Senandung dalam Sunyi-Misteri Bangku Mbah Kunto Bagian 8

Cerita Horor
ilustrasi

Cerita Bersambung Oleh: Al Ghifari*

Hari mulai gelap. Suara gemuruh angin gunung menambah suasana hati semakin tak menentu. Rasa takut bercampur dengan rasa penasaran membuatku pelahan melangkahkan kaki mendekati Pendopo. Seolah di sini aku tak henti disuguhi misteri yang tak mudah masuk dalam nalarku.

Mataku masih tertuju ke kursi di Pendopo. Ku perhatikan detilnya lagi. Benar-benar modern, tidak selaras dengan bangunan kuno pendopo. Bagaimana dan siapa yang bisa membawa kursi it uke tempat yang jauh dari peradaban ini?

Nelson merapatkan jarak di sampingku, turut melangkah. Hingga detik ini aku belum melihat adanya tanda-tanda kehidupan manusia di dalam rumah. Tak terasa kami sudah melewati pinggir sebelah kiri pendopo.

Tercium aroma wangi bunga kemuning bercamput kenanga yang menambah merinding buluk kudukku.

“Permisi, apakah ada orang di dalam, kami dating untuk menghadap mbah Kunto,”

Kata Nelson setengah berteriak persis di hadapan pintu tengah di belakang pendopo. Namun taka da yang menyahut.

Hari semakin gelap. Kepanikanpun bertambah. Pendopo dan rumah ini benar-benar nampak semakin mengerikan. Entah mengapa aku merasa ada banyak mata yang mengawasi, sehingga aku benar-benar tak berani berucap dan menggerakkan tubuhku. Aku hanya berdiri sembari mengamati teras rumah yang  diisi dengan sebuah meja dan empat kursi, dimana satunya kursi Panjang.

Berbeda dengan kursi di Pendopo, kursi di teras benar-benar nampak klasik. Rangkanya terbuat dari kayu dan berbalut anyaman rotan. Di atap, tepat di titik tengah meja juga tergantung lampu minyak klasik yang kini di toko antikpun mungkin sudah langka.

Lagi-lagi aku teringat semasa kecilku di tempat eyang. Lampu itu benar-benar tak hanya mirip, tapi persis.

Gantungan terbuat dari kuningan, tabung minyaknya terbuat dari keramik putih. Hal yang membuatku tercengang adalah lampu itu tampak bersih, taka da jarring laba-laba atau semacamnya yang lazim di rumah yang tak ditempati.

Lantai marmer juga bersih, semua tertata begitu rapi. Pemandangan itu membuatku sedikit lega. sebab, aku yakin pendopo dan rumah ini ada manusia yang menghuninya.

Aku menengok ke samping kiri dan baru sadar, bahwa ternyata rumah dan pendopo di bangun cukup dekat dengan jurang, sehingga bisa ku lihat lampu-lampu penduduk di bawah. Sungguh indah, seperti bintang yang berkedap-kedip.

Lamat-lamat terdengar suara adzan magrib dari gema pengeras suara di bawah. Artinya siang sudah benar-benar berlalu.

“Bagaimana ini Jay? Kita ketuk pintu saja apa gimana?” Tanya Nelson.

“Jangan,” buru-buru aku menjawab.

“Lalu bagaimana? Sepertinya tidak ada orang, mungkin Mbah Kuntonya tidak berada di rumah,” ujar Nelson.

“Bisa jadi. Kalau begitu kita turun dan buat tenda di bawah,” usulku.

“Kenapa tidak bertenda di depan pendopo saja Jay, ada tanah lapang, sambil nunggu Mbah Kunto,” ujar Nelson.

“Jangan,” tegasku sambil menyeret Nelson untuk Kembali turun ke bawah.

Kami membuat tenda di tempat pertama kali aku melihat pohon beringin kembar di sebelah pendopo yang ku yakin milik Mbah Kunto. Kami membersihkan semak-semak untuk mendirikan tenda dengan pisau gunung yang kami bawa.

Malam benar-benar mulai gelap. Beruntung tenda sudah berdiri. Kami menyalakan lampu dan memasak mie instant untuk makan malam di dalam tenda.

Aku dan Nelson benar-benar tak berani keluar tenda, sebab memang hawanya begitu dingin, dan semak-semak begitu rimbun, khawatir ada ular berbisa dan sejenisnya yang bisa menggigit kami.

Belum selesai menyantap mie, kami dibuat kaget dengan suara adzan dari atas. Suara itu tidak terlalu keras namun khas seperti suara orang tua. Lantunan adzannya juga tidak biasa, lebih mirip dengan senandung nyanyian logat Jawa. Setelah adzan, suara itu Kembali terngiang. Kali ini benar-benar jelas suara itu menayikan puji-pujian kepada tuhan dan nabi dengan Bahasa jawa campuran arab.

Suara adzan dan puji-pujian seperti itu Khas seperti yang pernah ku dengar di kampung eyang, sewaktu aku masih kecil.

Aku ingat, rumah eyang memang memiliki arsitektur jawa Kuno, karena itu memang warisan turun temurun dari eyang Buyut. Namun Eyang menambah bangunan di samping kanan rumah, mirip seperti gazebo yang disebutnya sebagai Langar. Di sana Eyang dan beberapa tetangga biasanya beribadah.

Aku tidak memastikan apakah di rumah dan pendopo rumah Mbah Kunto di atas juga ada langar, karena mataku tadi hanya terfokus ke sebelah kiri dimana bisa ku lihat pemandangan di bawah dengan leluasa.

Kembali rasa merinding menghampiri. Punggungku terasa kaku. Tangan Nelson reflek memegang bahuku begitu kencang. Wajahnya benar-benar pucat. Bukan karena udara dingin tentunya. Baru pertama ini aku melihat ketakutan yang begitu kentara diraut mukanya. Bahkan, ini lebih nampak kita sore tadi Ketika di Pendopo.

Tak sepatah katapun terucap. Mulut kami benar-benar terkunci. Hampir lima menit kami terpaku.

 

(bersambung)

*Penulis adalah penggiat forum penulis Kata Mata Pena Jogja (Komunitas penulis binaan jogjakartanews.com)

 

 

55 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com