SETELAH kesunyian yang mencekam, tiba-tiba timbul suara yang sangat mengejutkan. Misteri apa lagi yang muncul di gunung mbah Kunto ini? Suara itu terus menderu seperti bunyi pesawat tengah lepas landas. Suaranya benar-benar begitu dekat, hingga memekakkan telinga.Tapi di sini jelas bukan area bandara. Bahkan, bukan jalur pesawat terbang. Jangankan pesawat, sepeda motor saja mungkin tak bisa mencapai ke sini. Di puncak gunung ini hanya ada deru angin yang menerpa pohon cemara dan pinus yang mendesing.
Meski penasaran, aku tak hendak keluar tenda untuk memastikan. Aku menganggapnya suatu hal biasa di gunung tempat tinggal Mbah Kunto ini. Ya, itu setelah berkali-kali aku mengalami hal-hal yang tak lazim. Aku mulai merasa terbiasa, meski tak ku pungkiri rasa takut itu tetap ada.
Aku melirik Nelson yang terlelap di dalam matras.
“Ah, betapa beruntungnya kamu bisa tidur,” gumamku.
Nelson yang sejak berangkat dari desa seberang bukit nampak semangat, memang beruntung. Hidupnya sungguh tampak selalu Bahagia. Aku hanya melihatnya nampak begitu penuh ketakutan hanya dalam hitungan jari, dan terakhir saat mendaki gunung ini.
Ya, Nelsonm lahir dan tumbuh di keluarga berada. Semua yang inginkan, hampir terpenuhi. Sungguh mulus perjalanan hidupnya. Meski Neslon menyukai tantangan, aku kira karena ia bosan dengan hidupnya yang serba berkecukupan.
Aku merasa mengenal Nelson juga adalah secuil keberuntungan diantara hamparan kesialan. Aku mungkin memang kurang bersyukur, atau bukan manusia penyabar.
Nelson kerap mengingatkanku agar aku terus bersabar. Sama seperti orang-orang yang pernah mendengarkan keluh kesahku. Hanya saja, apapun ucapannya terasa berbeda. Ada aura lain ketika pesan yang sama dari orang-orang diucapkan oleh Nelson.
Aku akui, dia lebih memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya banyak dikagumi teman-teman. Tak heran jika ia terpilih menjadi ketua Mahasiswa Pecinta Alam di kampus. Sementara aku hanya menjadi wakil, selalu berada di bawah posisinya. Akan tetapi, Nelson nampaknya tak pernah menganggapku bawahan. Ia bahkan selalu meminta pertimbangan kepadaku. Ia adalah satu-satunya teman yang bisa memahamiku.
Aku sempat merasa kehilangan Sosok Nelson hampir 1 bulan seusai menyelesaikan tugas membuat film documenter di desa seberang bukit. Nelson Bersama keluarganya berlibur ke luar negeri. Waktu berangkat ia bilang hanya satu minggu. Namun sampai 2 bulan belum pulang. Bahkan, aku sempat khawatir ketika mendengar ada kecelakaan pesawat dari negara yang didatangi nelson dan keluarga, ketika kembali ke tanah air. Waktunya tepat seminggu setelah keberangkatan Nelson dan keluarga.
Seluruh penumpang pesawat itu dikabarkan teswas. Aku mengira Nelson dan keluarganya turut serta dalam penerbangan. Namun, kekhawatiranku sirna, setelah aku coba hubungi nomor teleponnya dan ternyata masih aktif. Kami sempat mengobrol, waktu itu.
“Sukurlah kamu tidak dalam pesawat itu. Aku sudah sangat khawatir. Sebelum telepon kamu, aku up date banget ini baru mau nyari tahu nama-nama penumpang di pesawat itu,” kataku waktu itu.
“Jangan, tak perlu kamu cari tahu lagi. Abaikan saja berita soal pesawat jatuh itu. Doakan saja penumpang selamat atau setidaknya bisa ditemukan jasadnya. Jangan khawatirkan aku. Minggu depan aku pulang. Nanti kita ke tempat Mbah Milah. Aku masih penasaran dengan beliau,” jawabnya di ujung telepon.
Saat aku bertelepon dengan nelson aku masih di depan laptop untuk update berita soal jatuhnya pesawat itu. Di mesin pencarian sudah ku ketik “Daftar Nama Penumpang Pesawat Parkit Air”. Sudah muncul berbagai link portal berita. Namun setelah menelepon Nelson, aku urung berselancar dan menekan tombol close. Aku beralih mencari channel youtube untuk menonton stand up comedy. Waktu itu aku memang perlu hiburan.
Benar saja seminggu kemudian Nelson dating ke rumah. Ia dating dengan naik ojek online dengan membawa peralatan mendaki gunung. Sebelumnya dia sudah kirim pesan singkat, sehingga akupun sudah bersiap dengan peralatan camping. Kamipun berangkat ke desa seberang bukit untuk mengunjungi Mbah Milah, nenek berusia hamper 2 abad itu.
Ternyata Mbah Milah bukan satu-satunya manusia immortal. Nama Mbah Kunto yang konon lebih tua darinya membuat aku dan Nelson menjadi penasaran. Hingga akhirnya kamipun nekad mendaki gunung ini. Kami hanya diantar sampai kaki gunung oleh Parmo, cucu buyut Mbah Milah yang tinggal serumah dengannya.
“Wussss” tiba-tiba terdengar deru angin menggoyangkan tenda. Tentu saja aku kaget. Sebab, beberapa menit yang lalu tak terasa ada tiupan angin gunung. Semua Gerakan seolah terjeda. Aku mencoba memejamkan mata, berharap ketika terbuka, Mentari pagi sudah terbit. (bersambung)