Akal-Akalan Kadal: Menagih Janji Menuai Benci

Fabel By: Dul Waras

Suatu ketika, di hutan Indoaisen, dua kelompok melata, yaitu Biawak dan Komodo saling sindir. Itu setelah Sesepuh Komodo menagih janji Yang Mulia Kadal, Raja Hutan yang tinggal di istana dekat sebuah comberan luas.

Sesepuh Komodo dengan berapi-api menagih janji di tengah lautan massa kelompoknya, sembari mengkritik habis-habisan rezim Kadal,

“Dulu menterinya Kadal sudah janji mau menggelontorkan sekian Minguk (Miliar dalam mata uang Indoaisen). Nyatanya, sepeserpun tidak terealisasi,” ujarnya.

Dengan sengaja Kadal mengirim Cicak dan pasukan tentara alam mayanya untuk mem-viral-kan pidato itu.

Tak lama berselang, Cicak alam maya berhasil menciptakan opini bahwa kelompok Komodo clamitan (Jawa: peminta-minta). Kelompok Biawak, terutama yang tua-tua terprovokasi. Ramai-ramai mereka menghujat dengan penuh sentimen.

Puncaknya, Tetua Biawak dengan sindirannya berpidato di depan ribuan golongannya. Ia mengatakan bahwa rezim Kodokpun banyak berhutang asuransi kepada kelompok Biawak, 

“Kalau kita malah yang ngutangin rezim ini dengan asuransi, nilainya berlipat kali Minguk. Tapi nggak pernah nagih sampai menggebu-gebu,” sindirnya.

Tentu saja, Cicak alam maya kiriman Raja Kadalpun kembali merekam dan mem-viral-kannya. 

Saling sindir meningkat menjadi saling caci dan menyudutkan. Cicakpun terbahak. Merasa sukses melaksanakan misi, Ia segera melapor ke sang Raja Kadal.

Sambil nyengir khas, Kadal berujar,

“Sama-sama nagih juga, ternyata. Ya emang ndak perlu menggebu, toh asuransi dah dinaikin, tar pelan-pelan dibalikin juga Minguknya Biawak. Soal lunas apa endak, ya nanti lihat situasi, dong. Sebagian hasil naikin asuransi kan buat suplai Komodo. Pokoe (Jawa:Pokoknya) tak bikin panas terus kalian, biar endak bisa mikir, kik kik kik (tertawa)”.

Menyaksikan semua itu, Garuda yang masih menjadi tawanan sang Raja Kadal di dalam sangkar emas di atas Pohon nan menjulang, kian bersedih. Hatinya teriris, betapa rakyat hutan Indoaisen kini kian barbar, setelah ia dipenjara dan dijadikan ikon bak maha dewa. Antar kelompok yang dulu susah payah ia satukan, kini mudah sekali diadu. Para tetua dan sesepuhnya semakin tak bijak, intelektualnya semakin cupet (Jawa:sempit) nalarnya karena kebencian dengan sesama bangsa Indoaisen,

Ealah Wak (Biawak), Do (Komodo), kalian apa nggak nyadar kalau sama-sama nagih Minguk, cuma beda gaya aja, satunya menggebu-gebu, satunya cuman nyindir. Utang janji Minguk sama utang Minguk asuransi apa bedanya? sah sah saja ditagih, salahnya dimana? Bukannya bareng-bareng nagih ke Kadal malah saling sindir, saling menyudutkan. Mbok mikir Wak, Do, habitat kalian tuh sama, muka kalian juga 11-12!”   ungkapnya bercampur marah dan kecewa. (BERSAMBUNG)

_Malam jelang penghujung 2019 di Candi Tak Bernama, Kalasan, Yogyakarta_

Catatan:  Penulis sengaja menggunakan anonym karena berpegang pada perinsip; menulis bukan untuk tujuan agar terkenal.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com