Oleh: Tim Redaksi Jogjakartanews.com
KEPEMIMPINAN sebuah kerajaan dalam sejarah Nusantara tidak selalu dipegang oleh seorang Raja (laki-laki), melainkan juga bisa dipegang seorang Ratu (Perempuan). Menilik sejarah panjang Nusantara, banyak pemegang takhta kerajaan leluhur tanah Jawa adalah kaum perempuan, salah satunya Ratu Shima. Ratu penguasa Kerajaan Kalingga sekitar tahun 674 Masehi itu menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan, serta untuk mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Shima adalah ratu yang masuk dalam jajaran nama besar sejarah panjang nusantara. Versi lain, Ratu Shima adalah ratu kerajaan Medang Kamulyan. Berdasarkan penanggalan dari Jangka Jayabaya, tercatat Medang Kamulyan sebagai kerajaan induk Nuswantara (Nusantara) itu ada di jaman Kala Brawa di jaman besar Kali Swara dengan raja-rajanya Sang Maha Prabu Birawa dan Sang Maha Prabu Kandiawan.
Menurut penelitian-penelitian beberapa rontal kuno dan beberapa prasasti, nusantara adalah gabungan dari dua kata, Nuswa atau Nusa, dan Antara. Nuswa sendiri dalam bahasa sansekerta kuno mempunyai arti “sebuah tempat yang dapat ditinggali”, jadi tidak disebutkan secara jelas bahwa itu adalah pulau, atau bukan. Sehingga, makna ‘sebuah tempat yang dapat ditinggali’ dapat diartikan tidak terbatas hanya di daratan yang ada di muka bumi ini, namun juga lautan, dasar laut, tempat di luar bumi atau bahkan tempat di luar galaksi kita-pun adalah tempat yang dapat ditinggali. Hal itu diperkuat dengan adanya istilah ‘Antariksa’ dalam beberapa serat kuno, dan masih dipakai hingga saat ini. Antariksa secara umum diartikan sebagai ruang di luar bumi.
Menurut catatan pada beberapa lontar mengenai alam raya atau Sastra-Jendra, leluhur kita membahasakan ‘Bumi’ dengan nama ‘Arcapada’ dan tempat kita hidup di atas bumi itu yang dinamakan lapisan bumi pertama atau Eka Pratala, dan semuanya terdapat tujuh lapisan sampai ke Sapta Pratala (inti bumi atau magma bumi). Di luar Arcapada, tertera nama Dirgantara yang maknanya adalah lapisan sejauh burung dapat terbang paling tinggi, kemudian terdapat angkasa yang maknanya adalah lapisan dari atas dirgantara sampai ke batas atmosfir paling tinggi. Dan di luar atmosfir itulah yang disebut dengan Antariksa.
Konsepsi dari Nusantara sendiri adalah sebuah kesatuan wilayah yang dipimpin oleh suatu pemerintahan secara absolut. Jadi, dalam Nusantara terdapat satu kerajaan Induk dengan puluhan bahkan ratusan kerajaan yang menginduk, bukan sebagai wilayah jajahan.
Terdapat lagi istilah Salaka Nagara, istilah Salaka Nagara lebih merupakan sebuah status untuk beberapa periodesasi masa gemilang dari Nusantara. Dalam bahasa sansekerta, salaka berarti seluruh alam raya, jadi pada saat itu Kerajaan Induk Nusantara yang statusnya Salaka Nagara berarti semua kerajaan yang ada di muka bumi ini mempunyai pimpinan tunggal atau secara absolut Kerajaan Induk itu menguasai seluruh pemerintahan yang ada di muka bumi ini.
Dalam sejarah gemilangnya tercatat banyak Kerajaan Induk di Nuswantara yang statusnya Salaka Nagara, diantaranya Kerajaan Keling, Kerajaan Purwadumadi, Kerajaan Medang Gili, Kerajaan Medang Ghana, Kerajaan Medang Kamulyan, dan lain sebagainya termasuk yang menjadi cikal bakal kerajaan Majapahit, Mataram lama, hingga Ngayugyokarto Hadiningrat.
Kerajaan Induk biasanya dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Sang Maha Prabu atau Sang Maha Raja, bergelar Sang Maha Ratu apabila dipimpin oleh seorang perempuan, pada periode zaman sebelumnya dengan Sang Rakai atau Sang Mapanji, serta dibantu oleh Patih atau sekarang setara dengan Perdana Menteri yang bergelar Sang Maha Patih.
Pimpinan Kerajaan banyak yang diwariskan atau turun-temurun, tapi keturunanpun dilihat dari sosok pimpinannya yang mempunyai kharisma sangat tinggi, kecakapannya dalam memimpin negara dan keberaniannya dalam mengawal Nuswantara, sehingga negara-negara lain atau kerajaan yang menginduk, atau ada yang disebut juga Kadipaten akan dengan suka rela menginduk di bawah sang pemimpin. Apalagi, sang pemimpin biasanya dianggap mewarisi perbawa (wibawa)dari para Dewa, dalam pewayangan-pun beberapa nama raja disebutkan sebagai Dewa sing ngejawantah, dan sekali lagi itu tidak mengenal perbedaan gender.
Dalam pewayangan, Nuswantara ini dulu diberikan istilah berbahasa Kawi (Jawa kuno), yaitu “Negara kang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharja”
(Luas berwibawa yang terdiri atas daratan dan pegunungan, serta lautan, subur makmur, rapi tentram, damai dan sejahtera). Hal ini tentu saja tidak lepas peranan dari leluhur-leluhur kita yang beradat budaya dan ber-etika tinggi.
Di samping bisa mengatur kondisi Negara sedemikian makmur, leluhur kita juga bahkan dapat mengetahui kejadian yang akan terjadi di masa depan dan menuliskannya ke dalam karya sastra yang bertujuan sebagai panduan atau bekal anak cucunya nanti supaya lebih berhati-hati dalam menjalani roda kehidupan.
Leluhur kita yang menuliskan prediksi kejadian masa depan adalah Maha Raja dari Kerajaan Dahana Pura bernama Sang Mapanji Sri Aji Jayabaya dalam karyanya Jayabaya Pranitiradya dan Jayabaya Pranitiwakyo. Sering juga disebut “Jangka Jayabaya” atau oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama “Ramalan Jayabaya”. Leluhur lainnya adalah R. Ng. Ranggawarsita yang menyusun kejadian mendatang ke dalam tembang-tembang, antara lain Jaka Lodang, Serat Kalatidha, Sabdatama, dan lain-lain. Namun dalam serat tidak menyebutkan secara pasti apa yang terjadi di masa depan, akan tetapi digunakan simbol atau penanda khusus, sehingga kita harus jeli untuk dapat mengetahui apa yang dimaksud. Sebab, para leluhur adalah manusia yang juga menghamba kepada Sang Maha Pencipta. Mereka tak hendak mendahului takdir Tuhan. Hanya orang-orang linuwih yang memiliki ketajaman meta fisika yang mampu mengartikan dengan baik prediksi para leluhur kita tersebut.
*Diolah dari berbagai sumber