Petruk Tak Terpuji Lagi

SETIAP peristiwa dalam hidup manusia menyiratkan sejarahnya sendiri.  Tak terkecuali dengan kepergian-kepergian sesuatu yang pernah kita miliki atau kepergian seseorang ke alam fana yang menjadi misteri Sang Pencipta.  Hal itulah salah satu dari sekian samudera makna dalam puisi Ki H. Ashad Kusuma Djaya, berikut ini:

Petruk Tak Terpuji Lagi
(Mengenang Ragil Suwarna Pragolapati)

Oleh: Ashad Kusuma Djaya

Setelah kami kehilanganmu, Kang!
Moksamu di keheningan pantai selatan
Petrukmu tak terpuji lagi
Berakhir sudah zaman keemasannya
Bangkrutlah rezim panakawannya

Setelah kami kehilanganmu, Kang!
Puntadewa, Bima, Arjuna tampil di depan
Memenuhi aneka ria panggung lawakan
Kalimasadanya membuat terpingkal
Pancanaka menghibur hati
Pasopatinya sungguh menggelikan
Lapar dan miskin, sirna dalam tawa

Setelah kami kehilanganmu, Kang!
Dungu rakus petrukmu terlimpah pada sumbadra
Genit menggoda memikat hati
Yang tak penting jadi penting
Dan yang penting jangan sampai bunting
Lepas hasrat pulang
Sedikit lupakan hutang

Setelah kami kehilanganmu, Kang!
Gatotkaca Antareja Antasena pulang ke barak
Bingung mencari telunjuk petrukmu
Di atas Suzuki Honda dan Yamaha
Dalam bias televisi berwarna

Kang, kami tidak peduli pada petrukmu!
Kami hanya rindu jiwa puisimu
Untuk menyatukan kawula dan penyairnya
Menghidupkan sangkan paran sastra

Note:
Pada tanggal 15 Oktober 1990, ketika saya masih SMA, Ragil Suwarna Pragolapati hilang secara misterius di Parang Tritis. Usianya jika masih hidup, seusia dengan ibu saya. Ia tidak memiliki hubungan apapun dengan saya, kecuali sekedar sama-sama senang datang ke pasar buku Shopping Center Jogja. Dia senang mencari buku loakan, dan saya dibesarkan dalam kultur buku di Shopping itu. Saya tidak pernah belajar puisi langsung padanya, dan saya juga bukan seorang penyair. Tapi di sebuah malam saat saya menjalankan Haji di Mekkah, di akhir tahun 2006, dia hadir di mimpi saya hanya sekedar menyapa. Padahal sebelumnya juga tak ada pembicaraan tentangnya, dan saya juga tak pernah membayangkannya. Sampai saat ini saya tak pernah mengerti apa arti sapaannya.[*]

*) Penulis adalah Wakil Ketua PDM Kota Yogyakarta. Mendapat gelar Ki setelah memimpin sebuah Padepokan. Pernah belajar di UGM, tapi lebih banyak di jalanan, perpustakaan, ruang diskusi dan terjun ke masyarakat. Menulis beberapa buku, antara lain: Akhlak Menggapai Makrifat, Post-Madilog, Tan Malaka dan Tuhan, Soekarno Perempuan dan Revolusi, Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar Membuka Pintu Makrifat, serta beberapa buku lainnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com