Manekin

Oleh: Latif Pungkasniar

AKU terjebak di dunia manekin, sebenarnya bukan terjebak karena aku menikmatinya. Tepatnya, masuk. Dunia manekin adalah dunia yang senyap dan dingin. Inilah dunia yang selama ini aku cari. Dunia yang jauh dari hingar-bingar urusan materi yang biasa kuhadapi di dunia manusia. Dunia ini begitu diam, bahkan tak ada suara jangkrik, desiran angin, atau daun yang gugur lalu menyapa tanah. Yang ada hanya ribuan manekin yang diam yang tak bersuara, apalagi bising. Di sini aku memiliki seorang istri yang pendiam. Seorang istri yang penurut dan tidak banyak tuntutan. Tidak seperti istriku di dunia manusia, yang begitu ribut dalam membicarakan segala hal. Segala hal!

Istri manekinku sangat cantik, walaupun dia beku. Kulitnya putih, benar-benar putih. Seperti susu. Matanya biru, dengan bulu mata yang lentik, bibirnya merah tanpa lipstick, tubuhnya ramping dan nikmat untuk dipeluk. Dia agak sedikit berbeda dengan sosok manekin yang lain, jika manekin lain mempunyai telinga yang mungil maka istriku ini memiliki telinga yang lebar, aku adalah salah seorang yang meyakini bahwa perbedaan itu terkadang malah menjadi kelebihan, suatu keindahan. Dari semua ciri yang dipunya, bau khasnya yang paling aku suka.

Tidak begitu wangi dan tidak bau keringat, sangat nyaman di hidung. Namun yang terpenting, dia pendiam dan terkesan menurut. Itu yang paling-paling aku suka. Mengalahkan kuping dan baunya yang kusebut-sebut tadi.

Istri manekinku selalu menyambutku dengan senyuman, setiap kali aku datang dari luar dunianya. Dia selalu tersenyum teramat manis. Setelah menikmati senyumnya aku akan memeluknya, menikmati kebekuanya yang dingin dan sepi, seperti dunianya. Aku begitu menyanyanginya karena dia seperti wanita yang kuimpikan selama ini. Seperti biasa jika berada dalam pelukanku dia tak berkutik, lalu aku memberikan kehangatan yang kupunya untuknya. Ini hal yang selalu kulakukan untuk membuatnya nyaman. Memberikan hangat tubuhku untuk tubuhnya yang dingin.

Sambil kupeluk, kunikmati dingin tubuhnya yang membuatku menjadi nyaman. Aku dan dia ibarat yin-yang, hitam-putih yang terpisah tetapi saling berkait. Aku dan dia memang saling memberi, aku memberinya hangat dan dia memberikanku sejuk. Aku membantu membuatnya tak terlalu pucat, dan dia membantuku keluar dari kepenatan yang mengungkungku. Dengan hangat, yang dingin menjadi damai. Dengan sejuk, yang penat menjadi indah. Itulah aku dan dia. Aku tenang di pelukannya dan dia damai di pelukanku.

Perlahan ia mulai menggeliat lembut dalam pelukanku.

“Selamat pagi sayang,” katanya pelan seraya tersenyum. Aku terperangah, karena ini untuk kali pertamanya istriku berbicara padaku!

“Selamat pagi.” Aku melihatnya mulai bangun dari kebekuannya. Lalu dia mulai bangkit dari pelukanku. Pergi berjalan dengan anggun menuju ruang entah, yang terletak di samping tempat aku berdiri sekarang, mungkin itu dapur.

Saat dia kembali ke ruangan aku berdiam, dia sudah membawakanku secangkir kopi dengan beberapa pisang goreng di atas nampan. Sepagi ini aku sudah dimanjakannya. Tuhan pasti telah mengabulkan semua permintaanku yang kupilin dalam doa dan kuhantarkan disetiap malam, menjelang tidur. Kuteguk kopi yang dibawakannya, tidak begitu pahit dan tidak begitu manis. Pas.

Lalu aku pergi entah kedunia apa.

“Puih! Rasa apa ini? Kencing kuda, apa kopi?” cecar suara yang kasar. Ya, itu adalah suara istriku. Aku mengkerut. “Kau tak tahu? Aku hendak pergi ke kantor. Disana banyak sekali pekerjaan yang menumpuk dan membuatku muak! Sedang kau hanya untuk membuatkanku kopi saja tidak becus. Minum saja sendiri, kopi kencing kuda ini. Ya sudah, aku berangkat. Muak aku melihatmu! Jika aku sudah bisa menggaji pembantu. Kuceraikan kau!” lalu istriku ngloyor pergi meninggalkanku dengan kopi yang katanya rasa kencing kuda itu.

