sebagai mitos. Salah satu fungsi mitos ialah untuk menanamkan dan mengukuhkan nilai budaya, pemikiran, pengetahuan atau keyakinan tertentu.

Makna literal cerita asal muasal kopi memberi pesan bahwa betapa kopi bukan sekedar minuman biasa. Biji kopinya diinformasikan langsung oleh Jibril kepada Nabi Sulaiman, diminum Nabi Muhamad, dan menjadi minuman para sufi, pendeta dan para pencari ilmu. Ringkasnya, kopi memiliki multi manfaat yang sangat dahsyat: Obat penyakit yang telah menjadi pendemi, membuat jernih pikiran, merangsang tubuh lebih bugar sehingga lebih semangat dan cekatan untuk beribadah dan belajar. Dengan demikian,dalam kopi  melekat dua dimensi; profan dan transendental, material dan sepiritual.

 Namun yang lebih penting dari itu ialah memahami makna simbolik dibalik kopi. Dalam mengekspresikan pengalaman sepiritualnya, para sufi senantiasa menggunakan bahasa simbolis. Ada banyak ragam simbol yang mereka gunakan di antaranya ialah khamr, perempuan, binatang terutama burung dan kijang. Simbol mereka gunakan karena dua alasan; pertama, karena bahasa biasa tidak mewadahi untuk mengekspresikan pengalaman batin yang tengah meluap-luap merasakan kegembiraan luar biasa berjumpa dengan kekasihnya (Tuhan). Kedua, untuk menutupi pengalaman tersebut agar tak diketahui atau tidak bocor pada komunitas lain di luar sufi karena dapat menimbulkan fitnah dan kegaduhan.

Kata kopi berasal dari bahasa Arab Qahwah. Ketika kata tersebut berimigrasi ke luar Arab, ia mengalami perubahan bunyi (fonetik) maupun tulisan yang dalam teori linguistik disebut interferensi. Dalam bangsa Inggris berubah menjadi Coffee, sedang dalam bahasa Indonesia menjadi Kopi. Kata Qahwah, dalam literatur Arab merupakan salah satu nama dari khamr (Arak). Para sufi menggunakan kata khamr dan sakr (mabuk) sebagai simbol cinta Tuhan (al-Hubb al-Ilahi). Misalnya, Umar bin Ali bin al-Faridh (1181-1234 M) atau yang lebih dikenal dengan Ibnu al-Faridh terkenal dengan puisi-puisi khamrnya ketika mengalami ecstasy mistisnya. Diantara penggalan bait puisinya sebagai berikut:

Syaribna ‘Ala Zikril Habibi Mudamatan

Sakirna biha min qabli an yukhlaqa al-Karmu

 (Kuteguk Arak untuk mengingat kekasih

 mabukku dengannya telah ada sebelun hati ini tercipta)

 

Mabuk menggambarkan kondisi (state) batin yang tengah mengalami mabuk cinta setelah melakukan perjalanan panjang melewati stasiun(maqamat)untuk menuju sang kekasih (Tuhan). Ketika mabuk itulah seorang sufi mengalami sebuah trance atau ecstasy hingga hilang kesadaran dirinya dan merasa sedang fana’ (lenyap).

Penemuan pohon kopi lalu dijadikan sebagi minuman oleh al-Shadzily ketika melakukan pengembaraan seperti dalam cerita di atas adalah sebuah metafor dan simbolis. Pengembaraan di sini  ialah  sebuah pengembaraan sepiritual mencari dan ingin berjumpa sang kekasih. Al-Shadzili tampaknya sudah mencapai tujuannya. Ia telah sampai pada stasiun mahabbah (cinta) dan senantiasa memadu kasih (minum kopi)  dengan kekasihnya yang Maha Terkasih.

 

Bermula dari mitos, kini kopi menjadi minuman yang sarat mitos.

 

Demikian, mari seruput kopi di bulan suci ini, semoga jadi jembatan untuk meniti cinta Ilahi yang hakiki. Amin

 

Wallahu a’lam bis shawab,

 

Sumber bacaan:

-Muhamad al-Arna’uth, Min al-Tarikh al-Tsaqafi li al-Qahwah wa al-Maqahi.

-Said al-Surayḥi, Ghiwayah al-Ism: Sirah al-Qahwah wa khitab  al-Tahrim.

 J.A. Coleman, The Dictionary of Mythology

 

*Penulis adalah alumni P.Pesantren Lirboyo, staf pengajar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com