Oleh : al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc
الْØَمْد٠لله٠الْمَلÙك٠اْلقَهَّار٠اْلقَوÙيّ٠اْلعَزÙيْز٠الْجَبَّارÙØŒ وَأَشْهَد٠أَنْ لاَ Ø¥Ùلهَ Ø¥Ùلاَّ الله٠وَØْدَه٠لاَ شَرÙيْكَ Ù„ÙŽÙ‡ Ø°Ùوْ الْعَظَمَة٠وَاْلمَجْد٠وَالاÙقْتÙدَارÙØŒ وَأَشْهَد٠أَنَّ Ù…ÙØَمَّدًا عَبْدÙه٠وَرَسÙوْلÙه٠اْلمÙخْتَار٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَعَلى آلÙه٠وَأَصْØَابÙه٠وَالتَّابÙعÙيْنَ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ بÙØ¥ÙØْسَان٠مَا تَعَاقَبَ اللَّيْل٠وَالنَّهَار٠وَسَلَّمَ تَسْلÙيْمًا. أما بعد: أيها الناس اÙتَّقÙوْا اللهَ وَتَقَرَّبÙوْا Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الله٠بÙمَا أَمَرَكÙمْ بÙÙ‡Ù Ù…Ùنْ طَاعَة٠وÙلاَة٠الأÙÙ…Ùوْر٠ÙÙÙŠ غَيْر٠مَعْصÙيَة٠الله٠، ÙˆÙŽÙ…ÙÙ†ÙŽ الدّÙعَاء٠لَهÙمْ ØŒ وَالتَّعَاوÙن٠مَعَهÙمْ عَلَى البÙرّ٠وَالتَّقْوَى ØŒ وَالصَّبْر٠عَلَيْهÙمْ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, sesembahan yang Mahaperkasa yang menguasai alam semesta. Saya bersaksi bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wata’ala semata dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada sayyidul-anbiya’i wal mursalin, nabi kita Muhammad dan keluarganya, para sahabatnya, serta seluruh kaum muslimin yang senantiasa mengikuti petunjuknya.
Hadirin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala dan senantiasa mengingat bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya agama yang mulia dan sempurna. Telah datang di hadapan kita syariat Allah Subhanahu wata’ala yang berisi aturan yang sempurna dan mengajak kepada kemuliaan. Oleh karena itu, barang siapa yang menginginkan aturan yang sempurna namun tidak mau mengikuti syariat Allah Subhanahu wata’ala, tidaklah yang dia dapat selain aturan yang penuh kekurangan. Barang siapa menginginkan kemuliaan namun berpaling dari syariat Allah Subhanahu wata’ala, tidaklah yang dia dapat selain kehinaan.
Hadirin rahimakumullah,
Di antara syariat yang Allah Subhanahu wata’ala turunkan melalui Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia tersebut adalah petunjuk yang mengatur kewajiban rakyat terhadap penguasanya dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya.
Adapun kewajiban rakyat terhadap penguasanya, di antaranya adalah mendengar dan menaatinya. Artinya, wajib bagi masyarakat untuk menjalankan apa yang diperintahkan atau meninggalkan apa yang dilarang oleh penguasa muslim selama tidak bermaksiat terhadap Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga, apa saja yang diwajibkan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah dari berbagai aturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, harus didengar dan ditaati selama tidak bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun jika aturan tersebut melanggar syariat Allah Subhanahu wata’ala, maka tidak ada kewajiban untuk menaatinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَي الْمَرْء٠الْمÙسْلÙم٠السَّمْع٠وَالطَّاعَة٠ÙÙيْمَا Ø£ÙŽØَبَّ وَكَرÙÙ‡ÙŽ Ø¥Ùلاَّ أَنْ ÙŠÙؤْمَرَ بÙمَعْصÙÙŠÙŽØ©Ù ÙÙŽØ¥Ùذَا Ø£ÙÙ…Ùرَ بÙمَعْصÙÙŠÙŽØ©Ù Ùَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan menaati (penguasa), baik dalam perkara yang disukai maupun dibenci kecuali jika diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban untuk mendengar dan taat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadirin rahimakumullah,
Perlu diketahui bahwa ketaatan kepada penguasa ini meliputi ketaatan pada peraturan-peraturan yang mengatur kemaslahatan masyarakat baik yang berkaitan dengan perizinan, peraturan lalu lintas, maupun kependudukan, dan sebagainya, selama tidak bertentangan dengan syariat Allah Subhanahu wata’ala.
Hadirin rahimakumullah,
Termasuk kewajiban masyarakat terhadap penguasa adalah memberikan nasihat kepada penguasa. Yang dimaukan dari nasihat ini adalah demi semakin baiknya keadaan suatu negeri dan bukan untuk menjatuhkan wibawa atau menyebarkan kejelekannya sehingga tersiar dan diketahui oleh semua orang. Jika yang dilakukan justru menjatuhkan dan menyebarkan kejelekan-kejelekannya, maka hal itu bukanlah nasihat. Bahkan itu adalah cercaan yang akan menyulut kebencian rakyat kepada pemerintah dalam seluruh kebijakan dan upaya yang dilakukannya, meskipun hal tersebut (kebijakan atau upaya pemerintah itu) adalah sesuatu yang baik dan benar. Masyarakat tidak lagi percaya, mendengar, dan taat kepada penguasanya yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kekacauan, pertikaian, bahkan pertumpahan darah di tengah-tengah masyarakat.
Jama’ah jum’ah rahimakumullah,
Tidaklah dimungkiri bahwa penguasa sebagaimana manusia lainnya tentu tidak akan terlepas dari kesalahan. Begitu pula telah dimaklumi bahwa kesalahan tidaklah boleh didiamkan. Namun, yang mesti dilakukan bagi orang yang ingin memberi nasihat, lebih-lebih kepada penguasa adalah agar melakukannya dengan hikmah. Dia menasihatinya tidak di hadapan khalayak, sebagaimana yang diatur dalam petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَØÙŽ السّÙلْطَانَ بÙأَمْر٠Ùَلاَ ÙŠÙبْد٠لَه٠عَلاَنÙيَةً، ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙƒÙنْ Ù„ÙيَأْخÙذْ بÙيَدÙÙ‡Ù ÙَيَخْلÙÙˆ بÙÙ‡ÙØŒ ÙÙŽØ¥Ùنْ قَبÙÙ„ÙŽ Ù…Ùنْه٠Ùَذَاكَ، ÙˆÙŽØ¥Ùلاَّ كَانَ قَدْ أدَّى الَّذÙيْ عَلَيْه٠لَهÙ
“Barangsiapa hendak menasihati penguasa dalam suatu perkara, janganlah dia melakukannya di depan khalayak. Akan tetapi, lakukanlah bersendirian dengannya. Jika (nasihat tersebut) diterima, itulah yang diinginkan. Jika tidak, dia telah menjalankan kewajiban terhadapnya.” (HR. Ahmad danyang lainnya. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dengan berbagai jalannya)
Kaum muslimin rahimakumullah,
Menasihati penguasa dengan menyebutkan kekurangan dan aib mereka di depan khalayak dan memprovokasi masyarakat untuk turun ke jalan-jalan dengan membawa spanduk yang bertuliskan hujatan-hujatan kepada penguasa bukanlah cara yang hikmah dan tidak sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Jangan sampai kaum muslimin terpancing oleh orang-orang yang menggunakan cara yang tidak hikmah, yaitu tidak menggunakan aturan yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wata’ala serta tidak melihat dampak/akibat dari perbuatannya.
Cara seperti itu tidak akan memperbaiki, bahkan terkadang perbuatan tersebut disusupi oleh orang-orang yang memang punya maksud jahat dan tidak menginginkan kebaikan untuk negeri ini sama sekali. Sekali lagi, kaum muslimin harus berhati-hati untuk tidak ikut dan terprovokasi mengikuti cara-cara yang tidak hikmah tersebut.
Hadirin rahimakumullah,
Adapun kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, semestinya orang yang dikaruniai kekuasaan memahami bahwa dirinya sedang memikul tugas dan amanat yang besar. Seorang penguasa haruslah meluruskan niatnya dalam mengemban tugasnya. Yaitu, agar semua kebijakan dan aturan yang dibuat adalah demi menegakkan agama Allah Subhanahu wata’ala di muka bumi serta untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan kezaliman sekuat kemampuannya.
Wajib bagi penguasa untuk berbuat adil dalam menghukumi rakyatnya. Tidak membeda-bedakan rakyatnya dengan melebihkan atau membela yang berbuat salah, dan yang semisalnya.
Begitu pula wajib bagi penguasa untuk tidak menyakiti rakyatnya, baik yang berkaitan dengan darah, harta, maupun kehormatan mereka.
Tidak boleh pula memanfaatkan kekuasaan untuk meluluskan dan menuruti semua keinginan hawa nafsunya. Bahkan seorang penguasa harus mengingat bahwa kekuasaan yang sedang diembannya bisa saja seketika akan hilang darinya.
Apabila dia semena-mena terhadap rakyatnya, maka sangat mungkin dia pun akan dihinakan oleh masyarakat disaat dirinya tidak lagi berkuasa.
Lebih dari itu, seorang penguasa harus memahami bahwa akan datang saatnya hari di saat dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا Ù…Ùنْ عَبْد٠يَسْتَرْعÙيْه٠الله٠رَعÙيَّةً ÙŠÙŽÙ…Ùوْت٠يَوْمَ ÙŠÙŽÙ…Ùوْت٠وَهÙÙˆÙŽ غَاش٠لÙرَعÙيَّتÙÙ‡ÙØŒ Ø¥Ùلاَّ Øَرَّمَ الله٠عَلَيْه٠الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba, yang Allah Subhanahu wata’ala berikan padanya kekuasaan untuk memimpin rakyat dan meninggal dunia dalam keadaan meninggalnya berbuat curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah Subhanahu wata’ala haramkan baginya jannah/ surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sudah semestinya bagi masyarakat dan penguasa untuk menunaikan kewajibannya sehingga akan terwujud keadaan yang aman, damai, serta jauh dari kerusuhan dan pertikaian. (Assyariah)