Oleh: Zamzam A.A*
Entah karena kebetulan atau memang sudah menjadi common sense bila disetiap suku bangsa di dunia ini terdapat satu suku bangsa tertentu atau sub kultur yang dianggap unik, memiliki karakter khusus baik yang positif maupun bernuansa peyoratif dan setereotipe.
Di Indonesia, misalnya, salah satu suku atau etnik yang dianggap memiliki keunikan ialah suku Madura. Logat dan aksen bicaranya sering ditirukan banyak orang. Demikian pula humor-humor ala Madura entah itu benar-benar terjadi atau sekedar kreatif-imaginatif pelakunya sendiri acapkali mewarnai even-even tertentu baik dalam acara formal maupun non formal. Tokoh-tokoh populer negeri ini seperti Gus Dur, KH. Hasyim Muzadi dan Emha Ainub Najib atau Cak Nun sering dikutip dan jadi rujukan humor-humor ala Maduranya.
Di Arab, suku yang selalu menjadi obyek humor dan candaan adalah suku badui (al-A’rāb). Mereka adalah komunitas yang tinggal di gurun berbukit, nomaden dan belum banyak berinteraksi dengan suku-suku yang sudah memiliki tempat tinggal permanen di pedasaan maupun kota. Suku badui dikenal memiliki karakter tegas, keras, pemberani, jujur dan tidak suka basa-basi. Meski demikian, para badui ini dalam sejarah perkembangan pemikiran bahasa memiliki peran yang penting.
Banyak para pakar bahasa seperti Yūnus bin Ḥabīb al-Dhabī (w.183 H), Khalaf al-A ḥmar (w.180), Khalīl bin Ahmad al-Farāhīdī (100 H-170 H/718 M-786 M), penyusun Kamus atau Mu’jam al-‘Ain dan Pencipta al-Arūdl wa al-Qawāfī (cabang keilmuan bahasa yang membahas tentang rumus-rumus puisi atau syi’ir), Abū Zaid al-Anṣārī (w.215 H), Bahkan Imam Syafi’i pun untuk mencari ketepatan makna sebuah kata atau bahasa ketika hendak memutuskan hukum pergi ke pedalaman menemui masyarakat badui yang dipandang masih memilki orisinalitas dalam berbahasa.
Ada beberapa suku utama yang menjadi rujukan para pakar bahasa untuk mencari informasi dan konfirmasi, yaitu suku Qays, Tamīm dan Asad. Menyusul kemudian suku Hudzail, Kinānah dan Ṭayyi’. Standarnya ialah semakin para badui itu tinggal di pedalaman yang terisolir dan tidak terkontaminasi oleh budaya lain, maka mereka dianggap paling punya otoritas dijadikan rujukan kebahasaan.
Fenomena menjadikan orang badui sebagai refrensi dan justifikasi kebahasaan, selama berpuluh bahkan beratus tahun dianggap sebagai keistimewaan dan kelebihan. Pasalnya, mereka dianggap kamus berjalan yang mampu memberikan jawaban dan keputusan atas perbedaan tafsir tentang makna atau pengertian sebuah kata atau bahasa. Baru pada penghujung abad duapuluh ini, muncul intelektual dari Maroko Muhammad ‘Abid al-Jābirī (1935-2010 M) yang memberikan kritik tajam atas fenomena tersebut.
Dalam bukunya Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī (Pembentukan Nalar Arab) dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Konstruksi Nalar Arab), al-Jābirī mencoba mengkonstruksi cara berfikir dan memetakan sistem keilmuan Arab. Meminjam teori Andre Lalande (1913-1995 M), filosof Perancis yang membagi nalar ke dalam dua kategori: La raison constituante (al-‘Aql al-Mukawwin, al-‘Aql al-Fāil, nalar aktif) dan La raison constitutee (al-‘Aql al-Mukawwan, nalar yang terbentuk) al-Jābirī menyimpulkan bahwa dari aspek epistemologis sistem keilmuan Islam terbagi ke dalam tiga kategori: Burhānī (Demonstratif), Irfānī (genostik) dan Bayānī (naratif, tekstual-normatif). Yang pertama (Burhānī) bersumber dari Filsafat dan logika Aristoteles, yang kedua bersumber dari Hermes, sedangkan yang ketiga (Bayānī) merupakan representasi murni peradaban Islam, lahir dari rahim dialektika internal Arab-Islam, sumber utamanya adalah bahasa Arab.
