Orang Biasa

Cerpen: Esti Yaani

Aku orang biasa. Bukan orang yang memiliki cita-cita besar namun terhalang oleh berbagai macam rintangan. Percayalah kalimat kedua itu adalah pujian. Aku orang biasa. Aku bukan wanita yang cantik, namun aku bersyukur masih diberi keluarga dan teman yang mencintaiku. Aku bukan dari keluarga yang berkecukupan, namun aku sangat bersyukur karena Sang Pencipta mengizinkanku menamatkan kuliahku. Dan lagi, aku bukan anak yang pintar, namun jika aku mengingat masa-masa sekolah aku harus bersyukur, karena aku diizinkan tidak merasakan peringkat terakhir. Aku terus bertanya pada diriku, apakah aku akan terus seperti ini? Melakukan semua hal tanpa tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Lakukan, lakukan, lakukan, hanya itu. Dan lagi, sebisa mungkin dengan baik.

“Semuanya sini-sini!” Seseorang berteriak setengah niat. Maklum saja, bel istirahat baru berbunyi.

“Berita kali ini harus bagus!” Seseorang menegur seperti biasa.

“Bos kita jadian sama Yura.” Berbisik pelan karena jarak kami tidak terlalu jauh saat bergosip.

Mulut semua orang yang mendengar otomatis terbuka. Aku juga. “Beruntungnya Yura.” Sudut pandang wanita.

“Yura? Bos kitalah yang beruntung, Yura wanita yang cantik. Luarnya, hatinya, semuanya sempurna.” Sudut pandang laki-laki.

“Jangan lupakan kaya.” Seseorang langsung masuk ke dalam pembahasan walau tertinggal bagian awalnya.

“Kaya?” Berita ini makin menarik untuk dibahas.

“Kalian belum tahu, Yura itu anak dari pengusaha yang tidak boleh disebut namanya.” Agak berlebihan memang jika kau mendengar untuk pertama kali, namun pengusaha seperti itu memang ada di negeriku.

Begitulah suasana tempatku bekerja. Saat ada berita besar dibahas kami selalu lupa waktu istirahat, jika bel istirahat berbunyi mereka akan saling menyalahkan karena mereka tidak bisa mendapatkan makanan yang sedari tadi mengacaukan pikiran mereka. Percayalah, kami sebenarnya puas mengetahui berita besar itu. Makanan? Kami punya cara tersendiri makan di jam kerja.

“Busku sudah datang, kamu tidak apakan sendiri?” Sebenarnya dari lima teman yang sedari tadi menunggu bus hanya dia yang tersisa.

“Ya, tenang saja.” Aku menunggu sendiri. Biasa.

Aku mengambil smartphoneku. Bukan kebiasaan, aku hanya ingin mengecek sesuatu. Siapa yang akan tahan bermain smartphone setelah delapan jam bekerja di depan komputer. Lima hari dari sekarang aku akan pulang menemui orang tuaku, dan itu adalah saat-saat yang paling aku tunggu. Aku agak sedikit sentimental jika berhubungan dengan rasa kangen, sayang, atau semacamnya dengan orang tuaku jadi aku pulang satu bulan sekali. Orang tuaku tidak mempermasalahkannya, mereka senang aku sering berkunjung, mereka hanya berpesan untuk menjaga kesehatan dan makan tiga kali sehari. Berdoa, mereka juga sering mengingatkanku untuk selalu berdoa.

Bus yang aku tunggu akhirnya datang. Aku hanya karyawan tetap di perusahaan swasta yang digaji sesuai dengan umr di daerah itu. Posisiku tidak istimewa, hanya mengurusi hal-hal dengan komputer cembung dengan aplikasi ketik tahun 2003. Pihak perusahaan bilang mereka akan segera menggantinya dengan komputer yang lebih bagus dengan aplikasi ketik yang diperbarui. Perusahaan tempatku bekerja tidak besar, namun berani bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar yang ada. Aku dengar bosku masuk dalam manusia paling kaya nomor empat puluh di negeri ini. Jika melihat bagaimana aku masuk ke perusahaan ini dan mengingat umurku yang tidak menguatkan adanya pengalaman bekerja, aku bersyukur, ini adalah kejutan terbesar yang diberikan Sang Maha Kaya kepadaku. Sebagai orang biasa.

“Permisi nona.” Seseorang membangunkanku.

