Buruh – Buruh Ningrat

Cerpen: Ja’faruddin AS*

TANGAN-TANGAN kurus dengan belulang menyembul, mata yang cekung, menggambarkan betapa menderitanya dia. Seolah menjadi sempurna nestapa itu ketika kini dia berada di ruangan interogasi Polisi Pamong Praja. Dalam gemetar antara lapar, sakit, dan takut, di tengah petugas yang bertampang  tegas.  Terbayang, dengan garang mereka menyeretnya dari tepi jalanan, tempat Si Kurus itu menaruh raga, sekadar menghirup nafas demi  sisa hidup yang mungkin  singkat, secepat detik-detik mendatang.

“Gembel kamu tunggu di sini, nonton Tivi saja jangan coba-coba kabur kalau tak mau ku setrum,” bentak pria berseragam abdi negara itu dengan lantang.

Si Kurus menatap TV dengan layar kaca  datar yang besar. Disana ia melihat banyak sekali orang-orang berkumpul dengan kaos seragam, ikat kepalanya pun seragam dan bersablon. Mereka berteriak-teriak dengan pengeras suara berdaya getar layaknya sound system konser musik, yang pasti sewanya mahal. Mereka menuntut kesejahteraan buruh, menuntut kedaulatan energi, minyak bumi, dan gas demi kesejahteraan rakyat.

Ia melihat sang orator berbadan segar, berkulit bersih, memakai jam tangan bermerek, cincin berkilau, dan membawa ponsel yang tentunya sangat mahal dan tak mungkin ia miliki sampai ajal menjumpainya. Dengan berapi-api di atas mobil bak terbuka, mengucapkan slogan “Kita di sini demi memperjuangkan nasib rakyat!”.

Namun si Kurus sempat  terkejut ketika mendengar pembawa berita mengatakan kalau itu adalah aksi buruh. Pikirnya, betapa sejahteranya buruh-buruh itu? Sungguh mulianya mereka yang sudah berkecukupan masih peduli kaum papa. Kalau berjuang untuk rakyat apakah ia masuk dalam yang diperjuangkan? Apakah hanya sesama buruh yang  tampang, perhiasan, ponsel, dan pakainnya  layaknya orang ningrat itu saja yang diperjuangkan?

“Ya Tuhan diberkatilah mereka yang berjuang untuk rakyat, semoga orang seperti saya mendapat kan berkah dari hasil perjuangan mereka. Amin” doa Si Kurus dalam hati.

Tiba-tiba tangannya terasa linu, cengkeraman petugas yang kerap disebut pelayan masyarakat itu menghujam.

“Gembel jangan nonton tivi terus! Jangan mimpi kamu bisa demo kami seperti mereka ya!” tukas petugas sambil menyeretnya.

***

“Dasar gembel sampah masyarakat masih belum kapok juga, kenapa tidak tinggal di penampungan!” untuk kesekian kalinya, setelah bulan-bulan sebelumnya, petugas yang sama menggelandang  si Kurus  lagi. Juga di tepi jalan yang sama, di jam dan hari yang sama seperti sebelumnya.

“Kehidupan saya tak berubah di sana pak. Setelah ada yang serahkan bantuan, saya dan teman-teman malah dikasih makan sedikit, tak sebanyak makanan yang biasa kita beli dari hasil mengemis. Saya juga dibolehkan pergi oleh penjaga. Katanya biar hemat anggaran. Kalau bapak tangkap saya lagi, pastinya dibawa ke sana juga,” jawab si Kurus.

“Berani jawab ya?! Diam! Ayo ikut ke kantor!” kata petugas yang terlihat lebih tambun dari bulan yang lalu.

Ia kembali merasakan kerasnya kursi logam panjang, tempat yang sudah akrab dengan kehidupannya. Ya, seperti altar para pendosa untuk menunggu dieksekusi petugas yang hidup dari pajak rakyat itu. Di hadapan para pejabat yang bekerja dengan cukup memerintah tanpa harus bermandi peluh.

“Pak ini orang yang mimpin demo kemarin di TV kan? Dapat penghargaan presiden. Hebat sekali.” kata seorang petugas yang sedang baca media terbitan sebuah Badan Usaha Milik Negara.

“Demo apa? itu kemarin syukuran karena dapat kerjaan baru di ladang minyak yang dulu dikelola pihak asing. Inginnya pak Presiden ya mungkin begitu. Kita ngga tahu lah soal politik begituan,” jawab rekan satunya sambil pencat-pencet Hand Phone touch screen, up date status di Media Sosial.

Tak terasa air mata si kurus meleleh mendengarnya. Terjawab sudah pertanyaannya, siapa mereka yang berteriak berjuang untuk rakyat. Perjuangan yang digembar-gemborkan para aktivis itu, para orang-orang pintar itu, ternyata tak menyentuh nasibnya. Mereka buruh-buruh ningrat itu ternyata bukan pejuang yang diharapkan rakyat  sepertinya.

“Sini Gembel, mana KTP mu? Punya KTP tidak?” pertanyaan sama dari petugas berseragam sama, kembali mendengung di telinga si Kurus.

“Darimana saya bisa buat KTP pak? Tempat tinggal saja tidak punya, pekerjaan tidak punya, Agama saja saya tidak tahu, orang  tua siapa juga tidak kenal. Saya lahir dan besar di jalanan pak. Saya hanya punya nama Gembel, dan entah siapa yang beri nama itu,” jawab si Kurus, pun dengan jawaban yang sama seperti sebelum-sebelumya.

Petugas itu diam mendengar jawaban si Kurus bernama Gembel itu. Matanya hanya menatap tanpa makna. Tangan kirinya tertahan di screen ponselnya. Pena yang semula digenggaman tangan kanannya, lepas  terjelampah.  Kertas yang sedianya diisi daftar nama hasil razia gelandangan dan pengemis itu masih kosong. Hanya tertulis nama Gembel 1, Gembel 2, Gembel 3….dan seterusnya, tanpa alamat,  tanpa nomor Induk Kewarganegaraan pastinya.

“Ya sudah kamu harus tinggal di penampungan selanjutnya urusan Dinas Sosial, bukan urusan kami lagi. Kecuali kalau kamu masih keliaran di jalanan!”.

***

“Hidup petani! hudup buruh! Hidup Mahasiswa! Hidup rakyat! Revolusi! Revolusi! Revolusi! Sampai mati!” teriakan-teriakan itu terdengar lagi di televisi, di tempat yang sama, depan istana negara, di depan gedung wakil rakyat, disiarkan di televisi, radio, koran, portal berita. Jumlah yang berteriak juga tak jauh berbeda, tak bertambah. Wajah-wajah itu pun tak berubah, selain tambah segar dan teriakannya semakin lantang.

Sementara di bawah semburat surya yang membuat udara meradang, Gembel bertarung dengan maut. Ia tak mendengar teriakan-teriakan para pejuang  itu, yang dilihatnya di Tivi Kantor Polisi Pamong Praja. Aktivis buruh yang bertampang seperti kaum ningrat. Gembel tak merasakan lagi kekaguman, ia tak ingin berdoa lagi agar mereka diberkati.

Tangan itu kian kurus dengan belulang bertambah menyembul.  Mata itu bertambah cekung, seperti palung yang akan menjadi kubur terdalamnya. Teriakan-teriakan buruh-buruh ningrat masih bergema, dan penguasa tiran masih bertakhta dengan segala petaka yang siap memangsa rakyatnya. []

*Penulis adalah pecinta sastra dan budaya, tinggal di Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com