Semua bermula saat aku ter-PHK. Memecat pembantu, dan aku menjadi pembantu rumah ini. Rumahku sendiri. Entah kenapa aku memperistrinya. Seseorang yang tak pernah puas dengan materi. Penuh dengan tuntutan. Tapi kini sudah tak ada lagi sesal. Selain tak ada guna, kini aku juga punya istri yang lain. Istri manekinku.

Kutandaskan kopi buatan istriku, lalu kumamah perlahan pisang goreng yang juga dibawanya serta. Nikmatnya kopi dipadu dengan pisang goreng itu membawaku ke alam angan, angan-angan yang indah tentang pasangan yang penurut, pendiam dan manis. Dan kini semua itu bukan lagi hanya angan. Karena aku kini sudah memperistri sesosok manekin dengan sifat yang aku angankan selama ini. Ah, betapa indahnya duniaku.

Lalu pagi mulai petang karena aku harus berpisah dengan wanita manekinku. Aku harus mencari kerja. Sesampai di rumah, aku bercerita tentang hari yang kulalui di luar sana, dia menyimak dengan seksama. Aku merasa dihargai. Kata-kataku diperhatikan, tak ada sebuah cela yang diperuntukkan untukku. Masih dengan senyumnya, dia memperhatikan setiap gerak bibirku. Benar-benar berbeda dengan istri manusiaku. Jika diibaratkan, akulah yang akan selalu memperhatikan ocehannya. Aku tak akan mencela karena dia pasti akan mengoceh lebih panjang lagi nantinya.

“Kau diam saja, jangan banyak tanya ataupun komentar. Aku hanya ingin kau mendengarkan. Karena aku sudah cukup lelah melayani pekerjaanku. Kau mengerti?” Selalu saja kata itu yang keluar dari mulutnya yang berbusa. Setelah itu dia memulai untuk bercerita.

Wanita manekinku diam, dan hanya sesekali menanggapi ceritaku. Dia benar-benar seorang pendengar yang baik. Pasti karena dia memiliki telinga yang lebar. Kata ibuku, seorang wanita yang bertelinga lebar pasti dia seorang pendengar yang baik. Sambil bercerita kuperhatikan wajahnya yang anggun, sorot matanya yang tajam, bibirnya yang indah. Ah, dia begitu memesona. Membuatku benar-benar ingin merengkuhnya.

Istri manusiaku cantik. Tapi tak bisa kurengkuh. Dia terlalu angkuh untuk itu. Dia mengangapku bukan seperti suaminya. Aku mungkin hanya seorang pembantu rumah tangga untuknya. Aku sudah tak boleh menjamahnya sekian lama. Ya, pekerjaan dan uang memang bisa menentukan berhak atau tidaknya kita terhadap tubuh istri kita. Setidaknya itu presepsiku.

“Jangan ganggu aku. Aku lelah, ingin tidur. Lebih baik kau tidur saja di sofa. Biar aku lebih tenang istirahatnya. Kau enak seharian saja di rumah. Lha aku? Kerja keras untuk hidup, dan kau tahu, untuk siapa aku bekerja keras? Untuk makan kamu itu.” Setiap malam pasti dia akan berucap seperti itu, sampai aku hafal dibuatnya. Jika sekarang dia menawarkan diri untuk kujamahpun rasa-rasanya aku sudah tak mau melakukannya. Nafsuku sudah terkubur oleh kata-kata pedasnya.

Lalu kurengkuh wanita manekinku, dan kami memulai sesuatu yang tak bisa kulakuan dengan istri manusiaku akhir-akhir ini. Aku menjamahnya dengan lembut, karena kelembutan memang diperuntukan untuk wanita yang lembut. Kami memulainya dengan cumbuan yang lama, sangat lama. Kucumbu tubuhnya, untuk menghilangkan dahagaku, yang telah kupendam. Aku yang kering selama berbulan-bulan, semua akan tuntas malam ini. Dia tidak sediam saat memperhatikanku, tubuhnya begitu bergolak, seperti asap yang menari diatas api.

Mengelinjang, tak tenang, meliuk dan memberontak, naik tinggi ke awang-awang. Lalu semua berjalan begitu indah dan akhirnya kami tertidur saat payah. Saat api mulai dipadamkan air peluh, dan asap telah jauh membumbung ke angkasa nirwana.

Pagi hari saat aku terbangun. Kudapati wanita manekinku masih berada dalam pelukanku. Wajahnya begitu tenang, tak ada kerut-kerut kerasnya hidup dalam gurat wajahnya, seakan dia selalu hidup dalam kedamaian. Kuusap pelan rambutnya. Karena aku tak mau ia terbangun karena usapanku. Dia masih terlelap, mungkin lelah. Lalu pelan-pelan kulepaskan pelukannya.