“Saya turun di halte empat.” Aku jawab seadanya. Niatnya hanya memejamkan mata, tapi sepertinya aku terlelap.

“Kita sudah sampai dipemberhentian terakhir.”

Kedua kalinya. “Terima kasih.” Menyesal. Marah. Lalu ingin menangis. Perasaan seperti itu begitu menggangu.

Jangan hujan. Hanya itu harapanku. Selalu seperti itu. Aku berlari ke minimarket terdekat, di sana ada makanan yang kusuka namun tidak terjual massal di semua minimarket. Dengan satu cangkir plastik penuh coklat panas aku memakan makananku. Aku tidak terlalu suka kopi, bukan karena kafeinnya hanya saja kopi membuatku mengantuk lebih cepat. Makanan adalah obat terbaik untuk lambung dan hatiku.

“Nona, bolehkan saya meminta segigit makanan?” Wanita tua seumuran ibuku dengan baju lusuh berbalur daki dan tanah menghampiriku.

“Ibu, ambilah ini. Duduklah!” Aku menawarkan kursiku lalu kembali untuk membeli makanan lagi.

Tidak sampai lima menit kurasa. Aku tidak sempat meletakan makanan dan minuman yang baru kubeli di tempat yang benar. Aku tidak berani sebenarnya, jadi aku berteriak minta tolong dahulu. Satu detik waktu yang begitu lama jika kau menunggu, aku mencoba membantu saja. Aku berusaha memegangi kayu seukuran gagang sapu yang ia gunakan untuk memukul ibu itu. Sambil berteriak tentu. Orang-orang yang datang membantu cukup banyak di jam-jam seperti ini. Aku tidak tahu ke mana mereka akan membawa orang itu, tapi aku sudah berpesan untuk tidak main hakim sendiri.

“Ibu tidak apa?”

“Aku baik. Apakah anak saya tidak apa?”

“Anak? Apa tadi ibu membawa anak?” Aku melihat sekeliling karena bingung.

“Yang tadi memukuliku. Dia pasti cemas karena aku tidak pulang-pulang.” Aku sempat ingin mengatakan ‘Apa ibu gila?’

“Dia anak yang baik. Dulu aku selalu bilang padanya untuk menjadi orang biasa saja.” Isak terpanggil.

“Tapi tekadnya terlalu besar. Dia ingin memiliki semua yang ia inginkan. Hingga suatu hari ia kehilangan semuanya.” Tangis mengiringi isak yang sedari tadi memberontak.

“Dia hanya belum siap. Aku hanya menunggu dan menunggu. Entah bagaimana kami jadi seperti ini.” Aku terdiam dengan sendirinya mendengar cerita si ibu.

“Aku ingat saat semua orang memuji anakku, hebatnya, pintarnya, bahkan wajah jeleknya dianggap begitu tampan oleh anak perempuan seumurannya.” Kini si ibu tersenyum.

“Harusnya aku bilang tidak apa kau gagal. Tidak apa kau bukan siapa-siapa di dunia ini. Kau hebat di mata ibu.”

Aku tidak begitu ingat bagaimana kami berpisah. Aku hanya mengingat semua cerita si ibu. Aku jadi teringat bagaimana ayah dan ibu menghiburku saat aku gagal masuk perguruan tinggi favoritku. Aku selalu menyalahkan diriku bahkan aku sempat marah pada Sang Maha Kuasa karena aku terlahir sebagai orang biasa. Aku juga selalu menyukai cara ayahku merayakan keberhasilanku tidak mendapat peringkat terakhir. Es krim coklat adalah favoritku namun ibuku bilang es krim itu untuk orang hebat, jadi ia membelikanku es krim vanilla. Agar gigiku tidak rusak adalah alasan sebenarnya, aku hampir menangis jika mengingat itu.

Hari ini melelahkan. Badan, pikiran, dan hatiku merasakan semua. Aku selalu ingin menjadi pemeran utama dalam hidup ini, tidak apa jika hanya satu atau dua hari paling tidak selama aku hidup bisa merasakan menjadi pemeran utama. Kisahnya menjadi motivasi semua umat untuk bangkit, berjuang, dan menjadi lebih baik. Aku berubah pikiran, tanpa ada pemeran pembantu pasti tidak ada pemeran utama. Tanpa ada orang biasa tidak ada orang hebat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com