Orang-Orang di Luar Gedung

(Cerpen: Ja’faruddin, AS*) – 

MERAH mengeriap dari balik mata yang selalu terbelalak, semakin membuat orang-orang kecil itu kehilangan jiwanya. Mereka digayuti pikiran yang pecah, berkelok, dan terjerat dalam sekat antara sudut kanan dan kiri. Mereka terpisahkan panggung yang tergenang delta darah, di bawah sorot nyala ambisi dua pasangan yang berebut singgasana tanah negeri.

Mereka yang hanya menjadi pendukung saling memamerkan gigi-gigi runcingnya, bersiap saling menelan. Sementara dua pasang kandidat itu terus menghipnotis, berjoget sembari menyebar candu.

Di sisi lain, di ruang yang tak kasat, para punggawa dari negeri asing mengawasi. Sesekali mereka menertawakan tingkah bodoh para kandidat yang penjoget hingga setengah telanjang, bersama para pendukungnya yang telah dibuat mabuk.

“Berapa juta orang yang sudah tepuk tangan? Siapa pasangan yang jogetnya paling ‘hot’? Ayo tambah taruhan, biar mereka terus berjoget, biar semakin banyak anak negeri berdatangan untuk mabuk dan memilih salah satunya. Biar mereka semuanya yang masuk ke gedung menikmati dan tergantung dengan fasilitas kita. Kita bayar keduanya, siapapun pemenangnya gedung jadi milik kita, pasar candu punya kita, tanah negeri kita perintah tanpa harus menjadi rajanya,” ucap orang yang duduk di kursi megah, di balik panggung para penjoget.

Nyaris luput dari pengawasan, ternyata beberapa orang kecil yang tak tahan terinjak-injak memilih keluar dari gedung itu. Satu, dua, dan seterusnya terlihat membuka pintu ke luar diam-diam.

“Kenapa Anda tidak memilih?” Tanya seseorang yang lebih dulu ke luar gedung.

“Seperti Anda saya juga mencintai tanah negeri,” jawab yang ditanya.

“Karena mereka sudah lupa, gedung itu dibangun oleh leluhur dari dan untuk kemakmuran anak negeri,” imbuh orang yang sesaat kemudian menyusul lainnya ke luar gedung.

Orang-orang di luar gedung menatap dengan kepala yang masih terasa dihempas palu. Gedung itu bergeletar penuh serapah, suara-suara telapak saling injak.

Setelah memuntahkan candu, mereka berlari dengan peluh tersuluh, menjauh dari gedung yang dulunya dibangun dengan pondasi harapan itu. Hingar-bingar selaksa bualan telah redup dan lenyap seluruhnya dalam kelam tanpa gerak.

Mereka, orang-orang yang ke luar dari gedung, kembali mengisi hidup dengan sadar. Kehidupan tanpa pengaruh buaian para penjoget, tanpa aroma candu impor yang membuatnya semakin kerdil. Tekad mereka telah bulat, meski harus dicap bukan warga tanah negeri yang baik.

***

Ketika penduduk tanah negeri kian menjauh, dengan kuasanya para penghuni dan calon penghuni gedung berikutnya mulai bermuslihat. Mereka yang tak mau masuk untuk berpesta dipaksa. Dengan mengatasnamakan supremasi hukum dan demokrasi, mereka yang mengajak agar tidak masuk gedung diancam akan dibui.

Para pesohor yang dinisbatkan menjadi orang suci oleh para penjoget dengan latah memfatwakan haram hukumnya berada di luar gedung saat kontes digelar.

Para penjoget pun membayar tim agar rakyat tanah negeri mau masuk dan memilih mereka. Dibuatnya corong dengan sampah-sampah dari media massa. Ketika membaca koran, mendengarkan radio, melihat televisi, rakyat hanya disuguhi bokong-bokong para penjoget di panggung-panggung mereka yang gemerlap.

Semua kebohongan tercecer menjadi lautan sampah yang menenggelamkan tanah negeri. Semua warganya jadi linglung, pikirannya hanya terfokus pada hari-hari yang melingkar di poros para penjoget.

Namun golongan orang-orang di luar gedung mulai pulih ingatan. Setelah candu para penjoget luruh, muncul kembali sejarah yang telah lama terlipat dalam kebisuan hati terkecil. Ia lalu terjentera dalam secarik memoar tentang keagungan para pendiri gedung dimasa silam.

Ketika itu, gedung masih bercahayakan lentera minyak tanah. Meski remang, tapi terasa benderang, karena disulut minyak berlimpah dari perut negeri sendiri yang gemah ripah loh jinawi. Ironisnya, minyak itu kini telah habis dikuras orang-orang yang duduk di kursi mewah, di balik panggung para penjoget.

Dulu, gedung itu terasa asri. Penghuni gedung semuanya bekerja, tak ada yang berjoget. Mereka menyatu, tak tersesekat, berkumpul dan berjuang untuk kesejahteraan bersama. Mereka menghidupi dan merawat gedung yang dibutuhkan semua insan tanah negeri.

Akan tetapi seiring lajunya waktu dan para penghuni terus berganti, semuanya jadi berubah tak beraturan. Banyak yang datang, bahkan mereka yang asing tak perlu menyusup lagi, karena telah diberi tiket VVIP gratis. Bangunan itu telah disulap menjadi panggung hiburan, tempat para penjoget untuk mengelabuhi rakyat demi para cukong candu yang telah berinvestasi padanya.

***

“Apakah tidak ada yang lebih kecil keburukannya? Bagaimanapun gedung itu harus diisi, harus ada pemimpin di sana, supaya tanah negeri tetap berdiri,” pikir seseorang di luar gedung yang masih bimbang.

“Bagaimana menimbangnya? Realistis dong. Mereka sama-sama penjoget, sama-sama didukung para pemabuk dan pecandu yang saling tikam. Tanah negeri tak membutuhkan penjoget yang seolah-olah membuat rakyat senang dan makmur saat di dalam gedung, tetapi realitasnya di luar masih susah dan tertindas,” jawab seorang lainnya meyakinkan.

Tiba-tiba, tim sukses para penjoget yang sedang bergerilya mencari massa pendukung di luar gedung, menyergah. Dengan bernada sama lantangnya mencoba mempengaruhi orang-orang agar memilih kandidatnya masing-masing.

“Sebenarnya kandidat kami ingin gedung dikembalikan fungsinya untuk rakyat agar lebih sejahtera. Tanah negeri ini harus menjadi lebih kuat dari yang dulu, harus disegani negeri-negeri lainnya. Jangan seperti kandidat di sudut kanan, tidak jelas konsepnya dan tidak tegas, ” celoteh tim sukses pasangan penjoget di sudut kiri.

“Sebenarnya kandidat kami sudah terbukti bekerja. Pasti bisa mensejahterakan anak negeri dengan kerjanya. Tidak seperti kandidat di sudut kiri yang bisanya pidato berapi-api, punya masalah di masa lalu yang belum dituntaskan,” ujar tim sukses pasangan penjoget di sudut kanan.

“Kami memilih di luar gedung. Kami akan lihat apakah benar lima tahun ke depan penduduk tanah negeri ini bisa dimakmurkan kandidat kalian? Kalau memang terbukti, lima tahun nanti kami akan masuk gedung dan memilih” jawab orang di luar gedung yang sudah jengah.

“Kalau begitu nanti kalian tidak boleh mengkritik kebijakan kandidat kami yang terpilih !” jawab kedua tim sukses kompak dengan kemarahannya.

“Justru karena tidak memilih kami bebas mengkritik. Kalian yang memilih justru tak bebas karena dikekang, harus mendukung penjoget yang terpilih meski mereka terus menginjak kita semua,” bantah orang di luar gedung yang mulai berani.

“Kami berhak tidak memilih tapi kami juga berhak atas kemakmuran tanah negeri ini. Siapapun yang nanti terpilih harus membuktikan janjinya. Mereka harus bekerja demi seluruh tumpah darah tanah negeri, tidak hanya mementingkan gerombolan pendukungnya saja, tapi semuanya termasuk kami yang juga bagian dari rakyat tanah negeri,” sambung orang di luar gedung lainnya.

“Kami tak memilih agar siapapun yang bertakhta nanti menjadi sadar untuk lebih baik karena tidak mendapat legitimasi sebagian besar rakyat . Selama ini para penguasa gedung selalu berlindung dengan klaim telah diberi mandat karena didukung 50% lebih rakyat tanah negeri. Mereka jadi pongah, keputusannya seolah selalu sah meski tidak berpihak kepada rakyat,” tambah orang di luar gedung lainnya.

“Kalau kami yang di luar lebih banyak, maka mereka yang bertakhta di gedung mau tak mau harus meminta dukungan kepada kami. Kami tak akan memberontak, kecuali jika terus ditindas. Kami akan mendukung siapa saja yang terbukti bisa membawa perubahan lebih baik untuk tanah negeri,” imbuh orang di luar gedung yang selama ini diam.

“Jangan ajari kami bermental koruptif seperti kalian. Tak perlu memberi amplop untuk datang ke gedung. Kami tak mau bersemboyan ambil amplopnya jangan pilih orangnya. Kami bukan orang malas, kami adalah pekerja keras,” tukas orang di luar gedung sambil menyingkirkan sampah-sampah yang dihamburkan para penjoget dari media massa yang berpolitik praktis.

“Jangan coba-coba menindas kami lagi, karena kami akan mengontrol penghuni gedung dari luar. Jangan remehkan kami. Rakyat tanah negeri berdaulat,” seru yang lainnya lagi di luar gedung.

“Kami tidak memilih demi tanah negeri yang bersih dari para penjoget, dari para pecandu, dari para penghamba asing, dari para perampas kesejahteraan,” tegas yang lainnya dan yang lainnya lagi.

“Kami tidak memilih!” pekik orang-orang di luar gedung menggetarkan langit di atas tanah negeri, mengusir tim sukses para penjoget. [*]

*Penulis adalah jurnalis jogjakartanews.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com