Epistemologi bayānī oleh al-Jābiri dikategorikan sebagai produk nalar yang terbentuk atau terkonstruki (al-‘Aql al-Mukawwan). Intinya ialah bahwa sistem pengetahuan Arab (Islam) merupakan prinsip-prinsip dan teori-teori yang telah terbentuk secara mapan pada rentang waktu tertentu dan dipercayai sebagai nilai-nilai yang absolut dan statis. Semuanya diperoleh melalui pemahaman bahasa yang sekaligus menjadi pengendali otoritatif terbentuknya sistem pengetahuan bayānī. Bahasa, dalam konteks ini, bukan sekedar sebagai alat komunikasi, namun sekaligus merefleksikan nilai-nilai kebudayaan dan cara pandang masyarakat pengguna bahasa tersebut terhadap dunianya (Weltanschauung, world-view, ru’yah ‘ālamiyah). Sementara pemahaman makna bahasa terlalu bergantung pada orang-orang Arab badui yang dianggap paling otoritatif. Sebab itu, al-Jābirī menyatakan bahwa al-‘A’rāby Ṣāni’ al-‘Ālam al-‘Arabī (Orang Arab badui sebagai pencipta Alam (nalar) Arab (Islam).
Kisah-kisah berikut ini disajikan agar dapat sedikit gambaran mengenai nalar Arab badui.
(1) Umar bin Abdul Aziz dan Arab badui
Sudah menjadi kebiasaan Umar bin Abdul Aziz, gubernur Madinah saat itu, setiap bulan Ramadhan dia selalu menjalankan shalat fardhunya di Masjid Nabawi. Pada suatu ketika di waktu shalat ashar, Umar melihat ada seorang badui makan didekat Maqam Nabi. Umar mendekatinya,
– Umar : Apakah kamu sedang sakit?
+ Badui : Tidak.
– Umar : Apakah kamu musafir?
+ Badui : Tidak.
– Umar : Kenapa kamu tidak puasa seperti orang lain?
+Badui : Kalian punya banyak makanan, tapi kalian biarkan dan berpuasa, sedangkan kalau saya punya makanan, takka saya melepaskannya.
Lalu si Badui tersebut dengan sepontan menyenandungkan bait puisi:
– Apa pendapatmu tentang orang yang merana dan kesepian.
– Tinggal di celah bukit seperti seekor domba.
– Untuk makan, ia harus berburu burung.
– Anak-anak mereka kurus kering
– Bila tiba bulan puasa barulah mereka berpuasa.
– Sedang ia puasa sepanjang masa.
(2) Roti dan Pedang
Pada suatu ketika dibualan puasa seorang Arab badui dengan membawa sepotong roti di tangannya berpapasan dengan orang yang sedang lewat sambal menenteng sebilah pedang ditangannya.
– Badui : Bolehkan pedangmu saya tukar denga roti ini?
+ Lelaki : Apa kamu sudah gila?
– Badui : Kenapa kamu tidak mau? Coba pikir, mana yang lebih untuk perut; roti atau pedang?
(3) Saya Takut Dosa
Pada siang hari di bulan Romadhan, terlihat seorang Arab badui tengah memakan buah-buahan. Lalu ia ditegur; Apa-apaan ini?
Seketika Si badui itu membacakan ayat al-AQuran: “Kulū min thamarihi idhā athmara” (Makanlah buahnya bila telah berbuah) . (al-An’ām: 99). Manusia tidak dapat menjamin umurnya. Saya takut maut menjemputku sebelum waktu berbuka tiba. Sebab bila itu terjadi, saya mati dalam keadaan sebagai pendosa (karena tidak mengindahkan perintah Tuhan yang menyuruh makan buah-buahan ketika pada musimnya)…!!!
Selamat berpuasa sambil berhumoria…!!
Sumber bacaan:
– Musṭafā Ṣādiq al-Rā fi’ī, Tārīkh Ādāb al-‘Arab.
– Muhammad ‘Ā bid al-J ā bir ī, Takwīn al-‘Aql ‘Arabī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī
– Mustafa Abdurrahman, Ramadhaniyyāt: Adab-Fann-Nawādir.
*Penulis adalah Alumni Pesantren Lirboyo, Staf Pengajar pada Fak.Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta