YOGYAKARTA – Saat ini pemerintah sedang menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Antikriminalisasi. Jika RPP itu sahkan menjadi PP, maka penegak hukum tidak dapat langsung mengusut dugaan tindak pidana.
“RPP ini juga memunculkan kontroversi, karena aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian maupun Kejaksaan dilarang mempublikasikan secara masif soal materi perkara dari peoses penyelidikan hingga tahap penyidikan. Parahnya lagi, aparat penegak hukum juga tidak diperbolehkan mempublikasikan nama tersangka hingga masuk pada proses penuntutan,” tandas Koordinator Divisi Pengaduan Masyarakat Jogja Coruption Watch (JCW) Baharuddin Kamba dalam keterangan pers yang diterima redaksi jogjakartanews.com, Selasa (29/09/2015).
Dikatakan Baharuddin, maksud dari dirancangnya PP ini untuk melindungi kebijakan pejabat pemerintahan saat akan melakukan diskresinya sebagai kuasa pemegang anggaran dari ancaman jerat pidana. Akan tetapi, kata dia, jika pejabat pemerintahan berdalih dan berlindung dibalik PP Antikriminalisasi nantinya jika disahkan, maka tidak menutup kemungkinan justru akan memberikan peluang dan kesempatan bagi para pejabat pemerintahan untuk terlibat ‘bermain’ dengan anggaran baik yang berasal dari APBN maupun APBD. Selain itu, menurut dia, pemerintah ingin pejabat pemerintah bergerak cepat dalam hal belanja modal tanpa harus khawatir kebijakannya berujung pada pidana.
“Jika kita kaitan dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi lebih khususnya persoalan dugaan korupsi yang ditangai oleh aparat penegak hukum yang ada di DIY dalam hal ini Kejaksaan Tinggi (Kejati) maupun Kejaksaan Negeri (Kejari), misalnya penyidikan atas kasus dugaan korupsi dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Yogyakarta tahun 2013, maka akan semakin sulit mendapatkan kepastian hukum,” ujarnya.
Terkait Kasus dugaan korupsi KONI Kota Yogyakarta, Baharuddin menjelaskan, pada tanggal 25 Juni 2015 kasus tersebut sudah ditingkatkan dari penyelidikan menjadi penyidikan berdasar Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) No Print- 02/0.4.10/FD.1/06/2015 tertanggal 25 Juni 2015. Hingga saat ini penyidik Kejari Kota Yogyakarta belum menetapkan tersangka. Namun dari bukti permulaan, kata dia, ditengarai ada penyimpangan alokasi dana hibah KONI senilai Rp 900 tersebut.
“Selain itu juga ada kasus dugaan korupsi pada pupuk bersubsi di Desa Sinduadi, Mlati, Sleman, di mana kasus senilai Rp 800 juta tersebut mulai di proses sejak tahun 2008 silam. Namun hingga ini tersangka Edi Sumarno yang pernah membuat keterangan surat kematian palsu juga belum dilimpahkan ke penuntutan dengan alasan yang bersangkutan sedang kondisi sakit. Kemudian, adanya dugaan keterlibatan pihak-pihak lain dalam pembuatan surat keterangan kematian palsu itu juga hingga kini tidak ada kabarnya,” tukas Baharudin.
Lebih lanjut diungkapkan Baharuddin, ada pula kasus dugaan korupsi pada pengadaan proyek Pergola Kota Yogyakarta senilai Rp 5,3 miliar. Menurutnya, kejaksaan hingga kini baru menetapkan tiga tersangka dan kasus tersebut masih diproses di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Penyidik kejaksaan, imbuh Baharuddin, belum menyentuh aktor-aktor lain yang juga diduga ikut ‘bermain’ dalam proyek pergola tersebut dan dalam perjalanan persidangannya ada aktor-aktor lain yang juga sempat disebut-sebut ikut diduga terlibat dalam proyek pergola tersebut.
“Terkait dengan proses pembahasan RPP Antikriminalisasi yang sedang digodok oleh pemerintah saat ini jika kita kaitkan dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi, JCW dengan tegas menolak dan mendesak kepada pemerintah untuk membatalkan RPP Antikriminalisasi tersebut menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Dengan alasan jika RPP tersebut diterbitkan menjadi PP, maka dikhawatirkan semangat pemberantasan korupsi semakin lemah, akses informasi publik menjadi terhambat dan transparasansi publik menjadi tertutup serta dikhawatirkan akan adanya ‘permainan hukum’ antara penyidik dengan pihak yang disidik,” pungkasnya. (kt1)
Redaktur: Rudi F