Raungan Angin Gunung-Misteri Bangku Mbah Kunto Bagian 10

Cerbung Misteri Bangku Mbah Kunto
ilustrasi

Cerita Bersambung Oleh: Al Ghifari*

Sesaat setelah sinar menyerupai kilat itu menghujam ke arah kami, muncul deru angin gunung yang terasa mengguncang kain tenda.

Di tengah berkecamuknya rasa sedih dalam hati, air mata tak terasa meleleh dari kedua kelopak mataku. Dengan lemas ku letakkan mangkuk berisi mie instan yang sudah menggumpal dan membantu Nelson membersihkan matras dari tumpahan mie instan yang barusan ia tumpahkan.

“Apa itu Jay?” tanya Nelson dengan nada gemetar.

Aku tak ingin membayangkan akan ada lagi rangkain misteri apa lagi beberapa saat kemudian. Lagi-lagi aku mencoba tenang.

“Cuma angin malam, fenomena alam biasa di gunung kalau begini,” kataku menenangkan Nelson, sekaligus menenangkan diri sendiri.

Aku memang bukan kali ini mendaki gunung. Seharusnya memang aku tak lagi kaget dengan berbagai keganjilan di alam bebas yang jarang terjamah manusia. Namun aku tak bisa memungkiri kalau kali ini aku juga baru merasakan keganjilan-keganjilan yang sungguh menakutkan.

Aku dulu pernah menganggap saat aku hampir mati ketika mendaki gunung yang konon tertinggi di pulau leluhurku ini. Ya, waktu itu aku mengalami dehidrasi dan sempat pingsan. Aku juga terpisah dari rombongan karena nekat mendahului mendaki ketika teman-teman pecinta alamku di SMA tengah beristirahat di Pos ketika mendekati puncak.

Aku merasa percaya diri lantaran aku sudah biasa naik gunung. Namun ternyata waktu itu tiba-tiba aku dihadang kabut yang begitu pekat, padahal pagi jelang siang hari yang cerah. Kabut yang tak biasa. Di tengah kepanikan itu aku berhenti dan duduk di sebuah batu, yang ternyata itu adalah sebuah tugu yang dibangun pendaki.

Saat itu aku merasa lelah dan tertidur. Namun, saat bangun ternyata aku sudah berada di atas tandu. Aku melihat orang-orang berseragan orange dan beberapa teman sependakian mengiringi. Namun yang paling janggal, adalah ketika aku bertanya kepada mereka, tak ada satupun yang menyahut.

Mereka semua seolah tak mendengar suaraku. Padahal, aku merasa sudah mengeraskan suara bahkan sempat berteriak. Baru setelah sampai Pos, aku baru benar-benar merasa semuanya sudah benar-benar normal. Aku sudah bisa berkomunikasi dengan teman-teman dan Tim SAR yang mengusungku.

Aku pikir tak akan mengalami hal yang lebih aneh dari kejadian itu. Namun nyatanya kali ini aku benar-benar merasakan keanehan yang berlipat di Gunung yang ditinggali Mbah Kunto ini.

“Jay, jadi bagaimana sekarang?” tanya Nelson membuyarkan lamunanku.

“Kita coba tidur ajadulu, besok baru kita lanjutkan ke rumah mbah Kunto,” kataku.

Ketika aku dan nelson membenamkan tubuh ke dalam selimut matras, kembali ada hal yang aneh. Kali ini aku dan nelson benar-benar dibuat shock berat. Berbarengan tenda yang berguncang diterpa angin gunung, terdengar suara raungan. (bersambung)

*Penulis adalah penggiat forum penulis Kata Mata Pena Jogja (Komunitas penulis binaan jogjakartanews.com)

52 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com