Bupati Gunungkidul Luncurkan Kebijakan Stiker Bansos: Transparansi, Bukan Malu-Malukan

Bupati Endah Subekti Kuntariningsih memilih langkah konkret yang akan ia tempuh terbilang unik sekaligus berani dengan menempelkan stiker identitas penerima bantuan sosial (bansos) di rumah-rumah warga yang menerima program dari pemerintah.
Bupati Endah Subekti Kuntariningsih memilih langkah konkret yang akan ia tempuh terbilang unik sekaligus berani dengan menempelkan stiker identitas penerima bantuan sosial (bansos) di rumah-rumah warga yang menerima program dari pemerintah.

Gunungkidul — Di tengah berbagai tantangan sosial yang dihadapi Kabupaten Gunungkidul, Bupati Endah Subekti Kuntariningsih memilih melangkah dengan cara yang tidak biasa. Ia tidak ingin sekadar menyalurkan bantuan sosial tanpa arah, melainkan ingin menciptakan kesadaran baru bahwa bantuan bukan untuk memanjakan, melainkan untuk memerdekakan.

Langkah konkret yang akan ia tempuh terbilang unik sekaligus berani — menempelkan stiker identitas penerima bantuan sosial (bansos) di rumah-rumah warga yang menerima program dari pemerintah.

Bagi sebagian orang, kebijakan ini mungkin terdengar kontroversial. Namun bagi Bupati Endah, inilah bentuk nyata dari transparansi, pengendalian, dan edukasi sosial agar penyaluran bantuan lebih tepat sasaran dan terbuka bagi semua pihak.

Realita Berat di Gunungkidul

Gunungkidul selama ini dikenal dengan lanskap perbukitannya yang kering dan tandus. Namun di balik keindahan alamnya, daerah ini menyimpan problem sosial yang tidak ringan.

Dalam pernyataannya, Bupati Endah tak menutup mata terhadap fakta pahit itu. Ia mengakui, angka kemiskinan di Gunungkidul masih menjadi yang tertinggi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sementara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) justru berada di posisi terbawah.

“Data statistik menunjukkan kemiskinan di Gunungkidul masih paling tinggi di DIY. Saya harus berpikir keras bagaimana ini bisa kita cicil, walaupun penyelesaiannya tidak bisa serta merta,” ujarnya dengan nada reflektif.

Ia sadar benar bahwa kemiskinan di Gunungkidul bukan sekadar angka, melainkan hasil dari banyak faktor: ekonomi yang terbatas, lapangan kerja yang belum merata, dan daya saing masyarakat yang masih lemah. Namun bagi Endah, menyerah bukan pilihan.

“Semua butuh proses, tapi kita tidak boleh berhenti berinovasi,” tegasnya.

Baca Juga : https://jogjakartanews.com/baca/2025/11/03/27463/sri-sultan-hamengku-buwono-x-tekankan-harmoni-antar-generasi-dalam-birokrasi-diy

Ketika Gunungkidul yang Tanduk Menjadi Langganan Banjir

Belum selesai dengan urusan kemiskinan, tantangan lain datang dari sisi yang tak terduga. Gunungkidul, yang dulu selalu dikaitkan dengan kata tandus, kini justru mulai sering mengalami banjir lokal.

Hujan yang turun sebentar saja bisa menimbulkan genangan air di beberapa titik. Bagi Bupati Endah, fenomena ini tidak hanya persoalan alam, tetapi juga sosial.

“Dulu tidak pernah ada ceritanya Gunungkidul banjir, tapi sekarang baru hujan sebentar, genangan air sudah diviralkan. Telepon dan pesan masuk tak henti-henti, Orang bertanya-tanya, kenapa daerah tinggi seperti Gunungkidul bisa banjir.” tuturnya.

Masalah baru ini memaksa Pemkab Gunungkidul bekerja ekstra cepat merespons berbagai laporan warga. Namun, lonjakan laporan yang datang langsung ke ponsel pribadi sang bupati juga menambah beban administratif.

“Saya setiap hari menerima ribuan pesan WA. Laporan masuk lewat media sosial, messenger, bahkan pesan pribadi. Karena itu saya minta tim IT dan akademisi membantu membuat aplikasi pelaporan rakyat supaya bisa tertata rapi dan terpantau,” jelasnya.

Dari Kekacauan Data ke Ide Stiker Bansos

Dalam banyak laporan yang masuk, tim pemerintah menemukan satu persoalan yang sudah lama menghantui: data penerima bantuan yang tumpang tindih dan tidak akurat.

Ada warga yang merasa tidak mendapat bantuan padahal tercatat sebagai penerima. Ada pula yang sudah menerima, namun mengaku belum. Sistem yang bergantung pada kartu dan verifikasi manual sering kali menimbulkan kebingungan.

“Masalahnya, sekarang kartu BPJS sudah tidak dipakai lagi. Warga cukup menunjukkan KTP. Jadi banyak yang tidak tahu kalau mereka sebenarnya masih aktif sebagai penerima,” kata Endah.

Dari sinilah ide stiker muncul. Ia ingin setiap rumah penerima bantuan memiliki tanda identitas yang jelas — bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk menegakkan keterbukaan.

“Di stiker itu akan tercantum nama penerima, alamat, dan jenis bantuan yang diterima — mulai dari BPJS, beras 20 kilogram, bantuan anak yatim, hingga atensi janda,” jelasnya.

Tak hanya itu, di bagian bawah stiker nanti akan ada kalimat doa yang penuh makna: “Semoga keluarga ini segera menjadi keluarga yang berdaya.”

“Bukan untuk mempermalukan, tapi untuk mendorong semangat keluar dari ketergantungan,” ujarnya menegaskan.

Baca Juga : https://jogjakartanews.com/baca/2025/11/01/27446/ehef-2025-kembali-hadir-di-yogyakarta-dan-jakarta-tawarkan-1-000-beasiswa-dan-program-teknik-hijau-eropa

Fungsi Kontrol dan Dorongan Sosial

Kebijakan ini, lanjut Bupati Endah, memiliki dua fungsi utama. Pertama, mewujudkan transparansi publik. Dengan adanya stiker, masyarakat bisa mengetahui siapa saja penerima bantuan di lingkungannya. Kedua, membangun kesadaran sosial agar warga yang sudah mampu dengan sukarela mundur dari daftar penerima.

“Kalau rumahnya sudah tingkat, temboknya bagus, tapi masih menerima bantuan, kan jadi kelihatan. Kadang mereka akhirnya malu dan memilih mundur. Itu bagus, artinya mereka punya kesadaran sosial,” ungkapnya.

Selain itu, mekanisme ini juga memperkuat sistem kontrol sosial di tingkat lokal. Dengan data yang terbuka, masyarakat bisa turut mengawasi dan melaporkan bila ada warga yang dianggap lebih layak mendapat bantuan.

“Ada bukti, ada datanya. Kita bisa tindaklanjuti dan laporkan ke pusat,” kata Endah.

Endah menyadari, kebijakan ini pasti menuai reaksi beragam. Akan ada yang mendukung, ada pula yang menolak dengan alasan privasi atau rasa malu. Namun ia memilih tetap melangkah dengan keyakinan bahwa keterbukaan adalah kunci perubahan.

“Pasti ada yang suka, ada yang tidak. Tapi kalau kita ingin maju, harus berani terbuka. Pemerintah tidak boleh menutup diri, apalagi soal bantuan rakyat,” Tutupnya. (haw)

14 / 100 Skor SEO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com