Gemuruh Angin Gunung Tertelan Sunyi-Misteri Bangku Mbah Kunto Bagian 11

Cerita Bersambung Oleh: Al Ghifari*

Ketika aku dan Nelson membenamkan tubuh ke dalam selimut matras, kembali ada hal yang aneh. Kali ini aku dan Nelson benar-benar dibuat shock berat. Berbarengan tenda yang berguncang diterpa angin gunung, terdengar suara raungan. Kesekian kalinya aku merasakan misteri di kawasan asing ini.

Meski lamat-lamat raungan itu menjauh, namun rasa gemetar semakin terasa. Aku seperti taka sing dengan suara itu. Begitu mirip dengan suara motor milik Nelson yang sering dibawa ke kampus. Tapi yang pasti, itu bukan suara knalpot motor custom milik Nelson. Raungan barusan yang terdengar gahar itu mustahil berasal dari suara mesin. Mana mungkin di hutan tengah gunung seperti ini ada mesin?

Lagi-lagi, aku dibuat tak bisa memejamkan mata. Kali ini aku benar-benar terjaga sendiri.Nelson nampak sudah begitu lelap di dalam selimut matrasnya. Kegelisahan mengaduk-aduk dadaku. Kursi direktur di rumah joglo mbah Kunto dan suara raungan mirip bunyi mesin kendaraan yang barusan memang seperti tak masuk akal berada di belantara sepi ini.

Rasa penasaran akan siapa dan seperti apa sosok mbah Kunto yang konon manusia tertua di negeri ini, mengalahkan ketakutan-ketakutan yang ku rasakan sepanjang perjalanan mendaki gunung ini. Barangkali selama ini banyak yang merasakan sepertiku. Menjadi nekat lantaran penasaran.

Mungkin inilah yang terkadang mencuatkan prasangka bahwa manusia di negeri ini lebih rela berkorban, bahkan korban nyawa untuk sesuatu yang kurang bermanfaat. Setidaknya ketidak manfaatan dari penilaian atau anggapan kebanyakan orang. Seperti misalnya, rela mati demi mendukung kesebelasan sepak bola kesayangannya. Atau hanya karena cinta bersegi-segi nekat menghabisi nyawa teman dan membuat aib institusi. Atau rela menghabiskan quota demi membela pemain drama yang tengah mencari popularitas dengan cara memainkan perasaan publik.

Barangkali aku bagian dari mereka yang kurang bisa menggunakan otak dengan baik. Betapa tidak? Buat apa aku menghabiskan waktu dan tenaga menaiki gunung ini demi mengobati rasa penasaranku tentang mbah Kunto? Padahal, selama ini aku belajar di perguruan tinggi yang mengedepankan sesuatu yang ilmiah, logis dan rasional. Apakah mungkin ada manusia di era digital ini yang hidup ratusan tahun hidup sendirian di tengah belantara puncak gunung yang jauh dari peradaban?

Mungkin aku memang bodoh. Aku manusia yang hidup dengan kegelisahan sepanjang waktu. Ketika ku putar balik memori di masa-masa sebelum akhirnya aku tiba di sini, aku memang kerap mengalami kegagalan, kekecewaan, dan ketidak pastian. Seakan apa yang aku harapkan, apa yang aku doakan kepada Tuhan taka da yang terkabul sesuai harapan.

Kadang aku berusaha bersabar. Aku coba meyakini bahwa rencana Tuhan pasti lebih baik. Itu memang perasaanku saja. Sebab, orang-orang di sekelilingku menganggapku sebagai orang yang temperamen, mudah tersinggung, pendendam dan kurang bersyukur.

Memang tak salah jika aku menjadi manusia yang sering tertimpa ketidakmujuran. Sebab, aku selalu nekat melangkah meski ada keragu-raguan akan hal yang aku cari. Kalau dipresentasikan, mungkin keyakinan yang kumioliki hanya nol koma sekian persen. Tapi aku tetap mengejar apa yang ingin ku capai dalam angan-anganku.

Malam benar-benar terasa hening. Tak ada suara apapun. Bahkan, deru angin gunung yang semula tiada henti, mendadak lenyap. Nelson juga terlelap tanpa suara, seperti orang mati. (bersambung).

 

52 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com