Misteri Bangku Mbah Kunto-Bagian 1

Cerbung Oleh: Al Ghifari*

Betapa tak mudah perjalanan menuju rumahnya. Bukan hanya menanjak, tapi juga ilicin. Itu masih diperparah dengan bebatuan yang ukurannya tak sama karena dipecah-pecah secara acak. Pastinya dengan alat manual. Kalau orang daerah pedalaman sini menyebutnya bodem. Serupa martil, tapi ukurannya lebih besar.

Melihat kondisi jalan yang di samping kanan dan kirinya hutan dengan pohon-pohon besarnya, tentu cukup mengerikan jika dilewati malam hari. Mau tidak mau aku harus lebih bergegas, karena jam di HP ku sudah menunjukkan pukul 16.55. Ya, di Kawasan pegunungan daerah antah berantah ini, tentu tak terjamah sinyal, apalagi jaringan internet. HP hanya berfungsi sebagai penunjuk waktu dan mungkin jika baterai masih tersisa bisa menjadi cadangan penerangan Ketika hari sudah gelap. Jangankan teknologi modern, listrik saja tak menjangkau.

Sembari melangkah pelan dengan nafas yang tersengal, sesekali aku menengok kea rah Nelson, sahabatku yang menemaniku ke sini sejak dari kota tempat kami tinggal. Sepertinya ia juga merasakan kelelahan yang sama. Apalagi, tas gunung yang dibawanya lebih besar dari punyaku.

Kami berdua nekat dating ke kaki gunung yang konon tertinggi di Pulau ini lantaran satu hal, yaitu penasaran dengan sosok Mbah Kunto. Informasi tentang mbah Kunto yang konon bisa menyembuhkan berbagai penyakit ini aku dapatkan bukan dari google, tapi dari mulut ke mulut warga di desa bawah bukit yang beberapa bulan lalu kami jadikan lokasi syuting pembuatan film documenter untuk memenuhi tugas akhir dari dosen kami.

Di des aitu ada seorang Wanita yang berusia hamper 2 abad. Namun, Mbah Milah, nenek immortal itu masih sehat, bahkan ingatannya tak pudar. Bahkan ia bisa mengingat masa kecilnya sejak umur 7 tahun. Beberapa ceritanya tentang kondisi negeri ini tidak jauh meleset dari litererasi sejarah yang ku baca. Ia bisa menceritakan bagaimana salah satu pejuang republic yang bergerilya dimasa mempertahankan kemerdekaan. Nenek Milah menjadi narasumber utama pembuatan film documenter kami.

Suatu Ketika iseng-iseng aku bertanya ke Mbah Milah apa rahasianya bisa umur Panjang? Waktu itu ia tak banyak memberikan tips hidup sehat dan banyak wejangan penuh dogma seperti kebanyakan orang tua. Ia hanya menjawab kalua ingin hidup lama dan tidak pernah sakit datangi saja mbah Kunto yang tinggal di Gunung seberang desa.

Namun Mbah Milah tidak mau menjelaskan tentang siapa itu Mbah Kunto.  

“Mbah kunto lebih sepuh dari saya. Dia bukan dukun tapi bisa menyembuhkan penyakit. Datangi saja Mbah Kunto, nanti anak Mas akan tahu sendiri,” katanya. Akupun tak berani memaksa Nenek sepuh yang menjadi ikon hidup desa dengan segudang misteri itu.

Tentu saja informasi dari Mbah Milah itu membuat aku dan Nelson penasaran, setua apa dan bagaimana metode Mbah Kunto dalam menyembuhkan orang, padahal tinggal di puncak gunung? Fenomena Mbah Kunto sangat aneh di era digital ini. Apa benar masih ada manusia yang bisa hidup lama dan sehat tanpa bantuan medis dan suplemen macam-macam.

Saat yuting di des aini, aku memperhatikan Mbah Milah saban harinya wajar-wajar saja sebagaimana galibnya orang desa. Makan seadanya dari hasil bumi, tinggal di rumah sederhana, dan beraktifitas di sawah. Dari keterangan Parmo, cucu buyut Mbah Milah yang tinggal serumah, kalua Mbah Milah merasa tak enak badan, Ia hanya menemui Mbah Kunto. Cucu Buyut lelaki yang masih melajang di usia 40 tahun itulah yang mengantarnya.

“Perjalanan pulang pergi setengah hari Mas. Berangkat Pagi buta, pulang sore Hari. Si Mbah di dana hanya ketemu paling 30 menit sama Mbah Kunto,” ujarnya kala itu.

Tentu saja dari cerita Parmo itu, saya dan nelson menyimpulkan perjalanan ke tempat Mbah Kunto tidak terlalu berat. Sebab nenek 175 tahun saja bisa menempuhnya hanya dalam waktu kurang dari 12 jam jalan kaki.

Kami berdua sempat diantarkan Parmo hingga kaki gunung tempat Mbah Kunto tinggal. Memang hanya ada satu jalan naik. Beberapa warga yang sempat kami temui saat naik juga mengatakan sama, jalan menuju tempat tinggal Mbah Kunto memang hanya ada satu jalan.

“Saya sampai sini aja ya mas. Nanti ikuti jalan ini lurus saja. Nati kalua ketemu gapura, berarti sudah dekat Mbah Kunto,” kata Parmo.

Aku ingat, kami berangkat dari kaki gunung Pukul 10 Pagi. Sementara sampai hamper pukul 6 petang ini belum sampai gapura yang disebutkan Parmo.

“Bagaimana Son? Masih kuat jalan?” tanyaku kepada Nelson yang Nampak jalan terseok di belakangku. (Bersambung)

 

*Penulis adalah penggiat forum penulis Kata Mata Pena Jogja (Komunitas penulis binaan jogjakartanews.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com