Keutamaan Berpuasa dan Bersedekah di Tengah Wabah

Oleh: Prof. Dr. H. Dudung Abdurahman, M.Hum*

Kita tengah menjalankan ibadah puasa tahun ini di tengah wabah melanda negeri. Inilah keistimewaan Ramadhan kali ini, perlu ditunjukkan dalam prakteknya yang lebih istimewa. Puasa tetap dilaksanakan sebagai suatu kewajiban yang sangat pribadi, berbeda dengan praktek keagamaan lain seperti shalat, zakat dan haji; puasa hanya disadari dan diketahui oleh diri masing-masing dan tertuju hanya kepada Allah.  Keistimewaan puasa ini, diharapakan tidak sebatas sebagai bukti penunaian kewajiban muslim, atau sebatas gugur kewajiban, melainkan perlu dimaknai lebih lanjut sampai pada pengertiannya yang hakiki.

Puasa di bulan Ramadhan diketahui seluruh umat muslim sebagai kewajiban tahunan (fardu zaman). Ini disyariatkan untuk menegakkan akhlaqul karimah, atau seperti disebutkan dalam al-Baqarah 183, bahwa puasa bertujuan untuk mencapai ketakwaan. Taqwa dalam hal  ini berarti kemampuan seseorang untuk menunda kesenangan yang bersifat kekinian atau sesaat demi mendapatkan kebahagiaan hakiki yang ruhaniah. Sebab berpuasa itu sebenarnya adalah menjaga ruh yang diamanatkan Allah, sekaligus dapat  membelenggu nafsu dan setan yang ada dalam tubuh setiap insan. Proses perawatan ruhani selama Ramadhan itulah, dipertajam dengan ritual dzikir, tilawah, shalat tarawih, dan amalan-amalan lainnya.

Keistimewaan lainnya dari Ramadhan kali ini, adalah dilaksanakan di tengah merebaknya wabah covid-19, yang membuat resah berbagai lapisan masyarakat, terutama pada sektor kehidupan ekonomi mereka. Akibat social distancing telah berdampak secara ekonomi melemahnya pemasaran berbagai bidang usaha, bahkan telah melahirkan kelompok miskin baru. Hal ini musti menjadi perhatian kalangan masyarakat mampu dan kaya, untuk mengalihkan ekspresi amal shodaqah yang biasa menjadi  keistimewaan Ramadhan dari segi ekonomis. Kini kegiatan-kegiatan seperti berbuka puasa bersama, takjilan di masjid, peringatan nuzulul Quran, sampai tradisi syawalan, semuanya dapat dialihkan kepada bentuk shodaqah yang langsung diterimakan kepada mereka yang membutuhkan. Meskipun demikian zakat mal dan fitrah tetap menjadi fardu ain, kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Kewajiban ini dapat ditunaikan serta dibagikan sesuai situasi wabah sekarang ini.

Zakat adalah satu kewajiban bagi setiap muslim untuk membayarnya. Bahwa zakat secara normatif memiliki kedudukan yang sama dengan kewajiban lain seperti salat dan puasa, bahkan kesempurnaan ibadah muslim sangat ditentukan oleh keseimbangan antara hablum minallah dan hablum minannas, yang berkenaan dengan hubungan sesama manusia justru terwujud dalam pelaksanaan ibadah zakat. Dalam sejumlah ayat Alquran pun dijelaskan kesejajaran shalat dan zakat, dan keduanya selalu difirmankan dalam perintah yang sama, misalnya surat al-Muzammil: 20, Allah berfirman “dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat”.

Mengapa diperintahkan berzakat? Sebagaimana Allah berfirman:  “Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka (at-Taubah: 103)”.  Berarti hikmah serta tujuan zakat adalah membersihkan jiwa manusia dari kotoran kikir, keburukan, dan kerakusan; sehingga dengan zakat itu dapat membantu orang-orang miskin dan menutup kebutuhan orang-orang yang berada dalam kesulitan dan penderitaan, yang juga berarti menegakkan kemaslahatan umum. Demikian pula zakat dapat membatasi penumpukkan harta di tangan orang-orang kaya seperti para pebisnis, pedagang, dan penguasa.

Arti pentingnya zakat, juga dinyatakan sementara ulama bahwa barangsiapa menolak membayar zakat dengan tidak mengakui kewajibannya, maka ia termasuk orang kafir atau ingkar terhadap agamanya. Hal ini didasarkan pada ayat “Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka mereka itu adalah saudara-saudara kalian seagama (at-Taubah: 11)”. Seperti juga Rasulullah mengakui dirinya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersyahadatain, mendirikan shalat, dan membayar zakat, kemudian bagi mereka yang melakukannya mendapat perlindungan dari Allah. Motivasi inilah kemudian menjadi kebijakan utama kepemimpinan Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Barangkali, proses penyadaran berzakat seperti itu juga tepat diberlakukan di tengah covid-19 dewasa ini, yaitu dengan motivasi pemberdayaannya untuk menegakkan keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.

Memang masalah zakat tampaknya sesuatu ibadah dan kewajiban yang masih kurang terperhatikan umat Islam. Boleh jadi karena penyiaran serta pembinaan zakat belum memperoleh perhatian serius, atau sebagian banyak umat Islam masih belum mengetahui harta apa saja yang musti dizakati. Dalam sejumlah kitab fiqh disebutkan, bahwa harta-harta yang wajib dizakati adalah: 1) emas, perak dan barang-barang yang sejenis lainnya, termasuk uang; 2) Hewan ternak (unta, lembu, dan kambing); dan 3) buah-buahan dan biji-bijian atau hasil-hasil dari usaha pertanian. Namun di tengah kehidupan masyarakat modern sekarang yang kepemilikan hartnya lebih banyak berbentuk uang,  misalnya keuntungan perdagangan, honor-honor atas jasa atau profesi lainnya. Secara umum, pembayaran zakat atas harta kekayaan berupa uang sebesar 2,5 %.

Insya Allah, dengan niat membersihkan kekayaan dan mengharapkan suasana sejahtera kehidupan ini, maka umat Islam pun akan segera terpanggil untuk menunaikan zakat. Bulan Ramadhan ini amat baik untuk dijadikan patokan dalam penghitungan penyempurnaan satu tahun atas kewajiban zakat mal,  selain zakat fitrah yang biasa dilaksanakan pada akhir Ramadhan. Demikianlah, pelaksanaan ibadah tersebut diharapkan menjadi penyempurna amal ibadah selama bulan suci dalam keadaan darurat wabah ini. (*)

*Penulis adalah Sejarawan Islam, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com