Covid 19 Memperkuat Introspeksi Diri di Bulan Suci

Oleh: Prof. Dr. H. Dudung Abdurahman* 

Kita menjalankan ibadah puasa Ramadhan ini, antara lain bertolak dari sabda Rasulullah yang menyatakan “barangsiapa berpuasa atas iman dan muhasabah, maka akan diampuni segala dosanya yang terdahulu”. Karena itu pelaksanaan ibadah tersebut dapat dijadikan media untuk selalu bermawas diri, apalagi di tengah merebaknya wabah covid-19 menimpa bangsa ini, sehingga Ramadhan kali ini mestinya juga menjadi kesempatan untuk berintrospeksi diri semua lapisan bangsa.

Kita dapat bermawas diri misalnya,dengan pertanyaan mengapa bangsa ini berulangkali diterpa musibah, mulai dari gempa bumi yang silih berganti, banjir bandang di mana-mana, hingga kini pemaparan wabah yang berkepanjangan ? Pertanyaan ini penting dilakukan dan mendapatkan perhatian serius dari seluruh komponen bangsa, terutama berdasarkan sudut pandang agama serta praktik keagamaan setiap pemeluk agama di negeri ini. Bagi umat muslim khususnya, Ramadhan inilah merupakan kesempatan yang sangat tepat untuk mengharapkan ampunan Tuhan serta kehidupan yang terbebas dari berbagai musibah.

Gambaran sebuah negeri tanpa musibah adalah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang dapat membangun suasana aman dan makmur, seperti dilukiskan Al-Quran laksana kehidupan masyarakat Saba (baca QS. Saba: 15). Mereka hidup dalam kedamaian dan sejahtera, karena disediakan sumber kehidupan berupa kebun yang subur, dengan ketaatan masyarakat dan perlilakunya yang elok, sehingga Tuhan menyebut keadaan mereka sebagai negeri yang baik dalam ampunan-Nya (baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur). Suasana demikian populer di masyarakat kita sebagai  negeri yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo, suatu ungkapan yang menggambarkan betapa potensi kekayaan Indonesia dapat membawa kemakmuran, ketentraman, dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Kini sebutan tersebut banyak digugat dan dipertanyakan, setidaknya apakah negeri ini masih termasuk dalam keadaan baldatun thayyibatun, yakni ditunjukkan oleh seluruh kebaikan alamnya, ataukah justru telah pudarnya makna Rabbun ghafuur, karena meredupnya kebaikan perilaku penduduk negeri sehingga kurang mendatangkan ampunan Tuhan, bahkan ditunjukkan dengan kian banyaknya musibah menimpa negeri ini ? Sementara itu peringatan Tuhan juga patut selalu diwaspadai. Dia menyatakan, bahwa “…jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan, maka sudah sepantasnya berlaku terhadap mereka perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya” (QS. al-Isra, 16).

Implikasi muhasabah atas musibah serta peringatan tersebut, adalah bagaimanakah cara menjaga serta mewujudkan kembali suasana negeri yang baik, sekaligus mengantisipasi murka Tuhan yang akan mengakibatkan kekacauan dan keterpurukan di seantero negeri? Maka sedikitnya lima pilar berikut penting ditegakkan dalam kehidupan ini dan menjadi perhatian semua elemen bangsa.

Pertama, beribadah secara ikhlas merupakan syarat terwujudnya negeri yang baik, yang ditunjukkan pula dalam bekerja, berjuang, dan beramal sebagai sikap syukur dan kesadaran kemanusiaan yang sangat luhur. Karena manusia diciptakan di muka bumi ini hanya disuruh supaya menyembah Tuhan dengan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama secara lurus” (QS. Al-Bayyinah : 5). Keikhlasan yang paripurna itu seharusnya didasarkan rasa keterpautan hati seseorang dengan suka dan kasih sayang terhadap Tuhan (mahabbah ilallah), begitu juga mencintai segala sesuatu atas rasa cinta  kepada-Nya. Sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad, bahwa kecintaan seperti itu sungguh telah menyempurnakan keimanan seorang hamba.

Kedua, membina akhlakul-karimah dalam segala aspek kehidupan penduduk. Karena masyarakat yang sejahtera, aman, dan damai hanya dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan, dan bertolong menolong. Perilaku demikian patut dipahami dalam pengertian yang mendalam sebagai pancaran ruhaniah yang memunculkan sifat Siddiq (jujur dan benar), atas kepercayaan (amanah) yang diberikan Tuhan, dengan komunikasi (tabligh) yang baik, dan sikap-sikap yang selalu bijaksana (fatanah). Inilah akhlak yang sesungguhnya dapat menumbuhkan kebenaran  serta kebaikan atas segala pendengaran, perkataan, penglihatan, pemikiran dan sebagainya.

Terutama sifat amanah merupakan pilar ketiga yang patut ditegakkan oleh setiap warga bangsa. Menjalankan amanah berarti menghindari perilaku korupsi, manipulasi, suap-menyuap dan pengkhianatan lainnya. Karena itu, suatu keniscayaan bagi terwujudnya masyarakat yang baik dan sejahtera adalah  tidak mengkhianati semua amanat yang diberikan kepada mereka, karena hal itu juga termasuk penghianatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS. Al-Anfal : 27). Demikian pesan suci ini untuk dipegang teguh serta patut selalu disadari sebagai upaya memperkuat tatanan masyarakat, dan sebaliknya mengkhianati amanat bisa berarti menghancurkan peradaban bangsa.

Pilar keempat  yang  harus selalu dijaga adalah keseimbangan yang indah antara kehidupan dunia dan akhirat. Seperti digambarkan dalam sebuah kisah, ketika ada seorang sahabat berniat menjauhi dunia dan isteri serta keluarganya, kesempatannya di siang dan malam hari hanya dihabiskan untuk mendekati Tuhan. Justru Rasulullah melarangnya, seraya bersabda : “aku adalah manusia terbaik, aku makan dan minum tetapi aku juga berpuasa, aku istirahat dan tidur tetapi aku juga mendekati isteri, aku bangun menjalankan shalat tetapi aku juga bekerja mencari kehidupan dunia”. Kisah ini menegaskan arti pentingnya keseimbangan hidup, sehingga sehingga apabila ditarik ke dalam cara pandang kita menghadapi musibah, maka upaya-upaya yang cenderung lebih didasarkan proses akal lahiriyah, penting selalu diimbangi dengan proses ruhaniah untuk mengantarkan dan mewujudkan suasana kedamaian.

Kelima, pilar terakhir sebagai puncak ritual dalam proses muhasabah adalah bertaubat, atau dalam konteks kebangsaan bisa disebut “taubat nasional” untuk menggapai suasana “Rabbun Ghafuur”. Dapat disadari bersama, memang setiap manusia pernah berbuat dosa, tetapi kita juga penting selalu optimis akan ampunan  Tuhan atas dosa-dosa manusia serta pertaubatan suatu bangsa (QS. Ali Imran : 135). Karena itulah, berintrospeksi untuk mencapai ampunan Ilahy adalah kunci pembuka bagi kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran negeri, yang terhindar dari berbagai musibah seperti wabah corona belakangan ini. Semoga bermanfaat. (*)

*Penulis adalah Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dan Sejarawan Islam

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com