Budaya  

PP Kaliopak Bakal Pentaskan Mother Dance di Makam Ratu Malang Gunung Kelir

BANTUL – Pertunjukan teater yang mengangkat sejarah Kyai Panjang Mas dan Nyai Ratu Malang bakal dipentaskan santri-santri Pondok Pesantren (PP) Kaliopak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) secara marathon, 31 Desember 2017  hingga  4 Januari 2018.

Pementasan teather bertajuk Mother Dance akan dihelat di Istana Kematian, Cagar Budaya Makam Ratu Malang Gunung Kelir, Pleret, Pleret Bantul, DIY. Pementasan dimulai dari pukul 16.00 WIB sampai selesai.

Mathori Brilyan, aktor teater yang menggarap pertunjukan Mother Dance mengatakan, pengalaman tubuh yang mewakili penciptaan kreativitas menjadikan landasan dari sebuah panggelaran yang akan dilaksakan kali ini. Menurutnya pengalaman seorang aktor yang masih mengingat dengan sangat jelas tentang kematian seorang ibu, menjadikan dasar dari penciptaan kreativitas. Pengalaman tentang kehilangan seseorang yang sangat berarti ini, kata dia, menggambarkan betapa kesedihan yang sangat mendalam dan memberikan refleksi tentang kedekatan manusia dengan kematian.

“Kemudian pengalaman tersebut menciptakan sebuah ‘teks’ yang menjadi landasan dalam menciptakan sebuah peristiwa pertunjukan. Menggunakan penamaan peristiwa pertunjukan merupakan bagian dari konsep yang ditawarkan pada teater-ruang, yang akan melibatkan penonton menjadi kesatuan dari peristiwa teater,” katanya yang akrab disapa Brily dalam keterangan pers yang diterima redaksi, Kamis (28/12/2017) siang.

Cara yang dipilih dalam mendialogkan peristiwa teater tersebut, kata  Brily, dengan mengeksplorasi gerak tubuh dan tembang jawa, yang dibingkai dengan judul Mother Dance.

“Pertunjukan ini akan diselenggarakan oleh Pondok Pesantren  Kaliopak. Saya ingin mengajak para pencinta teater untuk memasuki ruang kuburan. Praktik ziarah ini jarang dilakukan. Saya menawarkan konsep pertunjukan yang melibatkan penonton yang akan menjadi partisipan peristiwa pertunjukan,” ujar Brily.

Dijelaskan Brily, pertunjukan Mother Dance, aktor dipertemukan dengan makam dari Kyai Panjang Mas dan Nyai Ratu Malang yang disebut dengan Istana Kematian. Dari pertemuan tersebut, aktor meletakkan dirinya dan kemudian menggali teks yang berada di ruang tersebut. Istana kematian memberikan teks yang kemudian menjadikannya sebagai teks pertunjukan, yaitu tentang kisah cinta dan kematian dari Kyai Panjang Mas dan Nyai Ratu Malang.

“Jadinya pertunjukan ini adalah hasil serapan dari teks sosial yang ada di ruang kuburan,” lanjut Brily.

Brily ingin mengajak para penonton untuk merasakan apa yang dilakukannya di ruang tersebut. Dalam diri manusia, menurut Brily, ada nilai-nilai yang melekat dan bisa menjadi kekuatan. Dia memilih ruang kuburan guna menawarkan bagaimana nilai-nilai itu disampaikan lewat ruang spesifik. Karena itulah teks tentang kematian ibu yang melekat pada tubuh aktor mengalami perkembangan teks setelah bertemu dengan kisah dari Ibu Ratu Malang.

Kolaborasi teks ini yang menjadi titik dasar karya “Mother Dance” dipresentasikan menjadi sebuah peristiwa pertunjukan teater yang berada di komplek Istana Kematian yang terletak di Bukit Sentono, Gunung Kelir, Pleret, Bantul. 

“Peristiwa pertunjukan dengan waktu 5 hari berturut-turut memiliki landasan pemikiran dari sebuah pergerakan kebudayaan yang coba ditawarkan melalui peristiwa pertunukan teater. Teater menjadi sebuah produk karya seni yang dinilai dapat menjelajahi nilai sejarah dan adilihung pada sebuah ruang dengan masyarakat yang menghidupinya,” tukasnya.

Menurutnya, pemahaman ini merupakan sebuah penjelajahan itu sendiri untuk membantu menjawab pertanyaan yang saat ini mungkin beredar di kalangan para praktisi maupuan konseptor mengenai nilai apa yang dapat dibangun antara hubungan teater dengan sebuah masyarakat, dengan sebuah sejarah, dengan sebuah kebudayaan manusia. Hal ini yang memberikan dorongan untuk menempatkan teater sebagai media dialog kebudayaan melalui pertemuan dengan ruang-masyarakat.

“Memilih pemakaman Istana Kemataian yang sekaligus sebuah cagar budaya sebagai ruang peristiwa pertunjukan mempunyai landasan yang bertujuan untuk mengajak ‘penonton teater’ memasuki ruang kuburan. Selain itu untuk mengajak membuka kembali catatan sejarah mengenai kisah tentang seorang maestro Dalang Mataram yaitu kyai Panjang Mas beserta sindhen sekaligus istrinya yaitu Nyai Ratu Malang,” imbuhnya.

Kemudian, kata dia, dalam dalam penyerapan teks ritus sosial di ruang tersebut menemukan praktek ziarah yang menjadi pengikat masyarakat dengan ruang kuburan sebagai sebuah kebudayaan yang terus berjalan hingga hari ini.

“Dari sinilah niatan untuk mengajak penonton teater untuk ‘mengalami’ secara langsung teks-teks sosial yang lahir dari ruang pemakaman sekaliguis nilai sejarah adilihung yang terdapat di Istana Kematian tersebut,” pungkasnya. (kt1)

Redaktur: Faisal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com