Dia tak berontak, tubuhnya kini sudah terbaring di atas tempat tidur. Aku beranjak meningalkan tempat tidur menuju ruang sebelah. Aku ingin memanjakannya, dengan menyiapkan sarapan untuknya. Seperti sinetron-sinetron yang romantis di mata ibu-ibu.

Aku kembali dengan nampan yang di atasnya telah kuletakkan segelas susu hangat dan beberapa potong roti dan selai, sekaligus pisau untuk mengoleskan selai kepermukaan roti. Kulihat wanita manekinku sudah mulai terbangun dari tidurnya yang lelap.

“Kenapa kamu masih di rumah?” tanya wanitaku ketus. Tentu saja ini membuatku terkaget-kaget, seseorang yang lembut berubah drastis hanya dalam waktu semalam? Pasti ini karena persetubuhan!

“Aku membuatkanmu sarapan, sayang.”

“Untuk apa? Aku tak butuh! Yang aku butuhkan hanya uang!”

“Uang? Bukankah kau adalah wanitaku yang penurut dan bukan penuntut?”

“Tak usah banyak omong! Cepat bersiap dan carilah pekerjaan! Aku tak sudi hidup dengan pengangguran, macam kau!”

“Tapi… bukankah kemarin kau masih lembut dan pendiam? Kenapa sekarang menjadi…”

“Aku sudah lelah, terus-terusan mencari uang untuk keperluan hidup berdua? Hah lebih baik ceraikan saja aku. Biar aku lebih leluasa bekerja. Lebih leluasa melakukan segala hal tanpa memikirkan kamu. Memikirkan perutmu yang lama-lama membuncit itu.”

“Ada apa denganmu? Semalam kau baik-baik saja.”

“Apa kau pikir aku akan tinggal diam, melihat kau bersantai-santai sementara aku membanting tulang untuk keperluanmu? Hah, dasar laki-laki pengecut!”

“Bukankah…”

“Tak akan pernah ada wanita yang akan betah hidup denganmu. Laki-laki pemalas yang kerjanya hanya berkhayal saja. Kau pikir, kita akan hidup enak dalam khayalanmu? Bisa makan apa kita? Khayalan? Hidup saja kau dalam cerpen!”

“Tapi selama ini kau tak pernah gusar tentang aku?”

“Siapa yang bilang? Aku sudah tak sudi hidup dengan orang sepertimu, seorang yang takbertanggung jawab! Pecundang!”

“Apa kau bilang?!”

“Kau, pecundang!”
“…..”

“Tak tau diuntung!”
“….”
“Banci!”
“….”
“Bangsat, tak tau malu!”
“….”
“Pecundang!!!”

Kata-katanya mencecar, terus dan memojokkanku. Kubanting nampan yang kupegang. Kata-katanya yang menyembur itu membuatku semakin gusar. Istri manekinku yang telah patuh selama aku memperistrinya, kini mulai memberontakku.

Tak hanya sifatnya yang berubah. Tetapi wajahnyapun berubah menjadi sesosok manusia yang paling menyebalkan. Istriku. Kata-katanya keluar dengan cepat, lancar dan pedas. Seakan ada gerombolan anak-anak yang ikut menyorakiku dari belakang.

“Pecundang…pecundang…pecundang…pecundang….” kata-kata itu seperti merasuk masuk kedalam otakku. Membuatnya sesak penuh dengan kata makian untukku. Dan aku merasakan diriku semakin terpojok, menjadi manusia paling hinadina.

Aku benar-benar tak kuasa menahan amarahku, kehormatanku sebagai seorang laki-laki terasa terinjak-injak. Kupungut pisau yang jatuh tergeletak di lantai, pisau yang sebenarnya kusediakan untuk mengoles selai, itu kini sudah berada di tanganku. Lalu kutusukkan tepat di lehernya bagian bawah, darah segar wanitaku muncrat, mengotori lantai-lantai imajinasiku yang bisanya putih, kini lantai itu menjadi merah. Darah.

Keesokan harinya, di sebuah surat kabar cabul, metafisika dan kriminalitas

Jakarta – Sepasang suami istri ditemukan tewas di dalam kamarnya. Diduga suami (rd, 28) membunuh istrinya (st, 27) lalu bunuh diri. Menurut pemberitaan warga, keduanya memang sering beradu mulut semenjak sang suami diberhentikan dari tempat bekerja. “Sudah sering bertengkar mereka itu, ya gara-gara duit, kan jaman sekarang duit tu segalanya. Udah gak jaman lagi sayang-sayangan, ya kayak gini hasilnya,” ucap Tanti, salah satu tetangga korban….

Catatan: Penulis adalah Editor buku Erlangga, Jakarta

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com